Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Di Balik Luka Ada Cinta

Marisa_Caa
--
chs / week
--
NOT RATINGS
4.3k
Views
Synopsis
Terluka karena cinta adalah hal yang selalu di alami setiap manusia, tak terkecuali Sabrina. Wanita yang selalu menjaga dirinya justru sangat terluka oleh cinta. Ini adalah takdir sang pencipta, hanya mempertemukan Sabrina pada Adit dengan waktu sangat singkat. 3 bulan mereka hidup bersama, lalu menyembuhkan luka hampir menghabiskan banyak bulan. Sabrina ingin menutup hati untuk siapapun yang ingin hadir, tanpa di sangka sebuah pertemuan dan kalimat spele akhrinya mempersatukan mereka dalam ikatan yang sah. Apakah Sabrina benar-benar bisa melupakan sosok pria yang sangat dia cintai itu, atau Sabrina hanya terpaksa menerima pernikahan ini? kelanjutan kisahnya bisa kalian ikuti dalam setiap babnya, ya..
VIEW MORE

Chapter 1 - -Tanpa Sengaja

Sabrina, gadis malang yang saat ini sedang kehilangan separuh jiwanya. Sabrina masih berada di samping tanah gundukan yang baru saja terbentuk.

Tidak menangis, hanya menatap papan nisan dengan kosong. Sabrina tidak menyangka kisah percintaannya akan berakhir secepat ini.

Sabrina adalah gadis rumahan yang tidak pernah mengenal cinta lawan jenis sebelumnya. Adit adalah cinta kedua setelah Abi Sabrina, dan ternyata Allah hanya menghadirkan cinta itu selama tiga bulan.

Tiga bulan setelah pernikahan mereka, semua berjalan seperti biasa. Adit yang selalu memperlakukan Sabrina dengan baik, mencintai Sabrina layaknya mereka sepasang kekasih yang sudah saling mengenal lama.

Adit adalah sosok imam yang baik.

"Mas, kenapa Allah terlalu cepat memanggilmu?" Sabrina berdialog sendiri, "aku masih membutuhkan mu, Mas. Bahkan aku belum mengandung anakmu."

Sampai di sini, Sabrina sudah tidak bisa menahan air mata lagi. Sudahlah, tidak ada orang di sini, Sabrina akhirnya menangis tersedu sampai sebuah suara ramai menghentikan aktifitasnya.

Sabrina menoleh. Ternyata ada jenazah yang akan di makamkan tak jauh dari suami Sabrina berada. Tidak ada yang Sabrina kenal, Sabrina lalu bangkit dan berjalan menuju mobil yang terparik di pelataran pemakaman ini.

"Mbak!"

"Mbak!"

Sabrina menoleh kembali, merasa bahwa dirinya yang di panggil oleh suara tersebut.

"Maaf, ini bros jilbabnya jatuh," ucapnya ingin memberikan bros tersebut. Bros yang membuat Sabrina kembali termenung.

"Mbak?" panggil pria itu sambil melambaikan tangannya tepat di depan wajah Sabrina.

Sabrina mengerjap kaget, mundur beberapa langkah. "Maaf, Mas. Tolong simpan saja, lain waktu akan saya ambil." Sabrina mengatakannya cepat sebelum air matanya kembali menetes.

Pria yang Sabrina titipkan itu menatap kepergian Sabrina heran. Setelah sosok Sabrina hilang, pria tersebut membolak-balikan bros jilbab yang tampak indah itu.

***

Satu bulan, dua bulan. Sampai berbulan-bulan akhirnya. Sabrina bukannya tidak percaya pada takdir. Hanya saja wanita berparas ayu itu tidak bisa mengikhlaskan dengan waktu yang cepat.

Hari ini tepat habisnya masa Iddah yang Sabrina jalani, sang Umik datang menemui Sabrina yang berada di taman belakang.

"Sa, kalau mau liburan ke rumah mbak, tidak apa-apa. Nanti biar Umik sampaikan ke adikmu."

Sabrina yang sedang tidak melakukan aktivitas apapun itu lantas menatap sang Umik lekat. Sabrina sadar, bukan hnya dia yang terluka atas kehilangan Alm. Anggota keluarganya pasti sangat sedih melihat keadaan Sabrina yang tidak lekas membaik itu.

Sabrina mengangguk. "Nanti sore Umik. Lagian Yusuf lagi ngajar juga, 'kan?" ucap Sabrina sangat melegakan hati orang taunya.

Umik Salma tersenyum, memandangi Sabrina dengan tatapan berkaca-kaca. "Tidak apa-apa lama di sana, fokus saja pada ketenangan kamu, Sa. Biar urusan pekerjaan Umik atau adikmu yang handle."

Sabrina memeluk Umiknya yang sudah tidak lagi muda itu. Sangat bersyukur karena telah di berikan keluarga yang selalu ada di berbagai keadaan.

***

Suasana kota dan desa memang tidak bisa di bandingkan. Jiwa Sabrina sangat tentram jika berada di sini. Suasana yang religius juga Sabrina dapatkan jika di sini.

"Bagaimana, Sa? Hitung-hitung mengisi waktu kosongmu, agar tidak terlalu mengingat almarhum lagi," usul Cahya-kakak pertama Sabrina.

Sabrina mengukir senyum tipis di wajah teduhnya, wajah yang selalu menyiratkan bahagia kini hanya terlibat murung dan murung. Kedua tangannya menyangga di kursi tempat mereka duduk saat ini.

