Chereads / Jangan Duakan Aku / Chapter 6 - Kebaikan Hati

Chapter 6 - Kebaikan Hati

Di rumah Liana, tampak Maria dan Hendra, suaminya, sedang sibuk bersiap untuk pergi ke acara resepsi pernikahan teman suaminya.

"Sari, nanti kalau Liana pulang tolong bukakan gerbang ya. Aku dan suamiku mau pergi ke acara resepsi pernikahan dulu." Ucap Maria.

"Iya, bu." Jawab Sari.

"Pa, sudah siap belum? Mama sudah siap nih." Tanya Maria pasa suaminya, Hendra.

Tampak Maria yang sudah selesai dengan dandannya.

Ia kali ini mengenakan long dress berwarna merah dengan satu tali di bahunya.

Sedangkan Hendra sendiri mengenakan setelan jas hitam rapi.

"Sudah. Ayo kita langsung berangkat saja." Jawab Hendra.

"Ayo, Pa." Sahut Maria.

"Oh iya, Ma. Ngomong-ngomong Liana masih belum pulang?" Hendra teringat akan Liana yang sudah sore belum juga pulang ke rumah.

"Belum. Tadi waktu mama telpon, katanya sebentar lagi dia akan pulang. Mungkin sekarang sudah di perjalanan." Jawab Maria.

"Ya sudah kalau begitu. Ayo kita berangkat."ucap Hendra mengajak untuk segera berangkat.

"Iya, Pa. Ayo." Jawab Maria.

"Sari, saya sama istri berangkat dulu. Nanti tolong titip Liana ya. Tolong siapkan makanan jika dia pulang, kali saja dia belum makan di luar." Ucap Hendra pada Sari.

"Iya, pak. Hati-hati di jalan." Jawab Sari.

Hendra mengangguk. Lalu kemudian ia berjalan keluar bersama Maria menuju mobilnya.

Mereka pun melajukan mobilnya menuju lokasi yang sudah di tentukan oleh rekannya itu.

Sementara dengan Liana, ia masih terlihat dalam perjalanan menuju rumahnya.

Iwan sedikit kesal karena jalanan Jakarta tampak terlihat sangat padat dan macet. Maklum, di kondisi sore begitu di Jakarta adalah jam pulang kerja bagi para pekerja disana.

"Duh. Sialan! Aku malas sekali jika setiap sore macet begini." Ucap Iwan mengeluh.

"Sabar mas. Namanya juga Jakarta. Apalagi jam sore begini banyak orang pada pulang kerja." Liana menenangkan Iwan yang nampak kesal dengan situasi jalanan kala itu.

"Hmm. Kita cari jalan pintas saja." Jawab Iwan.

"Iya mas. Hati-hati, jangan emosi begitu di jalanan. Bahaya, nanti malah nabrak orang." Ucap Liana mengingatkan.

"Iya. Kamu tenang saja. Kamu pegangan yang erat." Jawab Iwan.

Lalu Iwan pun melajukan motornya melewati celah kendaraan lain yang ada di depannya.

Ia bergegas menuju gang untk menghindari kemacetan.

Lalu saat di perjalanan, Liana pun teringat akan Sari, pembantunya.

Mumpung dia sedang di luar, ia berniat memberikan Sari makanan kesukaannya yang berada tidak jauh dari area pintu masuk komplek rumahnya.

"Mas, nanti sebelum masuk komplek, kita berhenti dulu ya di penjual martabak bangka disana." Ucap Liana.

"Iya sayang, memang kamu mau beli untuk siapa?" Tanya Iwan.

"Untuk asisstant rumah tanggaku, dia suka banget sama martabak itu." Jawab Liana.

"Oh, iya sayang." Sahut Iwan.

Setelah beberapa saat melewati gang yang mereka lalui, Iwan pun keluar jalan hingga ia sampai di tembusan jalan raya yang merupakan 1 arah menuju komplek rumah milik Liana.

"Akhirnya, kita terbebas dari macet. Sebentar lagi sampai rumahmu sayang." Ucap Iwan lega.

Lalu Iwan pun mempercepat laju motornya hingga ia belok ke arah gerbang utama komplek area itu.

Sesuai pesan Liana, ia pun memberhentikan motornya di depan penjual martabak bangka yang selalu mangkal di tempat itu.

"Sayang, tukang martabak ini bukan?" Tanya Iwan sambil menunjuk ke arah penjual martabak.

