Hari itu Wijin masih cuti karena masih ada beberapa tamu yang datang ke rumahnya. Berbela sungkawa atas meninggalnya sang kakek.
Lagi-lagi Ayana dilarang keluar rumah hanya boleh berada di dapur atau ada di kamar. Tak boleh menunjukan diri dihadapan orang banyak.
Ayana hanya bisa melihat dari jauh orang-orang yang datang mengucap bela sungkawa atas meninggalnya kakek. Bahkan ia tak diizinkan datang ke makam kakek.
Ia memperhatikan penampilan Intanfa yang begitu berbeda dengannya. Wajahnya terlihat familiar tapi, ia tak tau di mana ia pernah melihatnya.
Ayana melihat potret dirinya terlihat biasa tanpa make up sekalipun ia memakai pakaian dari brand terkenal tetap saja ia dan wanita itu sangat jauh berbeda.
Setelah tamu-tamu itu tak ada lagi Ayana bisa bebas berkeliaran di rumah itu tanpa ada yang melarangnya.
Vira dan Intanfa pun terlihat keluar dari kamar Kakek membawa kotak hitam besar yang masih dikunci dari luar. Mereka berdua pun menaruhnya tepat di ruang tengah.
"Apa yang kalian bawa?" tanya Wijin penasaran menghampiri mereka berdua.
"Ibu ingin mengetahui apa isi kotak ini karena ayah mertua selalu menjaganya dengan baik," jawab Vira.
Wijin pun duduk bersila di depan kotak itu melihat ibunya membuka kunci kotak itu. Ayana yang penasaran pun duduk di samping Wijin ingin tau apa yang ada di dalam kotak itu.
Vira membuka kotak itu ternyata ada beberapa foto lama dan foto ayah Wijin. Ketika masih kecil bahkan sampai beranjak remaja. Terlihat ibu mertuanya berkaca-kaca melihat foto kenangan suaminya yang masih tersimpan rapih di sini.
Tak hanya itu saja ada foto pernikahan Vira dan Putra, ayah dari Wijin dan yang paling baru ada foto pernikahan Wijin dan Ayana.
Wijin pun terlihat mencari-cari sesuatu di dalam kotak itu yang sedari tadi tidak ia lihat.
"Kamu mencari apa, Nak?" tanya Vira penasaran.
"Aku ingat Bu, di dalam kotak ini ada jam antik milik Kakek. Menurut Kakek itu peninggalan leluhurnya. Tapi, sedari tadi aku tak melihatnya?" balik tanyanya.
"Jam antik bagaimana? Ibu tak pernah melihatnya?"
"Ada pun jam bulat berwarna emas dengan tali rantai jam itu tanpa baterai jam mekanik." Wijin kekeh karena semasa kakeknya hidup ia selalu menjaganya.
Semuanya terlihat bingung karena tak tau bentuknya bagaimana?
"Yah, saya ingat Kakek Dony pernah menunjukannya padaku sebelum kita putus dulu. Berbentuk lingkaran sebesar kepalan tangan anak-anak sebesar itu kalau tidak salah," tambah Intanfa.
"Yah, kamu benar ... kotak ini tempat barang berharga milik kakek yang selalu menjaganya dengan baik. Ke mana jam itu?" tanyanya lagi.
"Ibu baru tau loh kalau ayah punya benda antik itu? Tak ada seorang pun yang berani masuk kamar Kakek kecuali para Maid dan kamu Ayana," tuduh Vira.
"Ibu jangan menuduhku sembarangan? Bahkan aku tak tau bagaimana bentuk yang sebenarnya?" balik tanya Ayana membela diri.
Vira terlihat cuek. "Berapa nominal harga untuk jam antik itu?" tanya Vira penasaran.
"Aku tak tau pasti Bu! Jam itu sudah sangat langka sekali jika dijual mungkin sampai satu triliun," jawab Wijin.
"Waw, harga yang fantastis. Kalau begitu geledah semua maid dan juga kamarmu!" perintah Vira.
Wijin terlihat ragu saat ibunya meminta mengeledah kamarnya. Ia tak percaya kalau istrinya melakukan ini. Karena semua kebutuhannya sampai kebutuhan orang tuanya sudah ia penuhi seperti apa yang diperintahkan kakeknya.
