"Sampe ketemu nanti sore, ya." Sembari melambaikan tangan, Mia berlalu pergi menuju kelasnya.
Karena waktu istirahat telah usai, membuat Putra menghentikan sementara pembahasan ini. Mereka akan latihan kembali nanti sore, sehabis pulang sekolah. Putra akan menanyakan lagi akan alasan yang belum Shika jelaskan.
"Ayo, ke kelas," ajak Raka. Mereka berdua masih di ruang PMR. Karena merapikan terlebih dulu tumpukan materi yang sudah dipotokopi terlebih dulu oleh Raka. Agar memudahkan mereka dalam membagi dan menghapal materi.
Shika menoleh. Matanya bertubrukan langsung dengan kedua bola mata yang pemiliknya sedang menunggu jawaban dari ajakannya itu. Tidak ada yang salah dari Raka. Laki-laki itu baik, dan terkenal dengan kepintarannya. Namun ada alasan lain yang membuat Shika harus menjaga jarak dengan Raka. Tidak hanya Raka, tetapi kaum adam.
Shika memeluk tumpukan materi yang telah dia susun, kemudian mengangguk pelan. Sebagai jawaban.
"Yaudah, sok kamu dulu." Raka beringsut mundur, memberi ruang untuk Shika keluar duluan.
"Kalau ada materi yang gak kamu paham, bisa kok, chat aku."
Kini mereka tengah berjalan beriringan di lorong menuju kelas. Sekilas mungkin orang lain akan mengira mereka akrab karena terlihat dari Raka yang tidak henti-hentinya bersuara. Ya, hanya Raka. Karena sedari tadi, Shika hanya diam dan sesekali mengangguk. Sebagai jawaban.
Shika diam bukan berarti tidak menyimak. Dia pun tadi mendengar dengan jelas kalau laki-laki di sampingnya ini menawarkan diri jika Shika kesusahan dalam memahami materi untuk lomba. "Mana bisa chat dia, ngobrol aja gak boleh," batin Shika berucap.
Pintu kelas ditutup. Itu berarti pembelajaran sudah dimulai. Membuat keduanya mengetuk pintu terlebih dulu, meminta izin untuk masuk.
"Kalian abis dari mana?" tanya Bu Siska selaku guru Sejarah, sekaligus Wali Kelas mereka.
"Abis dari ruang PMR. Biasa, bahas lomba," sahut Raka dengan luwesnya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Raka dekat dengan guru. Bisa dibilang dengan semua guru. Sikapnya yang baik, ramah, serta kepintarannya yang sudah tidak diragukan lagi. Membuat dia dikenal hampir semua guru. Tak terkecuali Bu Siska.
"Gimana? Ada masalah?"
Baru saja Shika mendaratkan pantatnya, tetapi sudah ditodong pertanyaan oleh Sania. Sahabat, sekaligus teman satu ekskulnya.
Sania duduk tepat di depan meja Shika. Bersama dengan Tari. Mereka berdua kompak memutar tubuh ke belakang, mengeluarkan jiwa kepo mereka pada Shika.
"Gak ada. Cuma masalah materi aja. Udah ditentuin," sahut Shika sembari mengambil buku Sejarah dari dalam tas maroonnya.
Merasa tidak puas dengan jawaban yang didapat, membuat Tari kembali bertanya, "masa cuma itu aja? Tadi kata Puspa, wajahnya Kak Putra kek serius gitu natep kamu?" tanyanya penasaran.
Shika menghela napas. Beginilah nasib jika punya teman yang rasa ingin tahunya tingkat dewa. Tidak akan menyerah sebelum mendapatkan jawaban yang mampu membuat rasa keponya itu terpuaskan. "Ini lagi, kenapa juga Puspa pake acara laporan ke mereka Tambah ruyeum aja," batin Shika.
"Berarti Puspa ngintip, ya? Atau jangan-jangan sama kalian juga." Shika memicingkan Mata, serta jari telunjuk menunjuk ke arah mereka. "Aku laporin ke Kak Putra, ah," ancamnya kemudian.
Mendengar ancaman itu, membuat keduanya gelagapan. "Ya jangan dibilangin juga, dong, Shi!" protes Tari.
