Sesampainya di dalam wisma, Sipoel dipersilahkan duduk oleh Mami. Cukup santun cara dia memperlakukan. Lantas sigap mengambil segelas minuman kemasan dari kardus yang diletakkan tepat di samping kursi duduk para tamu. Mami mengambil tempat di sampingnya. Memandangi dengan senyum yang dibuat-buat. Sedangkan lelaki tua ini belum bisa mengusir rasa gagapnya.
Di atas kursi tersebut dia malah semakin tampak kaku. Ia duduk tanpa bersandar dengan masih membiarkan tongkatnya berdiri bersandar di bahunya. Beberapa bulir keringat tampak terus mengucur deras dari dahi. Keringat dingin tersebut mengucur karena ia tahu benar apa yang sedang akan dilakukan. Sekuat tenaga membalas senyum Mami, namun yang terjadi malah wajahnya tampak seperti orang sedang akan menangis. Matanya tampak sering berkedip seolah berkata, "hey, bukan begini maksudku!" sambil sesekali menggidikkan kepalanya.
"Santai saja. Tuan bisa menjenakkan diri di sini dulu," mami membuka pembicaraan sekaligus mencoba menenangkan kegelisahan yang tertangkap olehnya dari wajah Sipoel.
"Atau Tuan mau saya pesankan teh hangat?" imbuhnya.
Sipoel mengangguk kaku sambil menelan ludah hingga mempertontonkan dengan jelas jakunnya naik turun.
Ia tidak begitu berfokus pada apa yang ditawarkan. Matanya lebih memilih memandangi dada perempuan tersebut yang besar dan jatuh. Berpikir keras menghitung berapa bibir yang pernah menggelendot manja di sana, sehingga sebegitu turunnya dada perempuan tersebut? Bukan hal aneh semestinya. Karena masih dalam batas kewajaran laki-laki yang bukan lagi ditentukan oleh usia. Siapapun lelaki yang berhadapan dengan Mami, akan tertarik fokusnya untuk melihat ke arah buah dada. Karena memang beliau memakai setelan kaos ketat hitam dengan potongan ekstrim rendahnya. Aksen yang diberikan salah satu dari empat kalung emas yang menggantung di lehernya, akan menuntun mata orang-orang dihadapannya untuk menelusur ke bawah, hingga menemui belahan dada. Cara yang cerdas bagi seorang perempuan pemilik wisma. Setidaknya, hal ini memberikan semacam pengantar yang menggiurkan bagi pengunjung yang datang ke sini.
"Baiklah, tunggu sebentar. Tuan bisa mengamati beberapa perempuan yang berada di sudut itu sembari menunggu teh hangat jadi. Pilih saja yang disukai."
Lelaki tua itu hanya memandang sekilas. Tujuan utamanya ke tempat ini, membuatnya sedikit malas mengamati dengan seksama. Yang ia tangkap hanyalah lima perermpuan di dalam sebuah etalase raksasa yang sibuk bermain dengan ponselnya. Semuanya tampak cerah dan mulus. Dan sepertinya cara memoles bibir dan alis tampak lebih rapi daripada mami yang baru saja ia temui. Dada mereka memang tidak semuanya besar, namun tampak terangkat hingga membentuk separuh bulatan yang menarik pada bagian yang tidak tertutup. Ia merasa belum ingin memilih.
Sipoel lebih tertarik untuk memastikan sebuah lukisan yang sempat sekilas ia lihat beberapa waktu sebelumnya. Lukisan itu diletakkan tepat di belakang meja resepsionis. Matanya menyipit untuk memastikan ingatan sekaligus tulisan di bagian bawah pigoranya. 'Lalat dan Bulan Purnama'. Judul yang sama persis dengan yang ia punya berpuluh tahun lalu.
Apakah lukisan ini hasil reproduksi? Bukankah dirinya dulu telah merobek cukup lebar dengan pisau dapur dari ujung kanan atas ke ujung yang lain?
Rasa penasaran membuat Sipoel beranjak dari duduknya, mendekat kepada lukisan tersebut. Dipandanginya dengan seksama, namun masih saja tak tampak ada tambalan yang sesuai dengan apa yang ia lakukan pada lukisan tersebut. Lelaki tua itu berpindah posisi, menempelkan tubuhnya pada dinding, lantas melihat bayang goresan lukisan tersebut. Dan dari sisi inilah ia mendapatkan sesuatu yang ganjil. Ada sepersekian inchi gundukan tinta yang sama persis dengan goresan pisau di masa lalu.
Bisa jadi seorang ahli menambalnya, lantas menutup sobekan tersebut dengan tinta dan warna yang serupa. Dan satu hal lagi yang bisa dipastikan oleh Sipoel, kanvas lukisan tersebut agak kendur.
Seketika ia mengingat apa yang telah dikatakan oleh pelukis lukisan tersebut;