Vania memekik begitu satu kaki yang menahan bobot tubuhnya tergelincir, menyebabkan tubuhnya terperosok masuk ke dalam jurang. Ia jatuh menghantam sebuah dahan pohon, sebelum kemudian mendarat di atas tanah. Luka di tubuh Vania sangat mengerikan, bahkan ada cairan berwarna merah yang merembes dari mulutnya.
Vania membuka sedikit kelopak matanya walau terasa berat, melihat ke mana berasal tadi dia terjatuh. Itu adalah ketinggian sekitar 10 meter, pantas saja tubuhnya sekarang terasa seperti mati rasa. Napasnya mulai tersendat, mungkin akibat dari pembuluh darahnya yang pecah.
Kepalanya terasa berputar saking pusingnya, sekujur tubuh terasa remuk redam. Ia sama sekali tidak punya niat untuk mengeluarkan suara, sudah tahu tidak akan ada yang bisa ia harapkan untuk dimintai pertolongan karena dari awal ia nekat masuk ke dalam hutan ini sendirian. Mungkin ini akhir dari hidupnya, mati mengenaskan tanpa sempat ada orang yang menemukannya dan berakhir membusuk di tengah hutan.
Saat Vania sudah tidak kuat lagi membuka mata, samar-samar ia mendengar langkah kaki mendekat. Walau buram Vania bisa yakin kalau seorang laki-laki baru saja berjongkok di depan wajahnya, tapi ia tidak dapat melihat jelas melihat wajah laki-laki itu karena tertutup sebuah topeng. Hanya bola matanya yang dapat Vania yakini, bola mata laki-laki itu berwarna merah pekat.
Walau dalam antara setengah sadar dan setengah tidak sadar, Vania tetap merinding begitu satu tangan sedingin es itu mengusap pipinya. Perlahan tangan itu mengusap bibirnya, lalu menyelinap masuk ke belakang lehernya.
Semakin dekat dan dekat wajah laki-laki itu menunduk hingga akhirnya ia merasakan sebuah sapuan pada area manis bernama bibir. Sesuatu yang terasa licin entah apa itu didorong paksa masuk ke dalam tenggorokannya, tertelan lalu setelah itu Vania tidak lagi mengingat apa-apa.
"Van, kamu ngelamun? Fokus, bos besar sebentar lagi datang."
Vania menoleh ke arah seorang perempuan cantik berambut sebahu yang baru saja menegurnya, menyadarkan dirinya dari lamunan dua tahun lalu saat dirinya nekat mendaki gunung sendirian. Saat itu dia melihat sebuah bunga yang terlihat aneh, ada glitter di kelopaknya. Namun, walau begitu, bunga itu sangat cantik dengan berwarna ungu cerah. Hanya saja bunga itu berada di sisi jurang sehingga ia kesulitan untuk menjangkaunya. Pada akhirnya ia jatuh terperosok dan hampir mati di sana, tapi tiba-tiba saja dia terbangun di rumah sakit dengan paman Viston yang sudah menungguinya.
Paman Viston mengatakan tidak tahu apa-apa mengenai siapa orang yang sudah menolongnya walau Vania sudah memaksa, terpaksa Vania menelan rasa ingin tahu siapa orang yang sudah menyelamatkannya karena selain pamannya ternyata Dokter pun sama tidak mengetahuinya.
"Van, kamu melamun lagi," terdengar decakan dari perempuan yang berdiri di samping Vania. "Bos besar sebentar lagi datang, kita harus bersiap menyambutnya. Kata temanku yang bekerja di kantor pusat beliau orangnya sangat disiplin, tegas, dingin, dan tak tersentuh, jadi usahakan kamu fokus kalau tidak nanti kamu dapat teguran."
"Maaf, Mbak Gia. Terima kasih karena sudah mengingatkan," Vania membalas teguran Gia dengan pelan.
"BERBARIS YANG RAPI! PAK ARGANTARA SEBENTAR LAGI MASUK KE DALAM KANTOR. PERHATIKAN PENAMPILAN KALIAN! JANGAN SAMPAI ADA YANG KUSUT SEDIKITPUN!"
Pengumuman dari Pak Guntur--Dewan Direksi kantor tempat Vania saat ini bekerja. Vania sendiri hanya bertugas sebagai Office girl, tapi anehnya sampai disuruh ikut berbaris juga. Padahal tugas office girl hanya membersihkan seluruh kantor, tidak ikut campur masalah tentang dunia pekerjaan orang-orang berdasi.
Tidak lama sebuah mobil berhenti tepat di depan lobi kantor. Dengan sigap seorang laki-laki bersetelan hitam yang sebelumnya sudah berdiri di depan pintu kantor membuka pintu mobil. Ke luarlah seorang laki-laki dengan kaca mata hitam membingkai matanya, sinar matahari menyorot penampilan perpect-nya hingga terlihat semakin elegan.
"Bos besar benar-benar sesuai rumor yang beredar, dia tampan dan gagah. Beruntung sekali perusahaan tempat kita bekerja bisa dipimpin langsung oleh beliau."
Vania melirik Gia--kepala office girl dengan pandangan heran, "bukannya dia sering menindas karyawan ya?"
Gia melirik kecil Vania, "iya, tapi kita kan tidak akan bekerja secara langsung menangani proyek-proyek kaya gitu, jadi kecil kemungkinan akan kena tindas oleh beliau. Kamu jangan lagi bertanya, bos besar sudah mulai masuk."