"Huuh." Sania mengangguk. "Bisa bahaya kalau Kak Putra tahu. Kamu sendiri tahulah dia kalau lagi marah." Sania bergidig ngeri ketika membayangkan bagaimana menyeramkannya Putra ketika marah. Laki-laki itu tidak pernah segan-segan pula memberikan hukuman. "Bisa-bisa kita ngompol di celana," tambah Sania.
Terdengar lebay, memang. Namun itu kenyataannya. Putra merupakan senior sekaligus salah satu anggota PMR dan menjadi panutan di bidang PRS. Dia baik, ramah dan murah senyum. Hanya saja, akan berubah seratus delapan puluh derajat jika sedang marah. Menyeramkan. Satu kata yang mampu mendeskripsikan sosok laki-laki itu.
"Tari, Sania, kalian lagi ngapain? Papan tulisnya, kan, ada di depan. Kenapa nengok ke belakang?"
Mendengar nama mereka dipanggil, membuat keduanya tersentak. Kemudian dengan malu-malu merubah posisi duduk menjadi mengahadap depan.
Tidak ada jawaban dari mereka, hanya wajah menampilkan cengiran tanpa dosa. Terlepas dari itu, jelas rasa malu lebih mendominasi. Terlihat dari pipi mereka yang memerah. Bagaimana tidak, hampir separuh penghuni kelas, mengarahkan pandangan ke arah mereka. Seakan ingin tahu apa yang sebenarnya mereka lakukan. Seperti pertanyaan Bu Siska tadi. "Malu, njirrr," umpat Sania.
"Udah, udah. Fokus lagi ke depan." Bu Siska mengintruksi.
Membuat Tari dan Sania bernapas lega. Karena terlepas dari tatapan teman-temannya itu. Sama halnya dengan mereka, Shika pun bisa bernapas lega. Bukan dengan alasan yang sama, tetapi karena terbebas dari pertanyaan tadi. Rasanya dia belum seterbuka itu berbagi segalanya kepada mereka.
***
Seperti rencana awal, sehabis pulang sekolah mereka tidak langsung pulang. Karena akan melakukan latihan. Lomba tinggal seminggu lagi, membuat semua bidang dituntut untuk siap melakukan latihan rutin setiap pulang sekolah.
Sama halnya dengan Shika. Dengan ditemani Raka, perempuan berambut sebahu itu duduk berdua di kelas X IPA guna menunggu Mia yang masih belajar.
Shika duduk di kursi barisan depan. Sedangkan Raka di meja sebelah kiri. Jelas Shika akan menolak keras jika Raka mengajaknya untuk duduk berdua dalam satu meja. Jangankan satu meja, berdua dalam satu ruangan seperti ini saja, sudah membuatnya tidak nyaman.
Raka melirik sekilas. Kemudian kembali menunduk, guna melanjutkan membaca materi untuk lomba. "Aku tau kamu gak nyaman." Ya, Raka menyadarinya. "Kamu bisa baca-bacanya di luar aja. Sambil liat Sania sama yang lain latihan PP," sambung Raka.
Dia bukan mengusir, tetapi dia tidak ingin membuat Shika tersiksa dengan hanya berdua seperti ini. Sedari tadi melihat gerak-gerik Shika yang nampak jelas tidak nyaman. Sudah beberapa kali perempuan berusia enam belas tahun itu merubah posisi duduknya. Seakan mencari tempat yang nyaman, padahal hatinya yang sedang tidak nyaman.
Shika yang sedari tadi tengah mencoba memfokuskan diri dengan membaca materi, sontak menoleh ke arah sumber suara. Hatinya terenyuh ketika mengerti maksud dari pengurisannya itu. "Ternyata peka juga," batin Shika.
Shika menggeleng. "Enggak usah. Di sini aja," sahut Shika. Meski dia sendiri tidak begitu yakin dengan ucapannya barusan, tetapi hati kecilnya mengatakan bahwa ini benar. Shika juga merasa tidak enak hati pada Raka. Laki-laki itu baik, bahkan pengertian. Padahal Shika merentangkan jarak di antara mereka.
