Aku menyeberang menuju Kepulauan Anthemusa melalui selat Napoli. Penyeberangan kapal terbang berhenti karena tekanan udara yang terlalu rendah, jadi aku memutuskan untuk berangkat melalui jalur laut. Tahun itu adalah 250. E5, dan aku pergi seorang diri.
Mencatat kebenaran akan Siren adalah suatu hal yang sangat sulit. Pertama, mereka tidak mudah untuk ditemukan, dan kedua, terdapat kecenderungan bahwa mahluk ini memangsa manusia. Meskipun demikian, beberapa catatan dari Vergilius Maro, yang menyatakan bahwa terdapat tiga pulau kecil bagi mahluk mitologi hidup dan memikat para pelaut menuju kematian. Dia mengatakan itu sebagai Sirenum Scopuli atau batu tajam yang berdiri sekitar sisi selatan Kekaisaran. Pada sumber lain, para Siren seringkali muncul pada saat purnama dan bernyanyi dengan nada yang tidak terbayangkan indah untuk menarik para pelaut menuju kematian.
Beragam lokasi ditetapkan sebagai pulau siren oleh berbagai otoritas. Menurut puisi epik kuno, mereka berada diantara Aea dan batu karang Khilia. Seringkali para siren berada di laut Tyrberion, di lepas pantai selatan Kekaisaran. Dalam versi lain, Kepulauan Anthemusa merupakan rumah bagi para siren. Tradisi penempatan nama siren di sekitar pulai-pulau Sirenusa atau Sirenum Scopuli berlanjut hingga saat ini. Meskipun demikian, aku dapat menyimpulkan bahwa lokasi sebenarnya dikelilingi oleh tebing dan bebatuan.
Sebagian besar adalah takhayul dan perdebatan kecil, meskipun pada akhirnya aku telah menghabiskan tiga hari di Napoli, untuk menyelesaikan bagian terakhir dari perburuan Griffin. Dari Napoli, aku bergerak menuju pulau Capri, sebuah wilayah menghadap Teluk dan destinasi wisata yang cukup populer.
Terdapat beberapa hal baru yang bisa dinikmati pada awalnya. Langit biru cerah yang jarang terlihat di Ibukota ataupun bangunan kuno yang seperti tidak tersentuh oleh waktu. Perjalanan ini terlihat seperti liburan daripada studi pengumpulan informasi.
Dengan sedikitnya informasi yang beredar dan tidak satupun dari mereka memberikan bukti yang kuat. Aku hanya menunggu dan menghabiskan minggu sebelum pergi dari pulai ini. Tidak ada yang dapat aku lakukan selain membaca, belajar, dan menjalin pertemanan dengan beberapa pengunjung, kebanyakan dari mereka adalah pelaut. Mungkin pertemanan adalah kata yang terlalu kuat: mereka mengenalku cukup baik untuk berbagi minuman ataupun percakapan, tapi tidak lebih. Mereka juga mengatakan bahwa Siren adalah mahluk yang sangat jarang terlihat dan lebih memilih untuk menghindari manusia.
Aku tinggal sampai tengah malam dan membuat beberapa catatan dan menolak untuk minum lebih banyak. Sementara terlarut dalam apa yang telah dicatat, aku tidak menyadari jika seseorang telah duduk di depanku. Dia menopang dagunya dan tatapannya yang menggoda tidak bisa lepas dari jimat yang bergetar di leherku.
"Kau Ludwig Preisner?" katanya, dengan tatapan yang tidak bergerak.
Seorang itu adalah Penyair wanita, berpenampilan sangat indah dengan rambut berwarna pirang abu. Dia berpakaian, dan sangat tidak mengejutkan, dengan warna yang kontras. Wanita itu memandangku dari atas ke bawah dengan tatapan yang tidak tertarik tanpa memberitahu siapa dirinya.
Aku mengangguk pelan dan menyadari bahwa suaranya sangat indah. "Ada yang kau perlukan dariku?"
"Tolong ikuti aku."