Vania langsung mengalihkan pandangannya ke depan. Benar saja, laki-laki berperawakan tinggi tegap itu sudah masuk melewati pintu yang dibukakan oleh dua orang penjaga. Tidak ingin dicap menjadi pekerja kantor yang buruk, buru-buru Vania ikut menundukkan kepala mengikuti orang-orang yang berbaris bersamanya.
Hentakan langkah kaki menggema diiringi langkah kaki di belakangnya berjalan di atas red carpet yang sengaja dibentang khusus bagi bos besar berjalan. Setiap orang yang dilewati bos besar merasakan hawa dingin menusuk, tubuhnya bergetar sampai terasa bernapas saja takut terdengar suara dan membuat sang bos besar berhenti.
Sama halnya dengan Vania. Semakin dekat langkah kaki terdengar, semakin tegang pula tubuhnya. Jantungnya sudah berdebar, bahkan bernapas pun ia tidak berani menghembuskan dengan keras.
deg
Jantung Vania rasanya berhenti berdetak begitu melihat sepasang sepatu berhenti di depannya. Posisi Vania saat ini menunduk, jadi hanya dapat melihat ke bawah tanpa tahu ke mana sang bos besar itu melihat. Ke arah dirinya kah? atau ke arah orang lain? Vania benar-benar merasa kalau saat ini kerongkongannya sudah jatuh ke lambung, terlalu paranoid tidak jelas.
"Angkat wajahmu!"
Suara mengalun dingin bagaikan nyanyian pengantar tidur di serial film hantu yang suka ia tonton masuk ke gendang telinganya, Vania menelan ludah dengan susah payah. Perintah dari orang yang saat ini ada di depannya itu untuk siapa? Apa untuk dirinya? Vania benar-benar bingung.
"Apa telingamu tidak berfungsi?"
Suara itu terdengar kembali, bahkan kini lebih dingin dari yang pertama. Vania memekik tertahan begitu merasakan pinggangnya terkena cubitan tak manusiawi dari perempuan berambut sebahu di sampingnya. Begitu dia ingin marah, Vania malah menyadari sesuatu. Refleks dia mengangkat kepala, saat itu juga mata coklat terangnya langsung bertatap dengan mata merah sang bos besar.
Vania membuka sedikit bibirnya, terkesima melihat wajah rupawan tanpa cela di depannya. Kenapa bisa ada orang setampan laki-laki di depannya? alis tebal, kulit putih bersih, lengan berotot, bahu lebar, tinggi, dan uh jangan lupakan rahang tegasnya, itu yang membuat tangan Vania gatal ingin membelainya.
Jujur saja, Vania iri pada bos besarnya ini. Dirinya saja yang seorang perempuan tidak memiliki kulit sebersih itu, ia merasa sudah gagal jadi perempuan. Siapapun nantinya perempuan yang akan mendampingi sang bos besar, pastinya harus dengan kecantikan yang tiada tara untuk mengimbangi wajah tanpa cela ini.
Berat sekali, Vania mengeluh dalam hati. Pastinya akan sangat sulit mencari perempuan seperti itu. Jangan salahkan perempuan berwajah biasa, tapi salahkah bos besar ini yang mempunyai wajah terlalu tampan. Penyakit hati memang tidak baik. Lihatlah Vania sekarang! bahkan malah tidak sadar sudah mengkritik orang.
Tunggu!
Mata merah?
Vania baru sadar kalau tadi dia melihat bola mata sang bos berwarna merah, tapi begitu Vania meneliti lagi mata sang bos yang ia lihat hanya mata sekelam malam. Apa barusa saja aku salah lihat? Vania berkata secara internal.
"Apa kamu sudah puas mengagumi wajahku?"
Vania langsung mengatupkan lagi bibirnya. Ia menunduk takut, aura yang di keluarkan laki-laki di depannya begitu kuta. "Maaf Pak."
"Aku tidak menyuruhmu menunduk, cepat angkat lagi wajahmu!"
Terpaksa Vania menuruti apa yang diperintahkan. Ia mengangkat wajahnya, menatap sang bos dengan pandangan lurus. Begitu melihat wajah tanpa cela di depannya menunduk ke arahnya, otomatis Vania memundurkan wajahnya.
Vania melebarkan matanya tatkala jari telunjuk sedingin es menelusuri pipi, dagu, dan berakhir bibirnya. Ini ... kenapa sikap bos besar begitu cabul? bukankah bos ini tidak pernah mau menyentuh siapapun, bahkan Vania pernah mendengar rumor yang mengatakan kalau sang bos tidak pernah sudi membiarkan nyonya Winda--sang ibundanya sendiri menyentuh tubuhnya. Namun, yang dilakukan sang bos sekarang apa? Sang bos menyentuh Vania tanpa paksaan atau terlihat keberatan sama sekali.
Juga ... Vania merasa dejavu, perbuatan bos besarnya barusan mau tidak mau mengingatkan dia pada sosok laki-laki yang ia yakini telah menolongnya saat di hutan.
Apa mungkin kalau laki-laki itu adalah bosnya sekarang?
Sama halnya seperti Vania, orang-orang yang melihat sang bos besar menyentuh Vania juga sama terkejutnya. Mereka kini bertanya-tanya dalam pikiran masing-masing, ada hubungan apa antara Vania si office girl dan Argantara Samudra si bos besar?
"A-apa yang akan Anda lakukan Pak?"
***