"Iya mas, sebentar ya mas. Mas tunggu disini dulu." Ucap Liana.

"Iya sayang." Jawab Iwan.

"Oh ya, mas mau bungkus sekalian tidak? Buat di kosan nanti." Ucap Liana menawarkan.

"Ah tidak usah sayang, aku masih kenyang." jawab Iwan.

"Ya sudah, aku bungkus buat assistant rumah tanggaku saja ya." Ucap Liana.

"Iya sayang." Jawab Iwan.

Lalu Liana pun turun dari motor dan berjalan ke tukang martabak itu.

"Pak, martabaknya masih?" Tanya Liana pada penjual martabak.

"Masih mbak. Silahkan mau di bungkus atau makan disini?" Jawab penjual martabak.

"Di bungkus saja pak." Ucap Liana.

"Oke. Mau yang rasa apa mbak?" Tanya si penjual.

"Saya pesan yang rasa coklat, kacang, sama keju ya pak." Jawab Liana.

"Oke tunggu sebentar ya mbak." Jawab si penjual.

Lalu Liana pun menunggu sampai pesanan makanannya jadi.

Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya pesanan makanannya pun sudah jadi.

"Mbak ini martabaknya." Ucap si penjual seraya memberikan pesanan pada Liana.

"Oh iya pak, berapa total jadinya pak?" Tanya Liana sembari ia mengambil dompetnya pada tas kecilnya.

"Totalnya 75 ribu mbak." Jawab si penjual.

Lalu Liana mengambil dompetnya dan mengambil selembar uang 100 ribu guna membayar makanan pesanannya.

"Ini pak uangnya. Kembaliannya buat bapak aja pak." Ucap Liana.

"Oh, aduh. Terimakasih banyak ya mbak. Jangan kapok-kapok pesan disini mbak." Terlihat penjual martabak itu sangat senang ketika Liana menolak untuk menerima kembalian pembayarannya.

"Iya pak, terimakasih ya pak. Mari pak." Ucap Liana pamit.

"Iya mbak, terimakasih kembali." Jawab si penjual.

Lalu Liana menghampiri Iwan yang sedari tadi menunggunya di atas motor.

"Sudah sayang?" Tanya Iwan sembari menoleh ke arah Liana.

"Sudah mas, ayo kita jalan." Ucap Liana.

Lalu mereka pun kembali melanjutkan perjalanannya

Tak lama setelah itu, sampailah Iwan di depan rumah Liana.

"Nah, sudah sampai sayang." Ucap Iwan disusul dengan memberhentikan motornya.

Liana pun turun dari motornya, melepas helm dan memberikannya pada Iwan.

"Terimakasih ya mas. Sudah mau mengantar aku." Ucap Liana.

Iwan pun tersenyum.

"Iya sama-sama sayang. Ya sudah, kamu langsung masuk saja. Jangan lupa untuk segera mandi lagi." Jawab Iwan.

"Iya mas. Mas tidak mau masuk dulu?" Ucap Liana menawarkan masuk.

"Ah tidak usah, aku langsung pamit saja sayang. Lagipula aku tidak enak dengan pembantumu." Ucap Iwan.

"Tidak apa-apa, lagian juga siapa yang punya rumah." Jawab Liana.

"Tidak lah sayang. Aku langsung pulang saja. Hari sudah sore juga, sebentar lagi juga maghrib." Ucap Iwan.

"Ya sudah kalau begitu. Oh ya mas ini buat bensin mas di jalan." Ucap Liana yang kemudian mengeluarkan dompet dari tasnya dan memberikan selembar uang 50 ribu untuk Iwan membeli bensin.

"Ah sudah tidak usah. Aku masih ada uang kok sayang. Lagipula bensinku juga irit, masih bisa lebih sampai rumah." Ucap Iwan menolak.

"Sudah tidak apa-apa. Ambil gih mas!"

Liana tampak memaksa, karena ia tau bahwa Iwan pastilah tidak memiliki uang.

"Tidak usah!" Tegas Iwan.

"Ya kalau tidak untuk beli bensin kan bisa bisa untuk beli makan atau rokok nanti di kosan mas! Tadi mas aku tawarkan martabak tidak mau." Ucap Liana.

"Emm. Ya sudah kalau begitu." Jawab Iwan.

"Ini, ayo ambil mas." Sembari Liana mengulurkan tangannya dengan uang selembar 50 ribu yang menempel pada tangannya.

