Tara langsung menjauhkan tangannya dari wajah Vania, mendesis begutu menatap semua bawahannya yang kini melihat dengan pandangan penasaran ke arahnya. "Apa yang kalian lihat?"
Serempak semua orang langsung menunduk, takut dengan nada dingin yang baru saja dilontarkan oleh bos besar mereka. Melihat para bawahannya sudah tidak lagi memperhatikan, Tara kembali menatap Vania. Satu alisnya terangkat, ada seringian yang tampak tersungging di bibir tipisnya.
"Singkirkan pikiran kotormu itu!"
"Pi-pikiran kotor?" Vania tergagap, tidak percaya dengan apa yang baru saja laki-laki di depannya katakan. "Apa maksud Bapak mengatakan kalau saya sudah berpikir kotor?"
"Wajahmu menunjukannnya," Tara menimpali sinis. "Segera setelah ini antar kopi keruanganku!" Selesai mengatakan itu, Tara berlalu dari hadapan Vania sambil merapikan jas yang ia kenakan, padahal tidak kusut sama sekali.
Vania tertawa tak percaya. Apa katanya tadi? dia berpikiran kotor, lalu yang bertingkah tidak biasa dan membuat orang salah paham siapa? dirinya? Tentu bukan. Kalau saja laki-laki ini bukan bos besar yang akan menggajinya di masa depan, sudah Vania lawan dengan kata-kata pedas.
"Van, kamu kenal sama pak bos sebelumnya?" Gia mencolek lengan Vania, berbisik di dekat telinganya.
Vania menghembuskan napas dengan kasar. Selain Gia, kini semua orang hampir serempak menoleh ke arahnya dengan pandangan ingin tahu. Vania melirik Gia, "sama sekali enggak. Aku baru ketemu sama Pak bos hari ini, beneran. Aku juga gak tahu kenapa pak bos berbuat seperti itu, padahal bukankah rumor mengatakan kalau pak bos anti disentuh atau menyentuh orang lain?"
Tampak Gia manggut-manggut. Dahinya sedikit keriput, mengernyit memikirkan sesuatu. Saat satu pemikiran masuk ke dalam otaknya, Gia tersenyum cerah sambil mengatakan 'ah'. Gia tersenyum jahil ke arah Vania. "Jangan-jangan pak bos naksir kamu kali. Itu tuh yang orang-orang bilang 'jatuh cinta pada pandangan pertama'."
"Ngaco," Vania mendelik. "Mana mungkin, orang jatuh cinta tatapannya pasti lembut. Lah tadi si pak bos yang ada natap aku sinis banget. Sudah, ayo kita kembali ke pantri. Lagian aku juga tadi disuruh si pak bos bikinin kopi, kalau telat takut kena semprot."
Gia hanya tersenyum dengan tatapan penuh arti, mengiikuti langkah Vania yang sudah lebih dulu berjalan. Masuk ke pantri, Vania langsung membuat kopi. Waktu dia ingin menyeduh kopi dengan air panas, tangannya malah kena senggol hingga mengakibatkan gelas kopi ikut tersenggol oleh tangannya.
prang
Satu gelas berisi kopi jatuh ke lantai, hancur hingga tidak terbentuk. Vania menoleh ke arah perempuan cantik berbaju kurang bahan yang baru saja menyenggolnya, mengernyit saat melihat wajah sinisnya.
"Mbak Jessy, kenapa nyenggol aku?"
"Nyenggol?" Jessy mengulang perkataan Vania. "Itu bukan nyenggol, tapi peringatan. Ingat ya, jangan berani menggoda pak Tara! Status Office girl saja belagu banget, tundukan pandanganmu bila di depan Pak Tara!" Jessy menunjuk ke bawah, ke arah pecahan gelas di lantai. "Nunduk, bereskan tuh pecahan gelas yang kamu jatuhkan!"
