"Jen, kamu satu SMP, kan, sama Raka?" Dengan ragu-ragu, Shika menanyakan itu. Bermodalkan keberanian yang berlandaskan rasa penasaran yang menggunung. Shika kembali mencoba mencari tahu tentang Raka.
Tadi, saat di kantin Shika hampir saja kehabisan akal untuk menjawab pertanyaan dari teman-temannya. Dan untuk kesekian kalinya Shika berterimakasih pada bel yang berbunyi nyaring. Tanda waktu istirahat telah habis. Meski siomay miliknya masih tersisa banyak, tidak masalah untuknya. Yang penting Shika bisa bernapas lega.
"Ya, penasaran aja, gitu," sahut Shika. Dia tidak perlu merasa khawatir jika nanti Jeni membocorkan ini pada yang lain. Karena setahunya, perempuan berambut keriting ini bisa menjaga rahasia.
Jeni terdiam. Sebenarnya ada banyak yang ingin dia tanyakan. Namun diam sepertinya yang terbaik. Dia belum terlalu lama mengenal perempuan di sampingnya ini. Mungkin sekitar tiga bulan yang lalu.
"Raka Pratama." Jeni mulai bercerita. Matanya mengarah pada sosok laki-laki yang kini tengah berdiri di depan. Menjelaskan salah satu materi pelajaran PKN. "Dia itu baik, sopan, dan juga gak pelit ilmu."
Shika mengangguk. Pandangannya pun ikut mengarah pada sosok yang tengah dibicarakan. Di depan teman-temannya, Raka tengah menjelaskan salah satu materi di pelajaran PKN. Guna menambah nilai, laki-laki berkulit sawo matang itu dengan mantap maju ke depan. Rasa percaya diri sudah melekat dalam dirinya sejak dulu. Sedangkan materi, jelas sudah berada di luar kepala. Dia terbiasa mengulang pelajaran yang esoknya akan dipelajari.
"Menurutku, dia sedari kecil kayanya udah dilahirkan pinter. Soalnya hampir semua pelajaran, gak ada yang dia gak bisa. Dari pelajaran agama, sampe hitung-hitungan dia kuasai semua. Kayanya gak ada, deh, kekurangan dalam diri dia." Jeni mengetahui itu karena dia juga satu kelas dengan Raka saat SMP. "Mungkin cuma narsisnya aja yang gak ketulungan." Semua orang juga tahu akan fakta ini. Mungkin karena sudah terbiasa dengan semua guru, membuat dia menjadi tidak punya malu.
Tanpa menoleh, Shika mengangguk. Dia tahu itu. Yang tengah disaksikannya ini adalah satu dari sekian bukti kepintaran Raka dan mungkin keberaniannya. Alias pede tingkat dewa, tambah Shika dalam hati.
"Dia punya sahabat. Namanya Danis Alamsyah. Sama-sama pinter, sih. Cuma kalau dia, agak sedikit pemalas. Beda sama Raka yang rajin bianget." Secara alami, kepala Shika menoleh ke arah kiri. Tepatnya ke kursi barisan ke 2 dijajaran ke empat. Di mana Danis duduk. Tidak bersama Raka memang. Karena Raka duduk di barisan pertama bersama Zaki. "Mereka sahabatan dari SD. Kata Danis, sih, mereka deket dimulai saat Danis lihat Raka yang nangis karena gak dijemput pas pulang sekolah. "Tanpa menoleh, fokus Shika tetap pada apa yang sedang Jeni ucapkan.
"Berarti udah lama, ya." Sekitar sepuluh tahun berarti. Tanpa sadar, Shika bertepuk tangan. Bermaksud mengapresiasi persahabatan mereka. Namun siapa sangka, ternyata Pak Surya dan teman-temannya mengira tepuk tangan itu ditujukkan untuk Raka. Atas persentasinya di depan.
"Shi, Raka belum selesai, loh. Kok, kamu udah tepuk tangan?"
Sial! rutuk Shika dalam hati.
Matanya mengedar ke arah teman-temannya yang kini tengah membalikkan badan, mengarah ke arahnya. Dia bahkan lupa tentang pipinya yang sudah pasti memerah. Bodo amat! batin Shika.
Sembari meremas roknya. Shika mengatur napas, baru setelah itu mengarahkan pandangan pada Pak Surya.
Alih-alih langsung menjawab, mata Shika malah mengarah pada Raka yang kini ternyata tengah ikut menatapnya dengan tanda tanya.
Aish! Kenapa jadi natep dia, sih, rutuk Shika dalam hati.
"Shika?" Suara itu membuat Shika tersentak sekaligus menyadarkan Shika dari pandangan di hadapannya.
"Eh, iya, Pak?" Shika mengerjap beberapa kali.
"Kamu kenapa natep Raka kaya gitu?" Mulut Shika terbuka. Tidak percaya dengan apa yang baru saja gurunya ucapkan. Jadi Pak Surya lihat? tanya Shika dalam hati.
Belum selesai dengan rasa malunya, kini Shika dihadapkan dengan sesuatu yang semakin membuatnya ingin kabur dari sini.
