(Deandra POV)
Aku kuatkan kakiku yang sudah mulai melemah, dan dalam sekali kedipan, aku sudah berhasil membalikkan badanku untuk menjauh darinya. Berharap getaran ketakutan ini jangan sampai ia saksikan.
'Tuhan, ampuni aku. Begitu bodohnya aku mengolok-olok kepergian kakak kandungku. Tapi ini hanya agar semua baik-baik saja, kan? Agar jangan sampai ada lagi yang diambil dariku. Dan untuk kamu Derel, maaf karna Gue udah ingkar janji untuk selalu cerita sama Loe. Gue harap Loe bisa ngertiin Gue,' batinku sudah sesak sejak bertemu Derel pagi ini.
"Maaf," lirihku sambil berjalan gontai menuju dapur.
***
Kini aku dan Derel sudah berada di kampus. Dan sejak pagi tadi, aku masih sama seperti sebelumnya, masih menjadi Deandra yang tiba-tiba ceria tanpa sebab yang jelas. Namun, walaupun begitu, ada beberapa kondisi yang membuatku tak bisa memasang topeng itu dan aku tetap menjadi Dea yang sedingin es seperti biasanya.
"Alhamdulillah, akhirnya kita sampai kampus juga. Kalau gitu Gue duluan, ya, Rel?" pamit ku dengan riang dan meninggalkannya di parkiran.
"Iya," jawabnya singkat tanpa melirik padaku.
Ya, hal itu sudah biasa bagiku. Namun, sikap ini, kepalsuan ini, itu yang tidak biasa bagiku. Sampai kapan aku harus seperti ini? Andai aku menjauh secara terbuka, mungkin masalahnya tidak akan menjadi serumit ini. Aku juga bisa bernapas dengan tenang dan tidak sesesak sekarang. Namun, jika aku menjauh secara tiba-tiba, tentu itu akan menjadi luka bagi Derel. Ia akan benar-benar kesepian nanti.
Tiba-tiba ....
"Denger baik-baik! Jauhin cowo Gue, jauhin Derel Gue. Kalau nggak, Loe liat apa yang akan Gue lakuin sama dia nantinya. Dan tentunya itu semua karena kesalahan Loe lagi. Sama seperti lima tahun lalu, saat Loe ngebunuh seluruh anggota keluarga Loe."
Suara gadis itu masih terdengar sangat jelas di telingaku. Membuat ku kembali dipenuhi oleh rasa takut.
"Eh, ngapain Loe masih di sini? Katanya tadi mau masuk kelas duluan. Rupanya masih nungguin Gue di sini, ya?" goda Derel seperti biasanya.
"Eh, iya, nih. Nggak enak juga masuk kelas sendirian. Jadi Gue tunggu aja, Loe. Yuk, kita barengan," ucapku mencoba menetralkan diri.
"Oke, ayuk!" ajak Derel yang sudah siap-siap untuk tebar pesona.
Jujur aku lelah dengan semua drama ini. Apa sebaiknya aku lakukan pilihan kedua saja? Menjauh secara nyata walau itu akan menyakitkan nya? Tapi rasanya aku begitu jahat jika melakukan itu. Sahabat macam apa aku yang menyakiti sahabatnya dengan sengaja?
"Huh ...."
"Kenapa, Loe? Kayak habis maraton sepuluh kilo aja," tanya Derel yang terlalu hiperbola.
"Eh, lebay banget, sih pakai bilang maraton sepuluh kilo."
"Ya, habis kenapa Loe ngedengus sedramatris itu?"
"Nggak papa, capek aja."
"Capek kenapa, Loe?"
"Nggak kenapa-kenapa, kok."
"Yakin?"
"Eh, udah dulu, ya, Rel. Gue mau ke tempat Ryan dulu, Bye," akui berusaha mengalihkan obrolan yang menyakitkan itu. Kemudian segera pergi dari sisinya.
Hanya sebuah pelarian, maafkan aku jika nanti kamu terluka, Ryan. Aku tidak bermaksud untuk melakukannya. Aku mendatangimu hanya untuk menjaga hatiku agar tetap tenang dan agar Derel baik-baik saja. Aku tau, kamu orang baik, bahkan kamu masih bersedia menjadi seorang teman untuk gadis yang pernah menolakmu ini.
Sesampainya di dekat Ryan, "Hai, yan. Sendiri aja, Loe?"
"Eh, Dea. Iya, nih. Baru nyampai, Loe?" riang Ryan.
"Iya, nih. Barengan ke kelas, yuk," ajakku. Entah sejak kapan aku mengajak seseorang untuk pergi bersamaku. Lelahnya terus berakting seperti ini.
"Tumben Loe ngajakin Gue bareng. Tapi, yuklah," setuju Ryan.
"Haha, mumpung mood Gue lagi baik."
"Wah, ada hal spesial apa, nih sampai mood Loe jadi baik gini?" tanya Ryan yang malah jadi penasaran dengan kalimatku barusan.
"Eh, nggak ada yang spesial juga, sih. Cuma, ya Gue ngerasa happy aja hari ini, itu aja, kok," dustaku. Padahal andai ada seseorang yang bisa membaca pikiranku, mungkin ia sudah tau bagaimana sulitnya menjadi aku saat ini.
"Oo, oke, deh. Iya-in aja," akhirnya Ryan hanya mengalah dan menjawab dengan seadanya.
