"Dengerin aku dulu, Shi!" Sudah kesekian kalinya Raka meminta Shika untuk memberhentikan langkahnya dan mendengarkan penjelasan Raka. Namun untuk kesekian kali itu pula Shika tidak menhiraukan perintah Raka. Untuk saat ini, dia ingin sendiri. Kejadian tadi, sungguh tidak bisa diterima begitu saja olehnya.
"Shi! Dengerin aku dulu!"
Shika memejamkan mata. Dia ingin pulang. Ingin cepat pergi dari sini dan tidak lagi bersama Raka. Namun apa daya, sekedar mengambil tas di kelas saja menjadi sulit karena Raka yang terus menerus menghalangi langkahnya.
"Memangnya apa yang mau kamu jelasin?! Bukannya udah jelas, kan, kalau kamu itu gak mau aku ikut lomba?!" Shika tidak peduli jika suaranya kini terdengar hingga ke luar kelas. Perempuan dengan rambut dikepang satu itu sungguh tidak memerdulikan apapun karena saat ini, dia tengah dihinggapi rasa marah dan kecewa pada laki-laki di depannya ini. "Aku punya salah apa, sih, sama kamu?" Jika tadi suaranya meninggi, kini malah terdengar lirih.
Dada Shika bergemuruh. Napasnya memburu. Sebisa mungkin dia mengontrol diri agar tidak sampai menjambak rambut Raka karena kesal. Raka seperti tidak memahami apa yang tengah Shika rasakan saat ini. Padahal Raka adalah dalang dari semua ini. Ya, Shika sediktpun tidak berpikiran bahwa Mia terlibat di sini. Shika yakin, jika ini 100% murni rencana Raka.
Shika mendelik tidak suka ketika matanya menangkap pergerakan tangan Raka yang tengah menarik tas punggung merah muda milik Shika.
"Kamu apaan, sih? Balikin, gak?!" Untuk saat ini, Shika sedang tidak ingin bermain-main dengan siapapun.
"Aku bakal balikin. Kalau kamu mau dengerin penjelasan aku," sahut Raka dengan tegas. Dari sorot matanya, terlihat jelas bahwa dia sungguh-sungguh dengan ucapannya ini.
Shika menghela napas. Sungguh, dia sedang tidak mood mendengarkan apapun yang akan Raka katakan. Namun, jika dia tidak bersedia, bagaimana dia bisa pulang tanpa membawa tas miliknya?
"Duduk!" perintah Raka pelan. Raka duduk di kursi samping Shika yang dia ketahui tempat duduk Puspa. Dengan posisi menghadap Shika, matanya tidak lepas memperhatikan setiap pergerakan Shika serta menunggu apakah perempuan itu akan menurutinya atau tidak. "Duduk, Shi! Gak pegel apa berdiri mulu."
Entah untuk ke sekian kalinya Shika menghembuskan napas kasar. Egonya jelas mendominasi di sini, tetapi hati kecinya juga berkata bahwa tidak salahnya untuk mencoba mendengarkan penjelasan Raka. Benar atau salah. Diterima atau tidak oleh dirinya, itu masalah belakangan. Yang penting sekarang dia cukup mendengarkan, lalu pulang.
Ya, semoga bisa se-simple itu.
Shika duduk di kursi tempat biasa di duduki di kelas. Posisi menghadap ke depan, tidak menghiraukan Raka di sampingnya yang duduk menyamping ke arahnya.
"Aku cuma mau bantu kamu."
Tepat setelah Raka membuka suara, Shika menoleh.
"Bantu?" ulang Shika. Alisnya mengkerut, tanda merasa tidak mengerti dengan apa yang Raka katakan. "Bantu apa yang kamu maksud, Ka?" tanyanya penasaran.
Raka mengangguk. "Aku mau bantu kamu supaya bisa tetep ikut lomba," sahut Raka dengan percaya diri. Raka segera memberi isyarat pada Shika untuk diam, ketika matanya menangkap pergerakan bahwa Shika akan bertanya lebih pada perkataannya barusan. "Aku mau, Bang Putra mengira kalau kamu itu udah gak canggung lagi sama aku. Maka dengan itu, pasti Bang Putra gak akan nyuruh kamu keluar dari team." Raka pun memberikan penjelasan pada perempuan yang kini terdiam mencerna apa yang laki-laki itu ucapkan.
Dahi Shika mengernyit. Berdiam beberapa menit, hingga berhasil memahaminya. Lalu kemudian Shika menggeser tubuhnya, hingga kini mereka duduk berhadapan.