Vania sudah bersiap angkat bicara, tapi begitu melihat Gia menggeleng seolah menyuruhnya jangan meladeni Jessy, Vania kembali mengatupkan bibir dan menghembuskan napas dengan perlahan. Ia menunduk, memberseskan pecahan gelas di lantai. Mungkin karena kurang hati-hati, jari telunjuk Vania tergores pecahan gelas hingga menyebabkan darah segar mengalir. Vania meringis, mengibaskan tangannya dan langsung berdiri untuk membawa jari tangannya ke kran air.
Saat Vania membilas jari telunjuknya, Jessy yang melihat itu hanya tersenyum miring. Puas akan apa yang menimpa Vania. Setelah itu Jessy memilih pergi, ke luar dari pantri menghampiri dua temannya yang berjaga di luar pintu.
"Ayo kita kembali ke ruangan," Jessy mengajak kedua temannya.
Melihat Jessy yang sudah pergi, Gia langsung mendekat ke arah Vania. Meringis begitu melihat darah dari jari telunjuknya. "Kamu tidak apa-apa?"
Vania melirik ke arah Gia, "kenapa Mbak Gia larang aku tadi buat balas mbak Jessy?"
Gia menghela napas dengan perlahan, lalu mengbil obat P3K dan tissu. Gia mengeringkan luka di jari telunjuk Vania dengan tisu, lalu memberikannya obat merah. "Kalau mau betah kerja di sini, kamu harus tahu mana orang yang boleh kamu singgung dan tidak. Selain mbak Jessy itu karyawan tetap di kantor, juga dia adalah anak dari teman dekatnya pemilik perusahaan ini."
"Maksudnya pak Tara teman ayahnya mbak Jessy?" Vania bertanya penasaran.
"Bukan," Gia menggelengkan kepala. "Bukan pak Tara, tapi ayah pak Tara. Jadi jangan pernah berurusan dengan mbak Jessy, kalau tidak sengaja berpapasan juga kamu lebih baik pura-pura tidak melihat saja. Hormat, lalu pergi. Sudah gitu saja, ini juga demi kebaika dan kelanggengan kamu bekerja di perusahaan ini."
"Gitu amat sih, Mbak Gia." Vania manyun, kesal dengan aturan tak tertulis dalam perusahaan ini. Mau bagiamana lagi, ia memerlukan uang untuk biaya pengobatan pamannya. Paman Viston sedang sakit parah, mengharuskan dirinya bekerja apa saja yang penting menghasilkan uang dengan cepat.
Gia mengusap pundak gadis yang berada lima tahun di bawahnya ini dengan prihatin. Kurang lebih iya tahu kehidupan macam apa yang dijalaninya selama ini. Selain hidup di kejar-kejar hutang, Paman yang mengurusnya selama ini juga tengah sakit keras. Vania bekerja dari pagi sampai jam 7 malam di kantor ini, terus ia akan membantu jualan di warung makan pok Lastri sampi jam 10 malam. Vania bisa bekerja di perusahaan ini juga rekomendasi dari dirinya yang kebetulan menjadi kepala office girl.
Hidup Vania benar-benar menyedihkan, maka dari itu sebisa mungkin harus menghindari kemungkinan masalah yang terjadi di perusahaan ini demi mempertahankannya dalam bekerja.
"Ada tiga orang di perusahaan ini yang tidak boleh kamu singgung. Pertama, mbak Jessy. Kedua, pak Aryan. Ketiga, bos baru kita. Kalau mbak Jessy kamu sendiri sudah tahu alasannya tadi, untuk pak Aryan karena dia orangnya selain misterius juga pemain wanita, kalau bos baru kita karena dia selain tidak suka disentuh dan misterius juga tempramennya sangat buruk. Hindari mereka, kalau terpaksa berinteraksi dengan salah satunya sepentingnya saja."
"Apa yang misterius dari Pak Aryan dan bos baru kita itu?"
