Sumpah serapah berhamburan dari mulut Rachel bak mitraliur yang berlompatan dari senjata api tanpa ampun menyerang Paman Ronnie.
"Jadi, ini alasanmu merawatku? Biar bisa dijual seenaknya? Om, aku bukan barang!" teriak Rachel kalap.
Gadis itu berusaha melepaskan diri dari pelukan El Thariq yang justru tertawa menyaksikan kemarahan Rachel.
Pelukan erat kedua tangan laki-laki itu membuat kedua kaki gadis itu leluasa menendang-nendang ke depan.
Paman Rachel yang rambutnya telah mulai memutih itu tak sedikit pun berani mengangkat pandang. Kepalanya terus menunduk seolah ada besi besar yang menempel di tengkuknya.
Beberapa orang laki-laki yang berada di sana, termasuk petugas negara yang diundang untuk mengurus dokumen pernikahan itu turut menundukkan kepala walaupun mereka tak sedikit pun disasar makian gadis itu.
El Thariq menghentikan tawanya, tapi senyum penuh kemenangan tersungging di bibirnya.
"Amana, urus para tamu!" perintah El datar.
Wanita yang menjabat sebagai kepala pengurus rumah tangga rumah megah El Thariq itu langsung mengangguk patuh merespons perintah tuannya.
Wanita dengan sanggul modern yang anggun itu segera mempersilahkan para tamu laki-laki dalam ruangan itu ke ruang lain di rumah megah itu.
Sementara itu, El Thariq berjalan ke ruang lain yang berlawanan arah dengan ruang yang dituju oleh para tamu dengan masih membawa Rachel dalam pelukannya.
"Lepaskaaan!" teriak Rachel kencang ketika keduanya tiba di ruang kerja El Thariq.
Laki-laki dengan bekas luka di pipi itu melonggarkan dekapan tangannya.
"Nah! Duduklah!" ucapnya lembut.
Laki-laki itu mendudukkan Rachel di sebuah sofa empuk dalam ruang kerja itu.
Rachel segera hendak beranjak, tapi dengan hanya satu tekanan lembut di bahu gadis itu, gerakannya batal.
Gadis itu membelalakkan mata ketika kedua tangan laki-laki itu memutar lembut pinggangnya hingga kini ia duduk berhadap-hadapan.
Seketika gadis itu mencoba melepaskan kedua telapak tangan yang menempel di pinggangnya, tapi sama seperti dekapan tangan sebelumnya, usaha itu sia-sia.
"Ra ...," ucap El dengan lembut.
Rachel melirik sinis.
"Bisa-bisanya memanggilku begitu, teman bukan, saudara bukan, menyebalkan sekali!" omel gadis itu dalam hati.
El Thariq menatap tajam ke wajah gadis itu.
Tapi, sejurus kemudian tatapan itu melembut padahal gadis itu makin melebarkan mata cantiknya dengan sorot kemarahan yang nggak ditutup-tutupi.
Laki-laki itu terkekeh geli.
"Ra, masak nggak tahu kita sekarang sudah resmi menjadi suami istri," ucapnya dengan enteng.
"Duh! Gimana mata cantik itu masih menatapku seperti itu," gumam El lirih.
Mendengar ucapan laki-laki yang itu, mata Rachel membelalak maksimal.
"Kita? Resmi? Suami istri? Hihh!" cibir gadis itu ketus.
"Istri mana yang tanda tangan surat pernikahan dipaksa? Nggak! Nggak! Aku nggak terima pernikahan ini! Aku akan menggugat pernikahan paksa ini!" ancam Rachel berapi-api.
Suaranya makin lama makin meninggi.
"Dan sekali kutegaskan di sini, aku bukan barang!" teriak gadis itu menutup sanggahannya.
El Thariq mengeluarkan seringaiannya. Satu sudut bibirnya tertarik ke bawah menimbulkan ekspresi misterius yang memikat.
Kedua telapak tangan laki-laki yang semula menempel di pinggang gadis itu berpindah menangkup kepala lawan bicaranya.
Tindakan itu otomatis membuat kepala gadis itu bergerak-gerak hendak melepaskan diri dari tangkupan telapak tangan itu.
Kemudian kedua telapak tangan itu memberikan tekanan lembut yang membuat gadis itu berhenti berusaha melepaskan diri.
"Ra, apapun cara yang terlintas dalam kepalamu ini, yang Kamu rencanakan untuk membuat pernikahan ini gagal, harus dienyahkan!" ucap El lembut tapi penuh penekanan.