Aku mengikutinya dengan patuh. Aku mengikutinya melintasi perkarangan yang remang, masuk melaui sebuah gerbang melengkung, menaiki tangga yang telah dipernis, lalu berhenti pada satu kamar. Dia terlihat berusaha keras untuk membuka pintu lalu memintaku untuk membantunya. Ruangan itu kecil, dengan satu ranjang dan memiliki perapian yang menyala. Terdapat permadani di lantai kayu dengan meja yang memisahkan antara kursi kayu polos dan ranjang. Wanita itu kemudian membuka pakaian bagian atas miliknya, memperlihatkan kulit pucat dan sisik biru pada bagian depan antara dada dan pinggang. Dia kemudian tersenyum lalu menyuruhku untuk mulai mencatat.
"Kau bukan manusia?" Aku bertanya, berusaha untuk menenangkan diri setelah melihatnya setengah telanjang dan cukup yakin jika wanita didepanku bukanlah manusia.
"Tentu saja bukan." Dia tersenyum, lalu menjawab pertanyaanku dengan jawaban yang singkat. "Aku adalah ras Marmaydean."
Marmaydean? Itu cukup mengejutkan dan aku mencoba untuk mengokang pistol berat di balik jubah, setidaknya untuk menghindari kemungkinan terburuk.
"Kau punya nama?"
"Nama?"
"Ya, nama. Entah itu adalah nama asli ataupun nama samaran."
"Marina," jawabnya itu singkat. "Ya, Marina. Mereka memanggilku dengan nama Marina."
"Baiklah, Marina. Aku akan mengajukan beberapa pertanyaan umum."
Dia tidak menjawab, tetapi terlihat paham dengan memberi anggukan pelan.
"Apa yang bisa kau ceritakan tentang ras Marmaydean?"
"Marmaydean?" jawabnya dengan tergesa-gesa.
"Ya, aku butuh gambaran umum."
Marina terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis . "Kami selalu berjuang setelah kematian Ararat, ibu tersayang dan dewi pelindung Ras Marmaydean. Terdapat tragedi besar, kau tahu? Sebuah tragedi yang selalu menginspirasi untuk menjaga harmoni lagu yang kami nyanyikan. Tapi kekuatan Khaos telah mengubah Ras Marmaydean untuk selamanya.
"Dahulu sekali, Ras Marmaydean lazim menyanyi dengan paduan suara yang harmonis. Pada dasarnya, kami adalah mahluk yang lembut dan tidak ingin menganggu siapapun, entah itu adalah hewan laut yang berenang, ataupun manusia yang berlayar. Terkadang, kami menggoda para pelaut dengan nyanyian dan itu cukup menyenangkan. Itu adalah masa indah yang tidak akan pernah terulang.
"Tidak, Tuan Preisner, kami bukanlah pembunuh. Nyanyian bangsa Marmaydean sangat lembut dan menenangkan. Tetapi itu sebelum Kekuatan Khaos merubah Ras Marmaydean untuk selamanya. Aku tidak ingin itu terulang dan berharap bahwa kekuatan jahat itu tidak pernah ada."
"Kekuatan itu seperti pengaruh, kau tahu. Seperti bisikan pelan yang akan membuatmu gila suatu saat. Itu adalah bisikan dari Pangeran Kegelapan dari Kekuatan Khaos."
Aku memandang Marina sejenak. Wanita itu sangat misterius dan penuh pesona yang sulit untuk digambarkan. Wajahnya tanpa noda, mata biru safir miliknya berkilau. Dia tersenyum dengan lembut kepadaku, tetapi aku tidak membalasnya. Perapian ini terus menyala, tetapi nyala api akan meredup suatu saat.
"Kekuatan Khaos?" tanyaku.
Marina mengangguk.
"Dan merubah menjadi sesuatu yang jahat?
"Mereka yang telah termakan oleh kekuatan yang merusak dikenal sebagai Siren, mahluk keji yang merayu para pelaut menuju kematian."
Udara yang dingin datang. Panas perapian dan angin malam berderit dengan kicau burung aneh dari luar. Di dalam ruangan ini, Marina yang setengah telanjang melihatku dengan tatapan penuh penasaran.
"Menarik, sangat menarik," gumamku dengan pelan.
