Candice's
Tuan tampannya itu baru kembali ke kastil setelah hari gelap. Cepat - cepat dia menghampiri dan menawarkan sesuatu untuk menghangatkan tubuhnya. Dia tidak mengindahkan peringatan yang diberikan Lucas. Dia adalah maid di rumah ini, sudah tugasnya bukan, melayani tuannya?
"Anda ingin saya menyiapkan sesuatu untuk menghangatkan tubuh anda, Monsieur?"
Pertanyaannya dibiarkan saja tanpa jawaban. Alih - alih, tuannya itu malah menatap padanya dengan tajam tanpa berkedip. Ditatap seperti itu tentu saja membuat Candice salah tingkah. Dia mungkin memang tidak punya pengalaman dengan pria sebelumnya. Tapi dia tau, apa yang tubuhnya rasakan saat merasa tertarik pada pria.
Dan tubuhnya memberikan reaksi yang luar biasa kuat pada tuannya ini. Reaksi yang familiar sekaligus juga asing. Dia tau dia tertarik pada tuannya ini. Bagaimana tidak? Secara fisik, tuannya amat sempurna. Dia tinggi, mungkin sekitar 180 cm? Lucas bilang dia adalah penulis. Penulis terkenal., Candice suka membaca, tapi dia tidak terlalu banyak membaca karena butuh uang lebih untuk membeli novel dan butuh waktu lebih untuk pergi ke perpustakaan. Kedua hal yang amat jarang dipunyainya.
Untuk ukuran penulis, tuannya sangat fit dan bugar. Bahu bidang dengan otot - otot yang samar tapi jelas ada di sana, tertutup cardigan tebal yang membalut bahu lebarnya. Candice penasaran. Rasanya dia ingin menyusurkan jemarinya di permukaannya. Wajahnya juga luar biasa tampan. Pasti akan lebih tampan lagi seandainya dia mau lebih sering tersenyum.
Bibirnya tebal dan penuh. Jenis bibir yang membuat kita ingin terus menatapnya saat dia bergerak mengucapkan sesuatu.
".... Kau tidak mendengarku?!"
"Pardonnez-moi, Monsieur. Saya sedang memikirkan hal lain. Repetez s'il vous plait." Katanya tergagap. Karena Lucas bilang dia tidak perlu banyak tersenyum, jadi dia menampilkan ekspresinya yang sesungguhnya. Tercengang dengan wajah memerah malu karena ketahuan melamun.
"Dan kebetulan yang kau pikirkan itu berhubungan dengan bibirku?"
"Ah…."
Wajahnya sudah sangat membara karena malu. Bisa - bisanya!!
"Apa kau sedang memfantasikan Tuanmu?"
Dia tergagap panik. "Maaf, saya tidak akan berani. Anda ingin saya menyiapkan sesuatu untuk anda, Monsieur?" Tanyanya pada akhirnya karena tidak bisa menemukan hal lain untuk dikatakan sebagai pembelaan dirinya
"Siapkan saja makan malam. Aku akan turun setelah selesai membersihkan diri." Nada suara dan sorot matanya tajam menusuk. Penuh peringatan dan.... Jijik? Itu sorot mata yang biasanya dia dapatkan dari teman - teman perempuannya yang mengetahui latar belakangnya. Harusnya dia merasa agak sebal, dan di saat seperti ini mempertahankan keprofesionalitasannya. Dia tidak melakukan sesuatu yang salah! Baiklah, melamun selama beberapa detik, iya, tapi manusiawi, kan?! Salahkan saja kenapa Tuannya sangat tampan.
"D'accord, Monsieur. Makan malam anda akan siap beberapa saat lagi." Dia menjawab sembari menunduk.
Tuannya tidak menunggunya selesai berucap, dan langsung beranjak dari sana, diikuti Lukas yang membawa berbagai macam barang yang tadi digunakan Tuannya di luar.
Candice memegang dadanya yang berdegup kencang. Menepuk - nepuknya perlahan sebelum beranjak dari sana menuju dapur. Dia pasti terlalu terbawa suasana kastil yang agak remang - remang dan hangat. Makanya dia memikirkan hal yang tidak selayaknya tentang tuannya. Ya. Pasti begitu. Tidak ada penjelasan lain selain itu.
***
Malam itu berlalu dengan…. Entahlah. Bahkan dia sendiri tidak bisa bilang hari ini dia sudah melakukan yang terbaik.