Rachel segera mencengkeram kedua lengan El dan mendorongnya ke arah luar. Tapi, kedua telapak tangan itu justru makin lekat seolah lem telah merekatkan keduanya.
"Dengarkan nasehatku, jangan membuang energi untuk hal yang sia-sia!" sambung El masih dengan nada yang sama.
"Sia-sia?!" seru Rachel dengan pupil makin melebar.
Manik mata coklat terang itu terlihat makin menarik.
Laki-laki itu menggeleng-nggelengkan kepala tanpa melepas senyum seringai penuh kemenangannya.
"Oh! Gimana gadis ini bisa naif ini? Menurutmu aku akan membiarkan itu terjadi?" ucapnya dengan enteng.
"Agh!" jerit laki-laki itu terkejut ketika tiba-tiba telapak tangannya berhasil digigit Rachel.
"Aku akan berusaha untuk itu!" tegas Rachel tanpa ragu.
Gadis itu memanfaatkan keterkejutan laki-laki itu untuk menepis kedua telapak tangan yang sejak tadi membuat kepalanya nggak bergerak.
El Thariq tersenyum lebar sambil memandangi bekas gigitan gadis itu.
Laki-laki itu kemudian beringsut dan duduk dengan menyandarkan punggungnya di sofa empuk ruang kerja itu.
Dengan santai laki-laki itu menyilangkan kakinya dan bersedekap.
"Em ... bagus! Usahamu itu aku pastikan akan berhasil jika Kamu memiliki lebih dari semua yang kumiliki dan bisa menggeser seluruh pengaruhku pada orang-orang yang berkaitan dengan keberhasilan usahamu itu," tutur El dengan tenang.
Sekilas laki-laki ini melirik pada perempuan di sebelahnya yang tengah menatapnya lekat.
Kemarahan Rachel yang semula memuncak sedikit surut.
Keningnya berkerut memperlihatkan garis-garis halus. Gadis ini menyipitkan mata.
"Maksudnya?" balas Rachel setelah beberapa saat berpikir dan tak menemukan makna sebenarnya dibalik penuturan itu.
El Thariq tersenyum, kembali beringsut hingga menghadap gadis yang tengah menatapnya dengan bingung itu, meletakkan satu telapak tangannya di kepala gadis itu, lalu menekankan ibu jarinya tepat di tengah alis gadis itu dengan lembut.
"Coba dipikirkan baik-baik!" pinta laki-laki itu lembut.
"Hihh!" seru Rachel sambil menepis telapak tangan itu.
El Thariq tersenyum menyeringai.
Gadis itu tanpa disadari mematuhi perintah itu.
Matanya tampak melihat ke satu titik dengan mata yang masih menyipit, garis-garis halus di keningnya bertambah jelas.
"Agh ...!" celetuknya pada akhirnya dengan tak berdaya.
"Tentu saja, dari kamar tidur hingga ruang penandatangan paksa tadi saja membutuhkan waktu lebih dari lima menit. Itu artinya rumah megahnya yang besar ini bernilai tinggi, menunjukkan statusnya. Belum lagi, reaksi orang-orang yang menyaksikan pernikahan paksa tadi. Semua yang berada di sana hanya tunduk dengan perintah laki-laki ini. Terbukti dengan aku yang sedang menyalurkan kemarahan ini, semua tak berkutik. Apalagi, melihat bagaimana Om Ronnie bereaksi, baik ketika masih di rumah dan lebih-lebih lagi ketika di ruangan tadi, itu artinya laki-laki ini adalah ...," pikir Rachel dalam.
"Aku nggak tahu siapa laki-laki ini sih, yang jelas, apa yang dimiliki dan pengaruhnya sepertinya nggak bisa dianggap enteng," simpulnya kemudian.
Gadis itu mengembuskan napas panjang menyadari apa yang sedang dihadapinya, bahunya pelan-pelan bergerak turun.
"Ra ..., tenangkan dulu dirimu di sini, aku harus menemui para tamu yang terabaikan," celetuk El Thariq lembut.
Laki-laki itu beranjak dan dengan lembut telapak tangannya mampir ke puncak kepala gadis itu dan mengusapnya lembut.
Gadis itu bergerak cepat menepisnya.
Laki-laki tinggi tegap itu tersenyum menyeringai sambil berbalik dan hendak berjalan keluar ruangan.
"Hihh!" seru Rachel sambil menendang ke arah bagian belakang kaki laki-laki itu.
Tendangan sembarangan itu mengenai bagian belakang lutut suami resminya itu.
Tiba-tiba laki-laki itu berbalik, memegang kedua bahu Rachel dan membuat gadis itu rebah di Sofa.
"Agh!"