Lantas Iwan pun yang merasa malu-malu anjing segera menerima uang itu. Dan lagipula ada benarnya juga kata Liana. Uang itu bisa untuk dia beli makanan atau rokok, atau kopi dan sejenisnya untuk di kosannya nanti.

"Iya, terimakasih sayang. Maaf kalau aku membebanimu." Iwan segera menerima lembaran uang dari tangan kekasihnya itu.

Liana pun tersenyum. "Iya mas, tidak apa-apa. Pasangan kan memang harus melengkapi. Untuk sekarang mungkin mas belum punya banyak uang, tapi aku yakin nanti mas pasti akan ada waktunya dimana mas akan banyak uang." Ucap Liana menyemangati kekasihnya.

Iwan tersenyum mendengar perkataan Liana. "Amin! Semoga saja ucapanmu terkabulkan. Ya sudah sayang, aku langsung pamit dulu ya. Kamu langsung istirahat saja, jangan lupa mandi lagi biar badanmu segar."

"Iya mas." Ucap Liana tersenyum.

Iwan pun menyalakan motornya kembali dan hendak melaju meninggalkan kediaman Liana.

"Daaaaghh sayang." Ucap Iwan pamit.

Liana pun membalas dengan senyuman dan lambaian tangan sembari ia melihat Iwan yang sudah melaju dan menghilang dari hadapannya.

Kemudian, Liana pun berjalan memasuki gerbang rumahnya.

Ia mengintip dari celah gerbang, ia melihat jika mobil kedua orang tuanya sudah tidak ada. Ia berpikir mungkin kedua orang tuanya sudah berangkat.

"Mobil mama sama papa sudah tidak ada, mungkin mereka sudah berangkat." Gumam Liana.

Lalu Liana menekan tombol bel yang terletak di sebelah pintu gerbangnya.

Tak lama setelahnya, keluarlah Sari dengan terburu-buru untuk segera membukakan pintu gerbangnya.

"Eh, non Liana. Baru sampai non?" Sari menyapa Liana dengan senyuman ramahnya.

Liana tersenyum. "Iya mbak."

Lalu Sari pun segera membukakan pintu gerbangnya dan mempersilakan Liana untuk masuk.

"Silakan masuk, non." Ucap Sari mempersilakan Liana masuk.

"Terimakasih mbak." Jawab Liana tersenyum.

"Sama-sama non." Lalu Sari pun kembali menutup dan mengunci pintu gerbangnya.

"Oh ya mbak, mama sama papa sudah pergikah?" Tanya Liana.

"Iya sudah non, belum lama kok perginya." Ucap Sari.

Liana hanya mengangguk.

"Mari non, masuk." Ucap Sari ramah.

Liana pun berjalan masuk menuju rumahnya yang tampak lumayan besar.

Dari segi ekonomi, Liana memang berasal dari keluarga yang cukup berada.

Karena ayahnya bekerja sebagai Direktur Utama di sebuah perusahaan kontruksi yang bekerja sama dengan perusahaan kontruksi luar negeri.

Berbeda dengan Iwan yang memang notabenenya hanya orang biasa dulunya, yang pernah sempat banyak uang karena pekerjaan masalalunya. Namun kini ia memulai hidupnya lagi dari nol.

Tapi Liana yang memang sudah mencintai Iwan, tidak lagi memandang hal itu. Terlebih ia kini sedang mengandung anak dari Iwan.

Lalu sesampainya di dalam rumah, ia segera memberikan martabak manis yang sudah ia beli tadi untuk Sari.

"Oh ya mbak, ini saya ada makanan kesukaan untuk mbak. Tadi saya baru saja beli di penjual martabak manis dekat gate komplek itu, mumpung masih panas mbak." Ucap Liana sambil mengeluarkan kantong yang berisi makanan yang ia pesan tadi.

"Aduhh. Terimakasih banyak non. Malah merepotkan begini." Tampak Sari sangat senang dengan pemberian Liana yang memang itu makanan kesukaannya.

Liana tersenyum. "Tidak apa-apa kok mbak. Mumpung saya ada rejeki, harus saling berbagi."

Liana memang dikenal orang yang sangat royal pada siapapun. Tidak peduli bagaimana orang itu.

Dia selalu bermurah hati pada siapapun.

"Terimakasih banyak ya non." Ucap Sari.

"Sama-sama mbak. Saya mau masuk kamar dulu ya mbak." Ucap Liana.

"Iya non, silahkan." Jawab Sari.

Lalu Liana berjalan menuju kamarnya.