Suami Cahya telah pulang dinas lebih awal dari waktu yang di jadwalkan. Sebelum Sabrina menyandang status sebagai seorang janda, semua baik-baik saja. Tapi setelah ini, tampaknya warga mulai resah akan kehadiran Sabrina yang bertempat tinggal di rumah Cahya.
"Mbak, apa tidak sebaiknya Sabrina tinggal di pesantren saja? Saya dengar dari bu Marni, saat ini Sabrina jadi bahan omongan tetangga." Bu Fatimah, selaku sahabat Cahya memberitahu.
Untungnya, keluarga Sabrina memang bukan tipe manusia yang gampang tersulut oleh emosi atau berita sepihak. Memang, Cahya sudah mendengar berita ini, tapi Cahya merasa semuanya baik-baik saja.
"Mau bagaimanapun juga, Sabrina adalah seorang janda, Mbak!" timpal Bu Fatimah membuat Cahya menoleh.
"Memangnya kenapa kalau saya janda, Bu? Bukankah drajat kita sama? Kita sama-sama janda yang di tinggal meninggal suami kita, Bu!"
Sabrina, wanita yang mengenakan hijab putih lebar itu tiba-tiba muncul. Membuat Bu Fatimah membungkam suaranya dalam-dalam. Mereka di sini sama menjadi ustadzah pesantren. Yang membuat Sabrina heran, kenapa malah Bu Fatimah ikut mengompori.
"Ibu tenang saja, permasalahan ini sudah saya diskusikan bersama Bu Nyai. Secepatnya saya akan tinggal di pesantren," lanjut Sabrina membuat tatapan Cahya tidak percaya.
"Sa?"
Sabrina mengangguk, meskipun hatinya sedikit nyerih akan berita ini. Namun Sabrina tetap memaksakan senyum terbit di wajahnya. "Menghindari fitnah, Mbak. Lagian bisa mempersingkat waktu kalau aku di sini," jelas Sabrina. Bu Fatimah hanya diam tidak ikut menimpali lagi.
Cahya menghargai setiap keputusan yang Sabrina ambil. Apapun yang membuat Sabrina nyaman, maka Cahya tidak akan melarangnya.
***
Sore harinya, tanpa membuang waktu lagi. Sabrina langsung boyongan ke pesantren al-Imam ini. Hanya membawa satu koper yang berisi baju-baju serta kitab yang dia bawa dari rumah. Sabrina menempati kamar yang bergandengan dengan rumah utama di pesantren ini. Semua atas permintaan Bu Nyai.
"Nduk, tinggal sendiri tidak apa-apa, 'kan?" tanya Bu Nyai pada Sabrina yang baru saja memasuki kamar barunya.
Sabrina berjalan mendekat, sungguh ini sangat berlebihan untuk dirinya yang baru satu minggu bergabung di pesantren ini.
"Maaf, Bu. Apakah ini tidak terlalu berlebihan? Saya tidak apa-apa kalau tinggal di asrama, kamar ini terlalu bagus untuk saya." Sabrina menolak secara halus.
Bu Nyai Firoh tersenyum. Memegang pundak Sabrina, "Tidak apa-apa, Nduk. Dari pada kamar ini tidak terpakai," jawab Bu Nyai singkat.
Sabrina hanya bisa mengangguk dan akhirnya menerima fasilitas ini.
Membereskan kamar yang tidak terlalu luas namun di lengkapi dengan furniture yang bagus-bagus untuk ukuran ustadzah sepertinya. Sabrina mulai nenata rapih barang yang dia bawa. Setelah selesai, Mbak khadimah yang sudah lebih dulu di sana datang membawa peralatan setrika.
Sabrina menyambut dengan baik. Ya, Sabrina menawarkan diri untuk mengabdi di pesantren ini, walaupun sebelumnya tidak memiliki pengalaman di bagaian ndalem. Sabrina cukup cekatan dalam hal menyetrika atau melipati pakaian.
"Terimakasih, Mbak."
"Sama-sama, Ustadzah." Mbak Khadimah itu menjawab dengan ramah lalu kembali pergi.
Tidak di pungkiri jika di sini Sabrina semakin merasakan nyaman. Nyaman yang tidak dia dapatkan sebelumnya.
Melakukan aktivitas layaknya ustadzah yang bermukim di sini, Sabrina berjalan menuju masjid santriwati bersama salah satu Khadimah di ndalem. Berbicara singkat mengenai pesantren ini.
