Zefa menatap tajam jalan di depannya serta meremat kemudi mobil, mengingat kejahatan Ari kepada Joshua benar-benar membuat Zefa marah. Di sepanjang perjalan, mulutnya tak mengumpat dan tak jarang sekali-sekali dia juga memukul-mukul kemudinya sendiri.
"Argh!" erang Zefa sambil membenturkan dahinya ke arah kemudi mobil saat warna merah lampu jalanan mulai menyala. "Aku pastikan saat terbebas, aku pasti akan segera membunuhnya."
Setelah lampu hijau telah menyala, Zefa mengendarai mobilnya dalam kecepatan tinggi hingga membawanya ke penjara. Tepat saat kedua kakinya turun dari mobil, Zefa berjalan menuju ke pintu masuk penjara dan mereka langsung mengatarnya keruang pertemuan saat mengetahui tujuan dari Zefa yang datang kemari.
Di depan kaca pembatas, Zefa duduk dan menunggu kedatangan Ari menemuinya. Di samping itu, sebuah nada telfon terdengar dari ponsel. Zefa segera memeriksa nama penelfon yang menghubunginya namun ketika itu Ari baru saja datang dan membuat Zefa mengurungkan niatnya sebelum dia tahu nama seseorang yang menghubunginya.
"Wah lihatnya siapa yang datang mengunjungiku." Ari tersenyum miring dan duduk di depan Zefa.
Tatapan malas telihat dari kedua mata saat melihay Ari yang baru saja tiba. "Bagaimana mungkin bajingan sepertimu masih bisa tersenyum seperti itu? Menjijikkan."
Ari mendengus. "Bahkan setelah lima tahun berlalu, lidahmu masih sama seperti dulu. Sangatlah tajam," kata Ari serayan menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi.
"Kau terlalu menjijikkam dan sangat hina. Bagimana mungkin kau bisa hidup dengan wujud sampah seperti itu? Apakah kau produk gagal yang dibuat Tuhan?" sindir Zefa.
Melihat Zefa yang memasang wajah datar serta menghinanya seperti itu membuat Ari menggebrak meja dan membuat para penjaga mengerjap-- kaget. "Dengar, aku tidak tahu apa maksud kedatanganmu kesini tapi ingat ini. Orang yang akan aku temui setelah keluar dari sini adalah kau." Ari mencondongkan kepalanya ke depan. "Zefa...." ucapnya pelan serta senyum seringai menghiasi wajahnya.
"Lakukanlah sesukamu, aku kesini hanya untuk melihat sampah sepertimu. Apakah kau masih hidup atau tidak," hina Zefa sambil bersendekap dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi.
"Aku heran dengan Joshua, bisa-bisanya dia mati demi perempuan bermulut tajam sepertimu."
Kedua mata Zefa terpejam ketika dia mengela nafas panjang kemudian membukanya. "Sudahlah aku terlalu lelah melihat wajahmu, aku datang kesini bukan untuk beradu argumen denganmu tapi...."
"Tenanglah aku tidak akan membunuh keluargamu, termasuk keponakanmu."
Seketika itu juga darah mendelesir naik ke kepala Zefa, kedua matanya melebar serta alisnya terangkat. "Apa? Ba-bagaimana mungkin kau tahu kalau aku memiliki keponakan?"
Ari tersenyum saat melihat ekspresi kemarahan dari wajah Zefa. "Tenanglah aku tidak akan menyakiti mereka karena, aku sudah mendapatkan misi penting setelah keluar dari sini. Aku juga tahu bagaimana keadaan Maria sekarang tapi...bukankah lebih baik aku bertanya padamu secara langsung?" Ari terkekeh sinis.
"Tutup mulutmu bajingan!" tunjuk Zefa dengan jari telunjuknya. Zefa sudah muak berlama-lama di dalam ruangan ini, dia bangkit berdiri dan hendak pergi namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara Ari yang memanggilnya.
Ari terkekeh sinis. "Cepat atau lambat kau juga akan menyusul Joshua di alam baka sana."
"Ck! Berhentilah menyebut nama Joshua!" Zefa menoleh dan melihat Ari dari sudut mata. "Mulut kotormu, tidak pantas menyebut nama Joshua!"