Seperti yang Marina jelaskan, bahwa Siren atau Sirena—Mereka yang jatuh—adalah Marmaydean yang telah termakan oleh rayuan dan dorongan emosi luar biasa berubah menjadi mahluk kejam sangat masuk akal. Terdapat banyak laporan dan saksi mata yang mengatakan bahwa Siren menyanyikan lagu untuk menarik para pelaut, tetapi tidak dijelaskan bagaimana rupa mereka selain potret bayangan samar manusia setengah ikan. Beberapa mengatakan dengan wajah manusia dengan taring panjang dan yang lain mengatakan mereka bersisik gelap yang kasar. Meskipun demikian, terdapat satu karakteristik umum yaitu bahwa Siren memiliki wajah yang menakutkan dengan taring dan sisik menutupi seluruh tubuh.
"Apakah hanya itu?" dia bertanya, mencondongkan diri ke depan ketika aku menorehkan tinta pada kertas catatan dan melihatku dengan tatapan penasaran.
"Apakah kau memiliki wujud asli?"
"Tentu saja, tetapi aku yakin kau tidak ingin—"
"Aku sudah melihat banyak hal, dan hanya sedikit hal yang dapat membuatku takut."
Marina menjawab dengan ragu, "Jika itu adalah keinginanmu, Tuan."
Marina mengambil nafas dengan tenang, dia melakukan itu beberapa kali. Tubuhnya mengeluarkan aroma garam yang kuat dan kulitnya berubah menjadi biru. Rambut pirangnya kini menjadi hijau, seperti warna rumput laut.
"Maaf." Marina berdeham pelan dan menghindari tatapanku. "Aku tidak ingin membuatmu takut."
Aku terdiam sejenak, mencondongkan tubuhku agar dapat melihatnya lebih dekat. Pada saat itu aku dapat melihat insang yang berada di sisi kanan dan kiri leher. Pada pemeriksaan lebih dekat, tangannya berselaput seperti katak. Kakinya berubah menjadi ekor ikan yang berwarna keemasan.
Perubahan wujud itu tidak lama dan hanya bertahan selama satu menit. Marina mngambil nafas dengan berat, wajahnya tampak lebih pucat dari sebelumnya. Dia menjelaskan bahwa bangsa Marmaydean harus berada di dalam air jika ingin mempertahankan wujud itu, dan aku berasumsi bahwa mereka menggunakan insang ketika untuk bernafas.
"Baiklah Marina, ini adalah pertanyaan terakhirku," aku berhenti sebentar. "Sebenarnya dua pertanyaan terakhir."
Aku menggulir kembali kertas-kertas dan membuat catatan kecil pada bagian akhir.
"Apa kau memilki pola makan khusus? Tanaman laut? Hewan darat? Atau daging manusia?"
Marina menggeleng. "Daging manusia? Tentu tidak tuan. Mungkin tidak dengan daging manusia, maksudku itu adalah tindakan yang tidak terbayangkan—"
"Memakan manusia? Aku mendengar bahwa beberapa nelayan ditemukan dengan beberapa organ tubuh yang menghilang seperti dimakan oleh binatang buas."
"Tidak, itu bukan maksudku, Tuan."
"Dan beberapa lagi ditemukan dengan bagian tubuh terkoyak seperti gigitan yang besar."
"Bangsa Marmaydean tidak membunuh manusia." Dia meninggikan suaranya, lalu kembali lembut. "Maaf, Tuan Presneir."
Aku mengangguk, melihat nyala api yang semakin meredup dan kembali menulis. "Dan pola makanmu? Kau belum menjawab."
"Pola makanku seperti manusia pada umumnya, Tuan. Roti gandum, sup, daging yang dimasak dengan sempurna, dan bir dingin yang disajikan saat malam hari."
"Baiklah, pertanyaan kedua dan terakhir," kataku, kembali menulis dan sesekali menatap mata Marina dengan Tajam. "Beberapa sumber mengatakan meskipun aku meragukan itu, Bahwa Marmaydean ans memiliki kemampuan untuk membuat puisi atau syair begitu terkenal. Beberapa terkenal begitu memukau dan beberapa lainnya mampu memberikan kesenangan ektasis yang melupakan waktu. Apa itu adalah salah satu kekuatan magis bangsa Marmaydean?"
"Tidak, itu tidak benar," jawabnya. "Bangsa Marmaydean memiliki kebanggaan dengan tradisi dalam menciptakan syair, bukan kekuatan magis tentunya, tetapi kemampuan yang terasah."