Suara heboh saat Sabrina tiba di pelataran masjid, pria gagah yang sudah siap menjadi imam rupanya penyebab para santriwati menahan teriakannya.
"Itu Gus Enggal, Ustadzah. Masih jomblo, katanya waktu itu mau lamaran tapi gak jadi."
Sabrina menoleh penasaran.
"Calonnya sudah lebih dulu di pinang, akhirnya sampai sekarang belum ada calon lagi." Mbak Nike menjelaskan.
Sabrina hanya ber 'Oh' ria saja, tidak ingin terlalu peduli dengan pria. Tujuannya berada di pesantren ini adalah menyembuhkan luka atas kehilangannya sang suami.
Gus Enggal memang kerap menjadi imam sholat santriwati, selain dia adalah anak tertua, Gus Enggal memang telah di gadangkan akan menjadi penerus Abah Kyai.
Bacaan setelah surah Al-fatihah. Gus Enggal memilih surah Al-Ikhlas. Memang surah singkat yang biasanya di pakai para imam sholat, namun bacaan Gus Enggal membuat Sabrina teringat oleh sosok yang sangat dia rindukan.
Sabrina menitikan air matanya untuk pertama kali mendengar suara pria yang bukan mahramnya. Sampai sholat selesai, Sabrina hanya menunduk saja.
Semua santriwati bubar satu persatu. Setelah ini Sabrina memang tidak memiliki kegiatan apapun, menunggu Maghrib di sini adalah pilihan Sabrina.
Sabrina berada di pojok belakang sebelah tirai, yang Sabrina sangka sudah tidak ada siapa-siapa di sini. Sabrina terisak membiarkan suaranya terdengar sangat menyayat. Tanpa Sabrina tahu jika ada Gus Enggal yang selalu tinggal setelah sholat Ashar.
Gus Enggal mempertajam pendengarannya. Semakin jelas jika itu adalah sebuah isakan seorang perempuan. Gus Enggal bangkit dari tempatnya dan melihat dari celah tirai, terlihat seorang wanita yang sedang menunduk dan menangis. Pundak Sabrina memang bergetar hebat.
"Bagaimana para pengurus santriwati ini, kenapa masih di biarkan ada yang bolos di jam madrasah?" gumam Gus Enggal menggeleng kecil.
Karena merasa tidak adil jika membiarkan ada santri yang membolos, Gus Enggal berjalan mendekat ke arah tirai di sebelah Sabrina.
"Mbak, mau kena hukum atau gimana? Kenapa malah nangis di sini?" tegur Gus Enggal membuat Sabrina tersentak kaget.
"Mbak!" panggil Gus Enggal lagi, karena dia tidak mendapatkan respon apa-apa dari wanita yang dia sangka adalah santriwati.
Sabrina mematung. Terlebih suaranya bukan wanita, membuat Sabrina ragu ingin mendongak untuk sekedar melihat.
Mengambil jalan pintas, Sabrina hanya mengangguk samar saja.
Bukan Gus Enggal kalau mempermudah masalah. Gus Enggal yang Biasanya tidak pernah di abaikan kini harus menerima kenyataan jika ada santriwatinya yang seperti ini.
"Mbak, kamu wajib di hukum lho. Kamu gak ikut madrasah, 'kan? Jadi kamu ikut saya ke kantor!"
Refleks Sabrina langsung mendongak. Membuat Gus Enggal terdiam tanpa kata. Mata Sabrina yang memerah dan membengkak membuat Gus Enggal salah tingkah.
Sampai di sini Gus Enggal belum sadar jika wanita ini adalah wanita yang dia temui saat di pemakaman.
"Ayo ikut saya ke kantor!" ulang Gus Enggal, menyadarkan diri dari keadaan ini.
Sabrina mengernyit dahi. Teringat kata-kata mbak Nike, jika pria ini adalah Gus di sini.
Apakah wajahnya semuda itu sampai di kira santri? Oh, wajar saja. Di sini Sabrina adalah penghuni baru, wajar saja jika Gus Enggal tidak mengenalnya.
"Maaf, Gus. Saya bukan santri di sini," balas Sabrina menundukan pandangannya.
Gus Enggal mengerjap cepat dan masih tidak percaya jika Sabrina bukan santri di sini.
"Mbak, jika kamu tidak mau menganku, hukamannya akan lebih berat!" ancam Gus Enggal membuat Sabrina menggrutu kesal.
"Gus. Saya bukan santri di sini!" Sabrina terlihat menekan setiap perkataannya.
"Lalu, kalau bukan santri, kamu siapa?"
"Saya?"