Tanpa pikir panjang Wijin pun memanggil semua Maid yang bekerja di rumah itu. Ia dan pak Yono selaku penjaga rumah yang akan memeriksa semua kamar para Maid.
Ayana, Intanfa dan Vira berdiri di ruang tengah saat Wijin memeriksa semua kamar. Terlihat raut wajah Intanfa terlihat senang begitu juga Vira. Ayana khawatir dengan semua yang mereka berdua rencanakan.
Semua kamar Maid sudah diperiksa oleh Wijin dan Pak Yono tak ada jam antik itu di kamar mereka dan yang terakhir kamarnya.
Sebelum melangkah Wijin pun menghembuskan napas panjang. Ia meminta Pak Yono dan Pak Arun untuk mengeledah kamarnya sendiri.
Hal yang mengejutkan pun terjadi antara percaya dan tidak. Wijin melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau jam antik itu berada di lemari milik Ayana.
"Ayana," teriaknya emosi.
Mendengar suara teriakan Wijin seketika semua orang yang ada di situ terkejut. Dengan wajah marah merah padam Wijin pun menuruni anak tangga sambil mengengam jam antik itu di tangannya.
Langkahnya cepat dan begitu sampai dihadapan Ayana. Laki-laki itu pun langsung menamparnya dengan sangat keras.
Plak
Tamparan keras mendarat di pipi Ayana sampai membuatnya terjatuh ke lantai.
Wanita itu pun beranjak bangun.
"Aku salah apa, Kak?" tanya Ayana berkaca-kaca sembari memegang pipi kanannya yang merah.
"Kamu lihat ini apa?" tanyanya membentaknya menunjukan jam antik yang sedari tadi ia pegang dari atas.
"Itu apa?"
"Jangan pura-pura Ayana! Kakek begitu menyayangimu kenapa kamu tega mencuri barang kesayangannya?"
Ayana menggelengkan kepalanya. "Aku tak mencurinya Kak! Aku tak tau barang itu, bagaimana aku bisa mencurinya?" ia membela dirinya.
"Bohong lagi! Ayana kamu benar-benar mengecewakanku. Jam ini ada di lemari mu bagaimana mungkin jika kamu tidak mencurinya? Kamu ...."
Wijin tak melanjutkan ucapannya. Laki-laki itu terlihat sangat kesal sekali. Ia berbalik badan merasa sangat kecewa.
"Kak, tolong percaya padaku? Aku tidak mencurinya."
Plak
Sekali lagi Ayana mendapatkan tamparan dari Vira.
"Wanita kampung kurang ajar? Sudah untung diberikan kehidupan layak dan mewah masih saja mencuri. Tidak tau diuntung," bentaknya sembari menjambak rambut Ayana.
"Ibu, aku tidak mencurinya percaya padaku." Ayana masih membela diri.
Vira menarik rambut menantunya dan mendorongnya sampai membuatnya terjatuh.
"Dari awal aku sudah tak mempercayaimu dan semuanya terbukti! Lebih baik kamu pergi dari sini sebelum aku melaporkanmu pada polisi," bentak Vira lagi.
Ayana memegangi kaki Vira. "Ibu, aku mohon jangan usir aku ... aku tak mencurinya percaya padaku."
Dengan kasar Vira pun menendang kakinya sampai membuat Ayana terpental. Wanita itu beranjak bangun dan meminta tolong pada suaminya tapi, Wijin benar-benar tak peduli.
Intanfa terlihat bahagia dengan apa yang terjadi pada Ayana. Apalagi saat Vira benar-benar mengusirnya dari rumah besar itu. Beberapa kali ia memohon tapi, ibu mertuanya tak menggubrisnya sama sekali.
Sampai pada akhirnya wanita itu pun menyerah saat pintu rumah itu tertutup untuknya. Ayana hanya bisa menangis ia tak tau ke mana ia akan pergi.
Ayana benar-benar tak membawa barang apa pun hanya memakai pakaian yang ia pakai saja. Ia terus saja menangis dengan langkah berat tak ada tujuan sama sekali.
"Kakek, maafkan aku ... aku tak mencurinya." seketika wanita itu pun jatuh tak sadarkan diri.
Bersambung