"Boleh sih, Mbak. Tapi usaha aku bagaimana?" tanya Sabrina ragu. Sedangkan Cahya tersenyum lebar, menurut Cahya ini bukanlah sebuah masalah besar.

"Kamu serahin aja ke Yusuf, hitung-hitung nambahi uang jajan dia. Kamu mantau aja lewat hp, malah gampang."

Sabrina tidak langsung mengiyakan, mau bagaimana juga itu adalah bisnis yang baru saja di rintisnya bersama Almarhum Adit. Baru ingin mengepakan sayap ke pasaran, namun beberapa bulan ini harus terbengkalai akibat Sabrina yang tidak bisa fokus pada usahanya.

"Tenang aja, gitu-gitu Yusuf bisa kok di percaya, Sa!" timpal Cahya meyakinkan Sabrina yang terlihat jelas ragu atas usulan ini.

"Aku coba ya, Mbak .."

Cahya dan Sabrina masuk ke dalam, kebetulan suami Cahya memang sedang tidak ada di rumah, ada dinas di luar kota sekitar satu minggu kalau tidak ada perpanjangan.

Kedatangan Sabrina ke desa ini sungguh memberikan Cahya solusi terbaik agar sang adik segera bangkit dari keterpurukannya. Tidak maksud ingin menghapus total memorinya, Cahya kasihan kepada Sabrina yang masih sangat muda jika hidupnya habis untuk hal yang membuang waktunya saja.

Kebetulan, Sabrina adalah lulusan pesantren. Dan letak pesantren tersebut dengan rumah yang Cahya tempati saat ini tidak terlalu jauh, Cahya juga salah satu ustadzah di sana. Ada lowongan, alhasil Cahya menawarkan sang adik untuk ikut bergabung di sana.

Sabrina memang tidak masalah, berkunjung ke desa ini sudah sangat kerap. Membuat Sabrina memang sudah tidak canggung lagi dengan lingkungan sekitar.

***

Keesokan harinya, Sabrina datang ke pesantren bersama Cahya dan Adinda anak Cahya satu-satunya. Sabrina langsung di bawa untuk bertemu langsung oleh Bu Nyai di pesantren ini.

"Oh, jadi ini nak Sabrina .." tutur Bu Nyai dengan sorot mata berbinar, Sabrina hanya tersenyum mengangguk saja. Tidak bisa berbuat lebih jika di hadapan beliau. "Kebetulan sekali, Ustadzah Reni boyongan dan Ibu lagi mencari penggantinya, tidak apa-apa kalau memang nak Sabrina mau," Lanjutnya. Setiap ucapan beliau terdengar sangat tulus.

Bu Nyai Firoh. Sebelumnya sudah mendengar cerita tentang Sabrina yang di tinggal oleh suami setelah beberapa bulan pernikahan, mendengar kondisi Sabrina yang tidak membaik. Lalu saat ini, akhirnya Bu Nyai Firoh bisa bertatap muka langsung oleh wanita cantik yang sempat menjadi kandidat menantunya.

Diam-diam, tanpa ada orang luar yang tahu. Bu Nyai memang pernah mendiskusikan Sabrina untuk di jodohkan dengan putra pertamanya. Dan semua pihak setuju akan pendapat tersebut, namun di sayangkan. Ternyata keluarga pesantren telah terlambat.

Wawlahua'lam jika memang mereka berjodoh.

Percakapan mereka berakhir. Cahya menyuruh Sabrina pulang bersama Adinda, dan Cahya akan melanjutkan tugasnya di sini.

Dari kejauhan, seorang pria lengkap dengan atribut sarung, peci, lalu sajadah di tangannya. Pria itu baru saja keluar dari masjid, dan samar-samar melihat wanita yang dia temui di pemakaman beberapa bulan yang lalu.

"Ah, iya. Bukanya dia adalah pemilik Bros hijab itu?" gumamnya pelan. Ingin mengejar, namun langkahnya ragu saat melihat ada sosok pria yang menghampirinya.

"Oh, sudah punya suami. Cantik, kukira masih sendiri," Pria ini terkekeh geli, menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal lalu segera berjalan masuk ke dalam rumahnya.

"Gus Enggal, Njenengan sudah di tunggu di kelas."

"Heh, apakah hari ini saya ada kelas, Zul?" tanya pria yang bernama Enggal itu, wajahnya kaget.

Zul mengangguk antusias, "Iya, Gus."

"Woalah, saya lupa. Yasudah langsung aja ke kelas,"

Kedua pria beda usia ini berjalan bersama, Gus Enggal berjalan dengan santai, dan terpaksa harus melintasi wanita aneh yang ada di pemakaman saat itu.

"Abi, tapi Umik masih ada kelas," suara Adinda terdengar manja saat Gus Enggal tak sengaja mendengar.

Aneh saja, ada rasa yang semakin penasaran menyelinap masuk dalam ruang hati Gus Enggal.

Segera ia tepis, karena jika di teruskan pasti akan salah jalan.

"Gus, njenengan mau ke mana?" tanya Zul yang berdiri di persimpangan kelas.

Gus Enggal berhenti dan menoleh. "Katamu aku ada kelas, Zul. Ya ini aku mau ke kelas,"

Andai saja ini bukan Gusnya, Zul pasti akan tertawa melihat ketidak fokusan sang Gus yang jarang Zul temui ini.