Gia melirik kiri kanannya, setelah memastikan tidak ada orang ia kembali menatap Vania dengan pandangan serius. "Pak Aryan dan pak Tara itu sodara, tapi tidak pernah terlihat bertegur sapa. Tidak ada yang tahu kehidupan keduanya, hanya sebatas rumor yang mengatakan. Juga aku tidak tahu pasti, tapi rumor mengatakan setiap wanita yang didekati pak Aryan atau yang sengaja mendekati bos kita selalu berakhir dengan hilang atau ditemukan mati kehabisan darah. Namun, itu tidak berlaku pada mbak Jessy, entah kenapa itu. Misterius sekali kan?"
"Mbak Gia tahu dari mana?" Vania memicing curiga. "Bukankah pak Tara itu baru memimpin perusahaan ini?"
"Dari--,"
"Van, ditunggu bos. Katanya disuruh cepat." Seorang office boy berdiri di ambang pintu, menyampaikan apa yang diamanatkan padanya. Setelah menyampaikannya, lantas office boy itu pergi lagi.
Vania dan Gia serempak menoleh terkejut pada office boy barusan yang menyampaikan pesan. Dengan tergesa Vania menarik tangannya dari cekalan Gia, mengambil gelas baru dan menyeduhkan kopi baru.
Vania menoleh ke arah Gia, "Mbak Gia, maaf ya tolong beresin pecahan gelas ini. Aku harus segera nganterin kopi ke ruangan bos, takut dia marah dan malah mecat aku."
"Tidak masalah," Gia menjawab santai. Sebelum Vania pergi, Gia menyempatkan diri untuk membungkus luka di jari Vania menggunakan kain kasa. "Seenggaknya lukanya tertutup. Ingat, jangan biarkan terbuka. Mengerti?"
Vania sedikit aneh saat mendengar nada menggurui Gia, tapi tak urung dia mengangguk juga. "Terima kasih." Setelah mengambil baki dan menyimpan gelas berisi kopi di atasnya, Vania segera berlalu untuk mengantarkan kopi.
Begitu sampai di depan ruangan bos besar, Vania menghbuskan napas dengan pelan. Mempersiapkan diri menghadapi laki-laki berpangkat nomer satu di kantor tempatnya bekerja. Vania melirik sekretaris bernama Vernando yang duduk di kursinya, tersenyum tipis sambil menganggukkan kepala pelan.
"Masuk!"
Baru Vania mengangkat tangan ingin mengetuk pintu, tapi suara dari dalam ruangan sudahenyuruhnya masuk. Vania tertegun, menurunkan kembali tangannya ke bawah. Aneh, seolah bosnya itu sudah tahu saja kedatangan Vania tanpa melihat. Tidak ingin berpikir macam-macam, Vania membuka pintu dan mendorongnya.
Dengan langkah sedikit bergetar, Vania masuk ke dalam ruangan yang entah kenapa bisa begitu dingin hingga terasa menelusuk ke tualang-tulangnya. Hawa di sekitarnya terasa berat, bernapas pun rasanya Vania kesusahan. Memang benar aura yang dikeluarkan sang bos besar ini begitu kuat, sampai membuat bulu kuduknya meremang seketika.
Vania memaksakan langkah kakinya untuk mendekat, mengabaikan tatapan tajam dari sang bos besar yang dari awal ia masuk sama sekali tidak mengalihkan perhatiannya ke arah lain sealin dirinya. Vania rasanya tengah ditelanjangi oleh tatapan dingin Tara, tidak tahan dan ingin segera lenyap Saja. Namun, dari tatapan itu, entah kenapa Vania merasa ada yang salah. Tatapan bos besarnya itu mengarah lekat ke arah jari telunjuknya, bahkan sekelisa ia dapat melihat bola mata warna Tara ada berubah agak merah.
Dengan cepat Vania menggelengkan kepala, pasti berhalusinasi pagi seperti tadi. Vania mengenyahkan pemikiran itu, sangat hati-hati Vania meletakan gelas berisi kopi di atas meja. Setelah itu ia menduk, berniat melangkah pergi.
"Tunggu!"
***