Pria itu menautkan kedua alisnya. Dia memandangiku yang ketakutan setengah mati. "Kamu takut?" tanyanya khawatir.
Pria itu menyibak anak rambut di dahiku lalu disisipkan di atas cuping telinga. "Kamu tidak perlu takut. Aku tidak akan menyakitimu," ujar pria itu bersungguh-sungguh.
Dengan mata sayu, pria itu berbisik di telingaku, "Aku tidak akan menyakiti tubuhmu. Aku berjanji." Telunjuk pria itu memutari pusarku lalu turun ke bawah. "Kecuali di sini," bisiknya membuatku bergidik ngeri.
"Lepas. Lepaskan aku!" Desisku marah.
"No no no. Tidak sebelum aku puas mengagumi tubuhmu," jawabnya sembari tersenyum jenaka.
Aku memejamkan mataku berharap semua ini hanyalah mimpi, sebuah mimpi buruk. Aku pasti terbangun dan semuanya akan baik-baik saja. Seperti yang selalu Jacob bilang, everything is fine.
"Tatap! Tatap aku!" Perintahnya bengis. "Kubilang tatap aku!" Perintahnya sekali lagi. Aku masih menutup rapat kedua mataku. Dia menggeram lalu meremas pergelanganku dengan kuat. Aku berusaha menepisnya namun kalah tenaga.
"Kubilang tatap aku pelacur!" Aku menatapnya dengan wajah berlinang air mata. Padahal tangisan itu sudah kutahan sekuat tenaga.
Aku takut orang ini. Aku sangat takut orang seperti ini. Aku terlalu takut jika kejadian dulu akan terulang lagi.
Jake kamu di mana? Bukankah kamu hanya keluar sebentar untuk membeli pengaman sialan itu? Kenapa kamu belum kembali? Kamu harus menyelamatkanku seperti dulu, Jake. Kamu bilang aku tidak perlu takut lagi karena kamu akan menjadi tamengku. Kamu sudah janji, Jake. Kamu bohong, kamu penipu.
Pria itu melepas cekalannya lalu beralih mengusap air mataku yang mengalir, membasahi pipi. "Oh Tuhan, ini benar-benar indah. Aku tidak pernah melihat pemandangan seindah ini. Apa aku sudah mati? Apa ini surga?" racaunya yang tak satupun kalimatnya kupahami.
"Aku ingin mencicipinya." Tanpa diduga, pria itu mendaratkan bibir tebalnya di pipiku. Dia menciuminya rakus lalu menjilat air mata itu. "Manis. Rasanya sungguh manis. Aku ingin lebih, aku ingin lebih," pintanya dengan mata berbinar seperti anak kecil yang merajuk.
Pria itu mengangkat telunjuknya. Dia menggerak-gerakkan telunjuknya di pipiku seolah sedang melukis.
"Aku ingin memberimu hadiah," ucapnya yang kubalas dengan gelengan kepala.
PLAK.
Kepalaku terjengkang ke samping. Aku meringis kesakitan, mengusap kepalaku yang mengucurkan darah. Sepertinya aku membentur sesuatu.
Tamparannya sangat kuat. Pipiku merah dan rasanya gatal. Aku melihat pria bengis di hadapanku. Ada jejak kesenangan di wajahnya.
"Aku harus merekamnya," katanya seraya menjauhkan diri untuk mengambil ponselnya yang berada di atas meja di seberang pintu masuk.
Dan inilah satu-satunya kesempatan yang dia berikan agar kugunakan untuk meminta pertolongan. Tanganku menggapai-gapai ponsel yang berada di atas nakas. Ya Tuhan sedikit lagi. Seluruh tubuhku mati rasa dan tenagaku terkikis habis. Aku hanya bisa memanjangkan tanganku sedikit demi sedikit untuk meraih benda pipih itu.
Sedikit lagi. Ujung telunjukku menyentuhnya. Oh Tuhan sedikit lagi. Beberapa jemariku menyentuhnya. Berhasil. Aku meraihnya. Kini benda pipih itu berada dalam genggamanku. Saat aku menekan tombol 119 dan hendak memencet tombol hijau, saat itulah ponselku terpelanting ke atas, membanting tembok, dan menumbuk lantai dengan keras. Kepingan besinya sudah hancur tercerai-berai. Satu-satunya harapan bagiku sudah lenyap.
"Jangan coba-coba," ujar pria itu tajam.
Aku meringis menyadari tanganku yang membiru. Pria itu menendangnya sekuat tenaga, tidak memberi toleransi padaku yang seorang perempuan. Aku tidak yakin jika tangan itu masih bisa digerakkan.
"Wah, air matanya semakin banyak. Aku tidak sabar untuk segera mencicipimu," ujarnya tak memikirkan perasaanku.
"Menangislah. Meski kamu menangis darah sekalipun, tidak akan ada yang bisa menolongmu," lanjutnya.
Pria itu menamparku beberapa kali membuat kesadaranku hilang.
*
"Congrats Jake, statusmu sebagai bujangan panas sudah berganti. By the way, thanks for our bachelor party," ujar seorang pria sambil menyalami tanganku.
Sebentar, menyalami tangan? Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Ballroom hotel yang megah, tamu-tamu undangan, gaun putih yang mewah, dan Jacob yang berdiri gagah di sampingku.
What?
Aku memeriksakan ponselku tak percaya. 17:30. Benar, saat ini aku tengah berada di acara resepsi pernikahanku sejak tadi pagi. Bahkan, aku masih memakai gaun putih menjuntai sedangkan Jacob dengan tuksedo putihnya. Kami berada di tengah-tengah kerumunan para tamu undangan yang terus menyalami tanpa henti.