Tuannya jelas tidak menyukainya. Tapi dia membiarkan Candice melakukan sebagian besar tugasnya dengan baik.
Temperamennya agak buruk, susah didekati dan susah disenangkan. Nyaris tidak ada satupun di dalam kastil ini yang membuatnya bahagia. Dia terus - terusan merengut sebal. Bahkan saat makan malam, saat Candice basa - basi bertanya tentang rasa masakannya. Dia hanya ingin tahu pendapat tuannya agar lain kali dia bisa menyesuaikan dengan lidah tuannya tersebut. Tapi bukan jawaban yang didapatnya,
"Kau lihat aku masih makan, kan?"
"Maksud saya…."
"Siapkan apapun, jika masih layak makan aku akan memakannya. Aku bukan orang yang pemilih dalam hal makanan."
Tapi jelas pemilih untuk hal lainnya. Wine misalnya? Dia dan Lucas harus bolak balik ke wine cellar di bawah tanah kastil untuk mengambilkan wine yang sesuai dengan cita rasa dan mood Tuannya.
Sekarang betisnya sakit karena harus berlari naik turun tangga berkali - kali memakai sepatu ber hak. Walaupun sepatu yang dipakainya bukan sepatu berhak tinggi, tapi tetap saja, sakit adalah sakit.
Dia melenguh senang saat air hangat dari shower jatuh di punggung dan tengkuknya. Salah satu yang dia amat suka di kastil ini, walaupun pemiliknya amat dingin dan menyebalkan padahal tampan luar biasa hingga membuatnya merasakan hal - hal aneh pada tubuhnya. Kastil ini punya penghangat ruangan dan air hangat yang melimpah.
Dia akan memanfaatkan keuntungan ini, lalu pergi tidur setelahnya agar moodnya tetap baik keesokan harinya.
***
Pagi ini salju turun lagi. Suasana di kastil jadi terasa seperti di negeri dongeng. Salju, kastil, ada pangeran tampan, tapi sayang sekali, tidak ada putri.
Oh tidak, dia tidak membayangkan dirinya sendiri sebagai seorang Putri. Dulu, tentu saja saat dia masih kecil. Tapi semua berubah saat dia mulai bersekolah dan berteman dengan anak - anak yang lain. Mereka bilang dia tidak layak menjadi putri. Seorang Putri harus memiliki keluarga yang lengkap. Ayah dan Ibu. Dia hanya punya ibu saja. Seorang putri harus punya kastil sebagai istananya, bukan gubuk reyot yang dia tempati bersama Ibu dan Omanya. Seorang putri harus cantik, tapi walaupun dia cantik, dia tidak memiliki dua syarat di atas. Seorang putri harus bisa memikat hati pangeran. Dia tentu saja memikat hati banyak orang bukan dalam hal bagus. Mereka terpikat untuk mencibir dan menjebaknya untuk menikmati tubuhnya.
Candice beruntung. Hal tersebut tidak pernah terjadi. Sehingga di usia 23 tahun, dia masih tetap perawan. Mungkin dia harus berterima kasih pada orang - orang yang menyebar rumor bahwa dia juga terkena penyakit kelamin seperti ibunya, sehingga tidak ada satu kaum adam pun yang cukup berani untuk membuktikan kebenaran atau kepalsuan rumor tersebut. Tidak masalah. Dia tidak punya teman curhat untuk berbagi rahasianya ini, jadi akan aman.
Dia berlari hanya memakai piyama, kardigan tipis dan sandal rumah, melintasi hall lantai dasar masih dalam piyamanya menuju jendela besar yang dilihatnya seperti di kastil film disney yang di tontonnya saat menonton bersama di sekolah.
"Il est beau (cantiknya).…" Dia mendesah pelan. Menempelkan telapak tangannya di kaca yang membeku. Sama sekali tidak terganggu dengan dingin yang menusuk telapak tangannya.
Dia berdiri diam disana, dengan wajah tersenyum memandang keluar setengah melamun, melupakan waktu, dia lupa kalau dia harus segera bersiap sebelum tuannya bangun.
"Masih gelap. Sebentar lagi. C'est très beau à passé (ini terlalu indah untuk dilewatkan)." Gumamnya.
"Dan membuatku menunggu untuk memulai pagi?"