Ari yang melihat Zefa terhenti tanpa menoleh kearanya langsung berkata, "Permainan selanjutnya akan lebih menarik, kau tunggu saja."
"Ya, aku sangat menantikannya," kata Zefa kemudian membuka pintu dan keluar.
"Lihatlah kekasihmu ini Joshua, pantas saja kau menyukainya tapi sayang sekali dalam rencana kali ini aku tidak bermain dengannya," gumam Ari pelan.
~
Sesampainya di rumah Zefa langsung menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang dan melepaskan heels dengan kakinya. Belum sempat dia mengatakan tujuan kedatangannya ke penjara, Zefa sudah tersulut api kemarahan yang membuanya harus pergi.
Zefa memejamkan mata dan menikmati alunan dari lagu yang didengarnya agar menghilangkan amarahnya. Mengingat perkataan Ari membuat Zefa bergumam, "Tujuan manusia lahir di dunia ini memang untuk mati namun, aku tidak akan mati begitu saja tanpa membunuhmu, Ari." Untuk beberapa saat Zefa mulai tenang.
Di saat itu juga dia merasakan perutnya yang keroncongan, oleh karena itu Zefa bangkit dari ranjangnya dan membersihkan dirinya sebelum dia pergi keluar membeli makanan.
Dengan menggunakan kaos yang di tutup oleh sweater, celana panjang serta sendal jepit Zefa sudah siap pergi membeli makanan tak lupa juga ponsel dan dompet yang harus dibawanya agar di dapat membayar makanan yang di belinya.
Zefa melangkah kaki melewati trotoar jalan, sengaja dia tidak mengendarai mobil sebab dia ingin menikmati suasana kota saat itu dan tibalah saat Zefa berada di bawah lampu yang berwarna hijau.
Dia mengedarkan pandangannya dan melihat para pasangan muda mudi yang saling beradu asmara, melihat hal tersebut membuat Zefa berfikir. 'Bagaimana bisa mereka menikmati hidup ini meski dunia sedang tidak baik-baik saja? Atau hanya hidupku saja yang terasa sangat membosankan?'
Tepat ketika lampu di atasnya Zefa mulai melangkah melewati jalanan bercat hitam putih sambil memasukan kedua tangan kedalam kantung sweater. 'Hidupku memang tidak terlalu sengsara namun juga tidak juga bahagia, beruntung bagi mereka yang tetap hidup bahagia di dunia yang menjijikkan seperti ini'
Setelah berada di seberang jalan, Zefa melihat orang-orang tiba-tiba berjejer di tepi jalan. Zefa yang tidak peduli dan tidak ingin tahu memutuskan untuk berjalan pergi. Saat sudah cukup lama berjalan barulah Zefa mengerti alasan mengapa orang-orang tadi tiba-tiba berkerumun di pinggir jalan.
'Apakah dia artis? Mobilnya sangatlah mewah' Zefa melihat mobil berwarna putih tengah terparkir di pinggir jalan dan tepat berada di depan kedai yang ada di tujunya.
Zefa berjalan hendak melewati mobil tersebut dan tepat saat itu sebuah benda terjatuh saat dia berada di samping mobil putih itu. Tanpa pikir panjang Zefa langsung mengambilnya lalu menyodorkan ke arah kaca.
Melihat seorang pria dari dalam mobil membuat Zefa berkata, "Barangmu terjatuh."
Pria berkaca mata hitam itu langsung menoleh kearah Zefa. "Kau bisa mengambilnya."
Zefa berdecak dan tanpa pikir panjang langsung menjatuhkan benda tersebut ke dalam mobil. "Tidak, terima kasih."
Seketika itu pria yang sedang duduk santai di mobil tiba-tiba saja melepaskan kaca matanya ketika melihat reaksi dari Zefa. "Kau tidak mau benda ini?" tanyanya dengan terkejut.
"Tidak." Zefa memalingkah wajahnya dan berjalan pergi.
Di saat Zefa melangkah pergi, pria berkaca mata tadi tidak sengaja mencium bau vanila dari baju Zefa dan membuatnya teringat akan sesuatu. "Bukankah dia gadis waktu itu?" Seraya mengeluarkan kepalanya dari dalam mobil dan melihat Zefa yang berjalan pergi.