Chereads / DEODOFA (Antara Nada dan Rasa) / Chapter 7 - Kamu yang Kutunggu

Chapter 7 - Kamu yang Kutunggu

Malam harinya, saat aku yang masih betah untuk duduk di kursi ruang rawat ini. Bukan karena aku benar-benar tertarik pada kenyamanan kursinya, atau bahkan aku yang terlalu banyak memiliki waktu luang untuk berlama-lama di sini. Namun, karena di ruang inilah bidadariku sedang beristirahat, dan aku harus selalu menjaganya agar tidak ada iblis yang bisa mendekatinya barang seujung helai rambut pun.

Tiba-tiba ia bangun, dan berbicara, "Ee, Rel? Loe nggak bosen, atau ngantuk, gitu? Mending Loe balik, deh ke rumah Loe. Istirahat gitu," ucapnya memecah keheningan malam itu.

Dalam hati, aku sempat bertanya pada diriku sendiri, apakah ini adalah salah satu caranya untuk mengusir ku pergi? Tapi, tentu saja jawabannya, tidak. Mana bisa aku meninggalkannya seorang diri.

"Hm? Nggak, kok. Gue di sini aja nemenin Loe. Soalnya tadi Gue udah minta izin juga sama Bik Ijah, Gue juga udah larang mereka untuk ke sini. Kasian juga, kan. Mereka udah pada tua, ntar malah kecape-an kalau di sini," tuturku tulus.

Mendengar hal itu, raut wajah Dea pun langsung berubah, "Hm, pantesan nggak ada orang rumah yang ke sini jengukin Gue. Gue kira mereka udah lupa sama Gue, eh, taunya Loe yang larang. Malah mereka mau aja lagi dengerin kata-kata Loe. Bisa-bisanya juga mereka percayain Gue ke cowok mesum kayak Loe," repetnya yang membuat wajahnya semakin imut saat ia merajuk.

"Haha, mesum gini tapi Loe suka, kan?" godaku.

"Ih, jauh-jauh Loe dari Gue. Takut Gue sama Loe. Sana, tidur Loe di pojokan sana!" sinisnya menunjuk sudut ruangan yang berisi sofa.

Aku pun bangkit dari tempat duduk ku dan berniat ingin memberikan kecupan selamat tidur padanya. Namun, reaksinya malah terlalu berlebihan. Mungkin ia masih trauma dengan kejadian tempo hari itu, haha.

"Eh, mau ngapain Loe cowok mesum. Berhenti, nggak? Gue cekik Loe, ntar!" ucapnya panik.

"Gue nggak bakal ngapa-ngapain Loe, kok. Kecuali Loe yang minta," ucapku sambil mengedipkan sebelah mataku padanya.

Dan hal itu sukses membuatnya tak berkutik sama sekali. Sungguh wajahnya sangat lucu sekali dalam keadaan seperti itu. Entah itu hanya imajinasiku saja atau memang begitu faktanya, hari ini ia begitu bertingkah lucu. Mulai sejak ia bangun tadi, ada-ada saja tingkah lucunya yang membuatku sakit perut karen menahan tawa.

'De, andai Loe tau, sebisa mungkin Gue menahan diri untuk nggak nyakitin Loe. Karna Gue sayang banget sama Loe, dan itu tulus. Tapi, De, sampai kapan Loe bakalan nahan rasa itu? Apa Loe beneran mau ngelepasin nya gitu aja? Dan nggak mencoba untuk memperjuangkannya?' lirih batinku yang berharap dapat didengarkan olehnya.

Tersadar dari lamunan singkatku, aku pun memberinya kalimat yang dapat menenangkannya.

"Gue tidur di sini aja, biar nanti kalau Loe ada keluhan, bisa langsung bangunin Gue aja, oke?" ucapku sambil memperpendek jarak antara kursiku dengan ranjangnya.

"E-ee, serah Loe, deh. Gue mau tidur aja," gugupnya, lalu ia pun melanjutkan, "awas, Loe! Gue bunuh Loe kalau sampai Loe macem-macem," ancamnya yang sudah keringat dingin membayangkan hal buruk akan terjadi padanya.

"Haha, iya-iya," tawaku, "udah, tidur lagi, sana!" suruhku. Lalu ku genggam kembali tangan mungilnya dan ku dekatkan ke pipiku hingga perlahan aku pun menutup mataku.

Beberapa menit kemudian, saat kesadaranku telah menghilang setengahnya. Aku merasakan seseorang membelai lembut rambutku. Ya, tentu saja tangan itu adalah tangan Dea. Hingga tanpa sadar, aku pun tersenyum dengan sentuhan itu.