"Kamu suka, ya, sama Dia?" Sembari menunjuk Raka.
Seketika kelas menjadi riuh. Berbagai godaan dilayangkan oleh teman-temannya. Kata 'cie' begitu menggema, membuat Shika ingin menenggelamkan wajah ke dasar tanah. Menyembunyikan pipi yang kian memerah.
Seumur-umur, baru kali ini dia menghadapi situasi seperti ini.
"Cie, diem-diem menghanyutkan, ya, kamu." Jeni menggoda Shika. Tangannya mencolek-colek dagu Shika. Pantas saja tadi nanyain Raka. Ternyata oh ternyata, batin Jeni.
"Iyah, nih. Ternyata naksir Raka, to." Kelas semakin riuh akibat ucapan Tari. Oh sungguh, sahabat dekatnya itu memang memiliki bibir yang bisa mengeluarkan kata-kata ajaib. Seperti ini. Karena ucapannya, membuat kelas sudah seperti tempat konser.
Menyadari Shika yang tengah dilanda rasa malu, membuat Raka berniat membantu.
"Udah, dong. Kasian itu Shika, pipinya udah kaya kepiting rebus," ucap Raka kepada teman-temannya.
"Aciee. Dibelain."
Shika memejamkan mata. Ucapan Raka tadi sungguh, tidak sedikit pun membantunya. Bahkan kini, Danis yang merupakan sahabat dari Raka pun ikut menggodanya.
Kalau tau gini, mending diem, protes Shika dalam hati.
Karena dapat teguran dari kelas sebelah, membuat mereka seketika membisu.
"Tuh, kan. Suruh siapa pada berisik, Bu Endang jadi ke sini, kan."
Bu Endang sedang mengajar di kelas X IPS. Konsentrasinya terganggu ketika mendengar suar riuh dari kelas sebelahnya. Membuat dia dengan kesal menegur kelas X IPA dengan mengetuk jendela dan memberi isyarat untuk diam.
"Ya maaf, Pak." Salah satu siswa menimpali. "Soalnya, ya, lucu. Shika diam-diam mangambangkan." Dia terkekeh.
"Mengambangkan?" Karena terdengar asing, membuat teman sebangkunya mengernyitkan dahi. "Kek eek, dong."
Ucapan absurd itu sukses membuat kelas menjadi riuh kembali. Hanya saja, tidak se-riuh tadi.
"Sudah-sudah fokus lagi ke materi!" titah Pak Surya. Laki-laki berkemeja maroon itu menyilahkan Raka untuk duduk. Karena dirasa sepertinya kelas tidak akan se-kondusif tadi.
Setelah menganggukkan kepala, Raka berlalu menuju kursi tempat dia duduk bersama Zaki. Tepat sesudah pantatnya mendarat mulus di atas kursi, dengan terang-terangan Raka menatap Shika. Shika tidak menyadarinya. Karena dia tengah sibuk mencoba agar teman-temannya tidak terus-menerus menggodanya.
Raka bukannya tidak tahu bahwa sejak dia berada di depan, Shika dan Jeni seperti tengah membicarakannya. Terlihat dari mata mereka yang menatap lurus padanya. Meski dia sedang presentasi, tetapi dia tidak bodoh jika sebenarnya mereka tidak memperhatikan materi yang tengah dibahas olehnya.
Sejujurnya, Raka tahu jika Shika tengah mencari informasi mengenai dirinya. Dari mana dia tahu? Karena saat dia di kantin tadi, tidak sengaja mendengar suara Tari yang tengah menggoda Shika. Saat itu dia duduk di kursi yang berjarak dua meja dengan mereka. Apalagi dengan posisi memunggungi, membuat mereka tidak menyadari keberadaannya.
Awalanya Raka mencoba tidak peduli. Namun saat mendengar namanya di sebut, membuat dia mau tidak mau ikut mendengarkan. Lebih tepatnya mencuri dengar.
Sebenarnya apa yang ingin dia ketahui dari Raka? Apakah pacar dari perempuan itu menyuruhnya untuk mencari informasi tentang dirinya?
Tanpa sadar, Raka mengangguk. Bisa saja itu terjadi. Karena mungkin, pacarnya Shika ingin tahu siapa sosok laki-laki yang satu team saat lomba nanti.
"Tadi ceweknya tepuk tangan. Sekarang cowoknya ngangguk-ngangguk. Kalian cocok, deh."
Raka tersentak. Bukan! Bukan karena sindiran Pak Surya, melainkan tepukan keras di bahunya yang disebabkan oleh Aris, di belakangnya.
"Lo nganggukin apaan, sih, Bro? Perasaan Pak Surya belum ngejelasin apa-apa."
Raka kelabakan. Matanya mengarah ke kiri dan ke kanan. Seakan mencari perlindungan. Seketika dia merutukki diri ketika tanpa sengaja matanya malah terkunci pada sepasang bola mata seseorang yang sedari tadi ada dalam pikirannya.
"Yaelah. Malah main tatap-tatapan."