"Kamu kenapa mau bantu aku?" tanya Shika penasaran. Mereka hanya teman sekelas, saling sapa pun tidak pernah. Hanya karena mereka satu ekskul dan satu team, sehingga membuat mereka akhir-akhir ini sering beriteraksi.
"Ya karena aku tahu kalau kamu itu kepengen ikut lomba."
Shika terdiam. Apa benar itu alasan Raka membantunya? Jika iya, Raka sungguh baik hatinya karena sudah mau membantu Shika yang memang bingung memikirkan cara agar bisa tetap ikut lomba dan tidak dikeluarkan dari team.
Shika menghela napas. "Tapi kenapa gak ngasih tau dulu ke aku, Ka? Tadi aku kaya orang bego tau, gak," dengus Shika dengan kesal. Dadanya bergemuruh menahan kesal ketika sekelebat bayangan latihan tadi berputar di kepalanya. Terlihat jelas bagaimana wajah kebingungan yang begitu kentara.
"Karena aku pikir, kalau kamu tahu pasti nolak. Makanya aku minta Mia buat rahasiain ini dari kamu," jawab Raka dengan santai.
Shika tidak bisa menyalahkan Raka terus-menerus. Laki-laki ini ingin membantunya, tetapi teknis yang salah. Sehingga menimbulkan kesalahpahaman.
"Kamu maafin aku, kan? Kalau sama Mia, kamu pasti gak berpikir untuk marah. Toh, aku yakin juga dalam pikiran kamu itu ya aku yang punya ide ini."
Shika mengangguk, mengiyakan. "Entahlah. Aku masih kesel sama kamu."
Raka mengedikkan bahu. "Terserah, sih. Aku cuma mau bantuin kamu. Itu aja."
"Iyah. Aku paham, kok. Cuma ya tetep aja aku masih kesel sama kamu." Shika mendelik tidak suka padanya. "Tapi, Bang Putra, kok, mikirnya itu ide kita. Maksudnya aku terlibat dalam hal itu." Ya karena tadi Shika melihat Putra begitu antusias menyaksikan perubahan dari penampilan team kami.
"Karena kamu jago akting, Shi," sahut Raka.
Dahiku mengkerut. "Jago akting?" ulang Shika memastikan. Kepalanya sedikit dicondongkan ke depan, ke arah Raka.
"Iyah. Jago akting." Raka mengangguk. "Tadi kamu keliatan mendalamani peran sebagai perempuan yang ditembak sama temennya. Meskipun pas diawal, keliatan banget kagetnya." Raka terkekeh.
"Udah syukur, ya, itu juga," bela Shika. Jelas dia tidak terima ketika Raka juga menyebutkan kekurangan dari aktingnnya itu. "Ya gimana gak kaget coba, gak ada angin gak ada ujan, kamu tiba-tiba jongkok sambil pegang tangan aku. Plus yang bikin jantung aku hampir loncat dari tempatnya itu, kamu nembak aku. Aneh banget, kan? Untung aja itu aku masih bisa ngontrol diri. Kalau enggak, kamu pasti malu di depan Bang Raka." Bibirku mengerucut kesal.
Raka mengangguk paham. "Iya. Aku paham, kok. Untung aja kamu baik hati, ya." Raka menaik turunkan alisnya. Menggoda Shika.
Shika mendelik tajam. Pujian dari Raka, sama sekali tidak membuat rasa kesalnya luntur begitu saja. Masih teringat jelas bagaimana bodohnya dia, mengira bahwa semua itu sungguhan.
Shika berdehem. Ketika menyadari wajahnya memanas akibat pemikiran bodohnya itu.
"Terserah, sih, kalau kamu masih kesel sama aku. Yang penting sekarang Bang Putra gak jadi keluarin kamu dari team." Raka bangkit dari tempat duduknya. Sembari menenteng tas Shika, laki-laki sawo matang itu, dengan santainya berlalu melewati Shika yang masih merutuki pemikirannya tadi. Masih belum menyadari keadaan.
"Kamu kenapa bisa dapet ide kaya gitu?" tanya Shika kemudian ketika fokusnya telah kembali. Namun dia dikejutkan dengan tidak adanya Raka di hadapannya. "Lah, kok, kagak ada?" tanyanya dengan wajah kebingungan. Lalu matanya dirotasikan ke segala arah, dan jatuh pada meja tempat tadi Raka duduk. "Tas aku mana? Ihh, pasti diculik sama Raka!"
Dengan tenaga yang tidak seberapa, Shika berlari ke luar kelas guna menyusul Raka.