"Kamu kenapa?" tanya Jacob di sampingku.
Aku mengernyit beberapa saat lalu tersenyum. "Sepertinya aku baru saja bermimpi buruk," bisikku di telinganya sepelan mungkin.
Jacob menempelkan tangannya di dahiku. "Are you okay?"
"I'm fine, of course." Aku memeluk Jacob yang kebingungan. Dia berusaha mengurai keintiman kami tapi aku semakin mempererat pelukanku. "Aku butuh me-recharge suasana hatiku. Aku benar-benar mengalami mimpi terburuk," ucapku tersengal-sengal. Kebahagiaan membuncah dalam hatiku. Ternyata itu semua hanya mimpi.
Jacob menyipitkan kedua mata sipitnya sehingga matanya terlihat tinggal segaris. "Yuna, kita sedang di tengah acara. Plis jangan buat aku malu,"
Aku melepaskan pelukanku. "Sorry. But, Jake. I always love you," ucapku setengah berbisik.
"I know." jawabnya tak peduli.
Selama beberapa saat, kami terus menyalami tamu-tamu yang datang tanpa henti. Sesekali aku melirik Jacob yang terlihat lelah, menguap, bahkan mengantuk. Aku merapatkan tubuhku padanya, menyangganya jika dia hampir terjatuh. Atau menyeka peluhnya yang mengucur dari dahinya.
Sejujurnya aku tidak mengenal satupun orang-orang ini. Mereka semua merupakan kenalan Jacob, pria yang kucintai setengah mati. Beberapa bulan yang lalu, aku sempat mengutarakan keinginanku mengundang semua kerabatku di panti, tapi Jacob dengan keras menolaknya. Dia beralasan jika orang-orang panti itu tidak memiliki manner yang cocok untuk pesta seperti ini. Mereka akan terlihat awkward di pesta sebesar ini. Sebagai gantinya, Jacob akan menjanjikan sebuah pesta kecil-kecilan di sana.
Aku bersyukur Jake yang pengertian mempersuntingku.
"Halo," sapa suara bariton yang membuyarkan lamunanku.
"Hi," jawab Jacob singkat. "Jadi, kau menyempatkan waktu sibukmu untuk menghadiri pernikahanku," kata Jacob dengan bangga.
Pria itu terkekeh. "Tentu saja sobat. Aku menggantikan adikku yang sedang merajuk di kamarnya. Sudah dua hari ini dia tidak makan," lirihnya membawa berita duka.
Jacob menatapnya khawatir. "Apa dia baik-baik saja?"
Lagi-lagi pria itu tertawa jahil. Dia memberikan Jacob sebuah bingkisan berwarna ungu. "Tentu saja tidak, bodoh. Dia sangat kesakitan karena kau mengkhianatinya. Sepertinya dia belum bisa move on darimu."
Jacob memamerkan gigi putihnya. "Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Tidak sampai aku menduda. HAHAHA."
Aku tidak terlalu mendengarkan celotehan mereka hingga pria tadi menyalamiku lalu meremas tanganku kuat. Mendapat perlakuan begitu, mau tak mau aku harus menatap wajahnya dengan dalih kesopanan. Padahal aku lebih suka memandangi wajah Jacob ku yang sangat tampan.
Sepersekian detik selanjutnya aku terjungkal ke belakang. Tubuhku terkantuk dipan putih, meninggalkan sensasi nyeri di sekitar perutku. Aku mengaduh kesakitan. Jacob mengulurkan tangannya padaku, membantuku berdiri.
"Hei, kamu tidak apa-apa?" tanya Jacob cemas. "Apa kita perlu ke kamar," tambahnya. "Jika kamu terus-menerus bertindak gegabah begini, kamu hanya akan mempermalukanku di depan semua kolegaku."
Senyumku terbit mendengar nada prihatin milik Jacob. Pria ini selalu mengkhawatirkan keadaanku. Keputusanku untuk menerima lamarannya memang sangat tepat, meskipun ibu panti sangat menentang keras. Itu karena ibu panti tidak tahu betapa Jacob ku sangat manis dan perhatian.
Aku menggeleng menolak usulannya. "Tidak perlu. Aku hanya perlu mengistirahatkan tubuhku sebentar. Aku akan duduk di kursi itu," tunjukku pada kursi kosong dekat jendela. Kursi kosong yang jauh dari keramaian.
"Ok. Lima menit. Cukup lima menit waktu yang bisa kau gunakan,"
Aku menggigit bibir. "Umm, ok. Lima menit dan semuanya akan baik-baik saja," pamitku seraya berjalan menjauhi keduanya.
"Ouhh, man. You're so strict. Even the fact, she's so beautiful and you just so cocky with her. Kamu benar-benar beruntung, bajingan gila."
"You're right. But, nothing special on her. Damn, stop talking this shit about her. So, bagaimana kondisi adik kandungmu? Apa aku perlu menjenguk."
Kuhempaskan bokongku di atas kursi kosong tidak jauh dari mereka berdua. Aku perlu menetralkan degup jantungku yang menggila. Kakiku bergetar hebat dan tubuhku terkulai lemas. Aku menundukkan kepalaku, tidak sanggup menatap manik mata pria itu. Bahkan, menghirup udara di ruangan yang sama dengannya membuatku takut. Aku menutup mataku tidak mau melihatnya. Setidaknya aku aman sekarang.
Sampai ketika aku membuka mata.