Kunikmati sentuhan itu beberapa waktu lamanya, yang mana hal itu membuatku semakin yakin akan rasanya. Dari sentuhan itu, dari kelembutan belaian nya, tergambar jelas bahwa ia memiliki sebuah rasa yang berbeda dari biasanya untukku.

Akhirnya aku membuka suara, "Loe belum tidur?" lirihku yang membuatnya terkejut dan menghentikan belaian nya.

"Eh, Loe bangun, ya? Pasti nggak nyaman, kan tidur sambil duduk gitu? Makanya, sana! Tidur di sofa!" ucapnya terlihat sedikit kikuk.

"Kenapa berhenti?" lirihku yang kemudian mengangkat kepalaku untuk melihat ekpresi wajahnya yang lucu itu.

"Eh, maaf. Gue nggak maksud ganggu tidur Loe. Cuma," gugupnya.

"Cuma apa?" tanyaku lagi.

"Nggak papa. Udah, sana! Loe tidur di sofa aja, ya?" bujuknya.

"Hm, oke, deh," setujuku.

'Dea, aku akan tunggu waktunya. Kapan kamu siap, kapanpun itu, akan tetap aku tunggu. Karna memang cuma kamu satu-satunya orang yang aku tunggu. Jawaban dari pertanyaan yang sebelumnya telah ku pertanyakan dan cukup sekali kuucapkan,' ikrarku dalam hati.

***

Keesokan harinya, Bik Ijah datang dengan ditemani Pak Adi sebagai supirnya. Mereka datang pagi-pagi sekali karena sangat khawatir dengan keadaan Dea. Begitu juga dengan Jihan, ia juga datang untuk menjenguk Dea bersama dengan Ryan, Aldo– sang ketua kelas, dan Tasya. Hanya mereka berempat sebagai perwakilan saja. Mereka datang sebelum kuliah dimulai.

Namun, ada sedikit hal yang begitu mengganjal di hatiku. Perihal sikap Ryan yang menurutku terlalu berlebihan untuk bisa disebut sebagai seorang teman. Dia begitu memperlihatkan bahwa seakan-akan ia adalah orang yang paling mengkhawatirkan Dea.

"Dea, kok Loe bisa masuk rumah sakit, sih? Kan, Gue jadi kesepian di kampus," tuturnya yang membuatku seakan ingin muntah.

"Hehe, sabar, ya. Ntar, pas Gue udah keluar dari sini, Gue langsung nyamperin, Loe," balas Dea meladeni kutukupret itu.

"Wah, beneran, ya, De?" harap Ryan.

Aku yang sudah gerah mendengarkan drama romansa mereka akhirnya menyudahi adegan itu.

"Ehem, maaf, ya. Bukan maksud Gue mau ikut campur dalam urusan 'pribadi' kalian. Tapi, Loe, kan tau, Yan, kalau Dea baru habis keluar dari UGD, jadi dia butuh istirahat yang cukup. So, Loe nggak usah ngajakin dia untuk banyak bicara dulu," paparku panjang kali lembar.

"Iya-iya. Ya, udah. Kalau gitu, kami pamit dulu, ya Dea. Cepet sembuh and go back to class, oke?" ucap si kutukupret sambil menyentuh tangan Dea.

Segera saja kutepis tangannya itu, "Iya, makasih banyak, ya, Ryan. Semangat buat kuliahnya hari ini, dan kalian bisa keluar sekarang, kalau nggak nanti bakalan telat ngampus nya," ucapku sambil kemudian menggiring mereka semua keluar dari ruangan Dea.

Betapa gigiku seakan ingin lepas semua karena senyum keterpaksaan itu. Kenapa juga aku harus berpura-pura ramah seperti itu padanya, memangnya dia siapa? Dasar!

Setelah membereskan lalat-lalat bandel itu, aku pun dibuat terkejut dengan tawa Dea yang lepas. Ternyata ia sedang menertawakan ku.

"Ya ampun, Rel. Sampai sakit perut Gue karna nahan ketawa liat Loe kayak emak-emak yg lagi overprotective sama anaknya," seru Dea disela tawanya yang menggelitik itu.

Aku hanya tersenyum menyaksikan tawanya yang lepas. Sejak sehari sakit, rasanya ia sempat lupa bagaimana caranya untuk tertawa. Syukurlah jika aku bisa menjadi alasan untuknya kembali tertawa.