"Dan suara yang mampu mempesona hati manusia? Apa itu bukan kekuatan magis? Bukankah kau mengatakan jika Siren adalah bangsa Marmaydean yang telah tercemar? Bukankan itu berarti bahwa mereka mewarisi potensi kekuatan magis Marmaydean?"
"Aku tidak tahu apa yang kau maksud," kata Marina.
"Pengendali pikiran, persuasi paksa, reformasi ide. Itu adalah kekuatan magis yang bergerak tanpa sadar, dan aku selalu menemukan itu bersama mahluk memiliki kekuatan magis Ilusi."
"Ilusi? Pengendali pikiran?"
"Academia sering menemukan itu dan dekat dengan kaitannya pada pembunuh dan pemangsa manusia. Sesuatu yang memiliki kekuatan seperti itu dekat dan mungkin saja memiliki kekuatan Khaos sendiri."
"Apa kau pernah bermimpi sesuatu yang aneh sebelumnya?"
"Tidak, mengapa?"
"Syukurlah," kataku, lalu menghela nafas yang panjang. "Aku datang ke tempat ini dan hanya menanyakan beberapa pertanyaan, tidak lebih dan tidak kurang. Tentu aku tidak memiliki kekuatan magis, tetapi jimat ini mengatakan sesuatu yang lain. Sesuatu yang jahat lebih tepatnya dan sangat dekat dengan ruangan ini. Aku meragukan bahwa kau menjawab dengan jujur dan berusaha menjebakku, tapi tampaknya aku salah."
"Maksudmu adalah?"
"Kau adalah Marmaydeans yang penuh kasih dan jujur."
Hujan telah datang, dan itu terdengar dengan jelas. Itu terdengar beberapa langkah melewati kamar ini, melintasi dan memperlihatkan bayangan samar dari luar. Di dalam ruangan, perapian menyala perlahan, cahaya yang redup mendorongku untuk pergi.
Keheningan, terlepas dari hujan dan langkah kaki. Aku mencatat dan menggambar wujud asli Marmaydean. Marina menatapku dengan serius, itu mungkin hanya imajinasiku, tetapi tatapannya tidak bisa aku terjemahkan. Hujan yang mengalir melalui atap, dan ruangan ini diterangi oleh kayu yang terbakar remang.
"Apa yang kau lakukan? Tanya Marina, mata birunya tidak terlepas dari kertasku.
"Membuat sketsa kasar dan menunggu," jawabku singkat. "Aku tidak punya banyak waktu, dan berharap sketsa ini akan selesai dengan cepat."
"Kau akan pergi?"
"Ya, Teluk Napoli. Besok siang. Mengapa?"
"Oh bagus. Bisakah aku pergi denganmu?"
Aku tidak menjawab itu, dan mendengar derekan pintu dan teriakan dari kamar sebelah. Beberapa mengatakan bahwa itu adalah pertanda yang buruk dan bagiku adalah sesuatu yang bagus. Teriakan itu kembali terdengar, tidak manusiawi, berlarut-larut dan sangat nyaring. Aku menarik pistol dari jubah, bersiap pada sesuatu yang terburuk pada malam itu.
Keesokan paginya saat aku pergi, Marina datang untuk mengantarku. Aku dapat mendengar bahwa terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh iblis dan itu terjadi di malam hari. Tentu aku ingin melihat tetapi aku tidak berurusan dengan iblis bukanlah keahlianku.
Keesokan paginya aku pergi, Marina datang untuk mengantarku pergi.
"Kita akan bertemu lagi, Tuan Presneir," katanya sambil menjabat tanganku.
"Aku juga berharap begitu."
Dia berhenti. "Maksudku aku akan pergi bersamamu," tambahnya.
"Apa?"
Aku menyeberang dari Pozzuoli melalui selat Napoli. Kapten kapal ini mengenal Marina dan entah mengapa dia memberiku sebuah informasi mengenai keberadaan mahluk yang misterius yang baru saja ditemukan tidak jauh dari Napoli. Aku mengangguk dengan pelan sebagai tindakan terimakasih dan berkata bahwa aku tidak perlu membayar untuk menyeberang. Aku tentu saja senang dengan hal itu dan tampaknya membawa rekan dalam perjalanan terdengar tidak buruk.