Sesampainya di kelas, dapat ku saksikan semua mata tertuju ke arah kami berdua, tepatnya aku dan Ryan. Tak terkecuali juga Derel yang tak hentinya menatapku hingga aku duduk di kursiku. Entah apa yang dia pikirkan tentang ku saat ini. Mungkin ia juga terkejut melihat aku yang tiba-tiba dekat dengan Ryan. Namun, semua ini harus aku lakukan, agar kamu bisa menjauh dengan sendirinya dariku. Agar kamu saja yang membenciku dengan semua perubahan sikapku ini, dan cukup aku saja yang merasakan sakit luar biasa ini.
***
Setelah kuliah selesai, aku pun memutuskan untuk keluar lebih dulu. Langsung setelah dosen keluar, disaat itulah aku juga telah berada diluar kelas. Tiba-tiba, seseorang menarik tanganku ke samping kelas.
"Eh, apaan, nih? Siapa, Loe?" ucapku kaget karena tiba-tiba seorang gadis yang menarik tanganku tadi.
"Ssstt, jangan berisik! Gue nggak ada niat jahat, kok. Loe ada waktu sore ini, nggak? Gue mau ngomongin hal penting yang harus Loe tau," bisik gadis itu.
"Apaan? Loe tinggal bilang di sini aja, bisa, kan?" ketusku.
"Nggak bisa di sini. Bakalan banyak yang dengar kalau di sini. Tempatnya nggak kondusif," yakin gadis itu padaku.
"Halah, banyak alesan, Loe. Buang-buang waktu Gue aja. Udahlah, bullshit, Loe!" aku pun membalikkan badan dan akan melangkah pergi.
Hingga tiba-tiba ia kembali mengeluarkan kalimat yang kali ini sukses membuatku penasaran dan kembali berbalik meminta kepastian.
"Loe bakalan nyesel kalau nggak mau nurutin Gue. Karna ini menyangkut dengan hidup orang yang Loe sayang!"
Deg!
Entah mengapa, bukan ibu, ayah, ataupun Vino yang terbesit dalam otakku, melainkan Derel. Mungkin karena telpon malam itu, membuatku mencemaskan dirinya.
"Apa maksud dari kalimat Loe itu, ha?" tuntutku pada gadis itu.
Ia tersenyum puas, "Kalau Loe beneran penasaran dan ingin tau, maka Loe harus datang jam empat sore nanti di Medium Cafe. Gue tunggu kedatangan Loe," ia pun menepuk pundakku dan kemudian berlalu pergi tanpa pamit sedikitpun. Meninggalkan aku yang masih mematung di tempatku berdiri.
Lalu, beberapa detik kemudian aku tersadar, "Eh, kemana Loe? Gie belum selesai bicara sama Loe, ya!" teriakku.
Namun, saat kulihat, ia sudah menghilang entah kemana. Aku juga sulit melihat karena lobi kelas yang padat oleh tumpukan mahasiswa yang baru keluar kelas.
Derek tang mendengar teriakanku segera mendekatiku, "Loe manggil siapa, De?" tanyanya celingak-celinguk.
"Ng-nggak. Bukan siapa-siapa, kok. Yuk, balik. Gue mau istirahat, soalnya ntar sore mau ada acara," ajakku yang langsung berjalan mendahuluinya.
"Acara? Acara apaan? Gue ikutan boleh, ya?" pintanya seperti anak kecil yang minta ikut kemanapun orang tuanya pergi.
"Nggak! Ini bukan urusan Loe," ucapku datar.
"Emangnya harus ada urusan dulu biar Gue bisa ikut? Kalau gitu Gue punya urusan. Yaitu Loe. Gue punya urusan buat jagain temen Gue, gimana? Udah boleh pergi, kan?" cengirnya sambil menaik-turunkan alisnya. Menunggu persetujuan dariku.
Aku menghela napas sembarang, "Rel, tetap nggak bisa. Loe mau tau alasannya kenapa? Karna acaranya itu only for girl. So, are you a girl?" finalku agar ia berhenti mencari alasan lagi.
"Eh, gitu rupanya. Ya, nggak lah. Gue masih cowok tulen, kok."
Aku pun hanya mengangguk mengiyakan kalimatnya barusan, karena aku sudah susah payah menahan tawa sedari tadi melihat tingkah lucunya. Namun, aku harus bisa mengendalikan diriku. Jangan sampai ia melihat aku tersenyum, karena itu akan membuatku malu nantinya. Bisa 'sok tebar pesona lagi dia.
"Eh, tapi tumben bener Loe ada acara diluar? Biasanya juga dalam sangkar mulu. Kuliah–pulang, kuliah–pulang, dasar kupu-kupu, Loe," cerocos Derel.
"Ya, ada lah. Loe pikir Gue kayak Loe, apa? Yang kerjaannya nggak jelas, cuma pandai tebar pesona busuk, doang. Heran, Gue. Masih mendingan Gue, mah kalau gitu," akhirnya aku terpancing emosi akibat kalimatnya barusan.
"Heh, ada yang cemburu rupanya, ya?" dia mulai menggoda ku lagi.
"Apaan, sih! Siapa juga yang mau cemburu sama devil kayak Loe. Udah, ah. Buruan balik, kalau nggak Gue pulang sendiri, nih," ancamku untuk mempersingkat obrolan aneh itu.
Karena aku butuh waktu mempersiapkan diriku untuk mendengar hal yang akan disampaikan oleh gadis tadi. Mungkin aku harus mempersiapkan hatiku juga untuk apapun yang akan terjadi nantinya. Karena apapun kemungkinan itu bisa saja terjadi, dan bisa saja ia adalah pemeran baru dalam kisahku dan Derel.