Raka mengangguk. Karena merasa ini waktu yang tepat, Raka menggeser kertas yang berisi materi itu ke arah kanan. Kemudian merubah posisi duduk menghadap Shika.
"Shi, aku mau ngomong," ucapnya ketika melihat Shika tengah menunduk. Membaca materi.
Shika mendongak. "Apa?" tanyanya pelan. Kemudian dengan cepat dia mengalihkan pandangan ke arah dahi Raka. Ketika tadi sempat menatap bola mata itu. Selain berdekatan dengan kaum adam, Shika juga tidak boleh menatap matanya.
"Aku mau tanya alasan itu?" To the point. Bukannya Raka kepo, dia melakukan ini demi PMR, demi kelangsungan lomba. Itu saja.
"Alasan apa?" Shika pura-pura tidak mengerti.
Raka menghela napas. Dia tahu kalau Shika sedang berpura-pura. Dan fakta itu membuatnya semakin penasaran.
"Alasan kenapa kamu kaku sama aku, apa karena aku nyeremin?" Bukan karena Raka sama seperti Putra saat marah, tetapi karena Raka berkulit sawo matang. Berbeda dengan kebanyakan siswa yang berkulit putih. Dan Shika pun, paham akan hal itu. Karena Shika sering mendengar laki-laki itu mengucapkan kata yang sama saat mengobrol dengan teman-temannya.
Shika menghela napas. Tanpa disadari, tangannya memilin kertas materi yang sedari tadi menjadi fokusnya. Reaksi alami saat dia merasa gelisah.
"A-aku gak bisa jawab itu, Ka," sahutnya gugup.
"Kenapa gak bisa? Mungkin kalau kamu cerita, aku bisa bantu." Raka bukannya memaksa, balik lagi, ini demi ekskul.
"Karena dengan cara gak ngobrol sama laki-laki dan kaku sama kamu, jelas itu cara yang terbaik."
Raka terkekeh-kekeh. Kepala menggeleng beberapa kali. "Sumpah, ini gak lucu, Shi." Nadanya mulai terdengar meninggi. Merasa semua ini tidak masuk akal "Aku gak maksa kamu buat jawab. Tapi kalau kamu gak jawab sekarang, pasti nanti Bang Putra maksa kamu." Raka tidak kehilangan ide, dia ingat betul kalau Putra pasti akan menagih ini.
Shika terdiam. Menimang-nimang kembali apakah dia harus mengatakannya pada Raka? Tetapi yang diucapkan Raka memang benar. Putra pasti akan menanyakan kembali hal ini.
"Kalau kamu cerita sama aku, sebisa mungkin nanti aku akan bantu buat jelasin ke Bang Putra." Raka kembali membujuk. "Beda lagi kalau kamu yang jelasin langsung. Dia pasti gak akan biarin kamu lepas sebelum menceritakan yang sedetail-detailnya," sambung Raka.
Matanya tidak lepas mengamati setiap gerak-gerik yang ditimbulkan oleh Shika. Perempuan yang dia kenal sekitar beberapa bulan lalu, saat mereka pertama kali masuk kelas yang sama. Rambut sebahu, pipi tembem yang dihiasi dua lesung pipi, jelas menambah kesan manis pada perempuan itu. Namun bukan itu yang menjadi fokusnya saat ini, melainkan tangan yang memilin kertas serta wajah yang menyiratkan kegelisahan. Jelas mengganggu pikirannya. "Apa yang sedang dia sembunyikan?" tanya Raka dalam hati.
Raka hampir putus asa menunggu jawaban dari Shika. Namun semangatnya kembali datang ketika mendengar Shika bersuara.
"Aku punya pacar yang posesif. Dia ngatur-ngatur aku. Mulai dari gak boleh ngobrol sama cowok, deket-deket sama cowok, sampe natep mata aja gak boleh." Shika menjeda sebentar guna menarik napas. "Jadi kamu juga pasti paham kenapa aku dari tadi gak nyaman. Ya karena aku gak bisa bayangin gimana marahnya dia pas tahu aku berduaan sama kamu kaya gini."