Hyperion Hotel Berlin, Jerman.
Sunyi tiba-tiba mendominasi saat penjelasan panjang lebar didengar dalam diam oleh Aliysia, yang ekpresinya ditatap tidak mengerti oleh Vian. Bertanya-tanya dalam hati akan apa yang sebenarnya dipikirkan terhadapnya.
Hingga tak lama kemudian akhirnya suara Aliysia terdengar, meskipun dengan pertanyaan seakan memastikan.
Tuhan, ternyata penjelasannya tidak serta merta diterima oleh si bocah yang kini menilikku dengan tatapan yang berangsur berubah.
Apa sebenarnya yang dipikirkan Aliysia? Sungguh aku gagal paham, batinku frustasi.
"Benarkah seperti itu?"
"Tentu saja," jawab Vian dengan lugas, bahkan kepalanya ikut mengangguk tanpa ragu dan itu membuat Aliysia tersenyum dengan binar mata senang.
Semakin aneh saja, tapi tunggu! Aku tidak salah lihat, kan? Kenapa rasanya aneh sekali ya, kenapa pula aku harus menjelaskan seperti ini? Ck, aku ikut tertular aneh ternyata, batinya dengan perasaan bercampur.
"Bagus! He-he."
"Apanya yang bagus sih? Sudah yah, sudah tidak ada pertanyaan 'kan? Kalau tidak ada aku mau mandi dulu," sahut Vian bingung, meski dengan cepat menyudahi ketika rasa lelah kembali menggelayut di bahu.
Semakin berkali lipat dengan tambahan rasa aneh yang diberikan Aliysia kepadanya.
"Okay!"
Okay? Setelah aku dibuat bingung bukan kepalang dia hanya bilang 'okay' tanpa rasa berdosa? Sulit dipercaya, batin Vian speechless.
Kendati demikian, Vian berusaha mengabaikan dan akhirnya memilih bergumam, kemudian menutup pintu dengan debaman tersisa dan meninggalkan Aliysia, di ruang tamu sendiri dengan tatapan yang sulit diartikan.
Namun, jika saja ditilik lebih teliti maka Vian akan melihat ekspresi lega di sana.
Ya, sangat lega karena mendengar pengakuan Vian yang blak-blakan.
Di dalam, Vian kembali lanjut melepaskan ikatan dasi yang tertunda karena panggilan dari Aliysia, ia melangkah masuk lebih dalam dan duduk di tepi ranjang dengan hempasan sedikit keras.
"Huft.... Besok istirahat dulu, baru besoknya pergi jalan-jalan dengan Lyisa memenuhi hutangku kepada Mama," gumam Vian, ketika mengingat tujuan kenapa sampai ia mengajak si istri kontrak ke Jerman. "Jalan-jalan yah," lanjutnya tanpa sadar tersenyum, sebelum menggelengkan kepala dan memutuskan untuk membersihkan diri.
Beberapa saat kemudian
Selesai dengan acara bersih-bersih yang menghabiskan waktu cukup lama. Vian akhirnya keluar dari dalam ruangan lembab hanya berbalut handuk, dengan tetesan air yang mengalir ke perut.
Rasanya sungguh segar dan lelah pun seketika berkurang digantikan dengan rileks di ototnya yang sempat kaku. Tangan pun tidak tinggal diam, mengusak rambut setengah basah sambil melangkah mendekati cermin besar di ujung kamar.
Namun, baru saja beberapa langkah terdengar ketukan yang membuat Vian terdiam, meski tidak penasaran karena jelas ia tahu siapa yang pastinya mengetuk.
Maka dengan begitu, ia sejenak berhenti mengusak rambu meski kemudian kembali bergerak, ketika suara dari Aliysia kembali memanggil namanya.
"Kak! Sudah selesai?"
Tidak ingin membuat si bocah kesal karena mengira diabaikan, Vian pun putar arah dan menuju pintu kemudian membukanya dengan lebar, berdiri dengan tangan masih mengeringkan rambut.
Ceklek!
"Hm?" gumam Vian, menatap dengan sebelah alis terangkat saat mendapati wajah ditutup telapak tangan, kebiasaan Aliysia jika melihatnya dalam keadaan seperti ini.
"Eh! Kenapa belum pakai baju."
Aliysia dengan cepat membalik tubuhnya, ketika melihat penampakan tubuh bagian atas suami kontraknya yang terbuka dan memperlihatkan dada bidang.
Ya tentu terlihat jelas, pasalnya Vian belum memakai apa-apa masih dengan handuk membalut, dan lagi ia baru saja selesai mandi, saat ini pun masih mengusak rambut yang basah.
Pfft ... Dari dulu dia belum juga terbiasa, batinnya geli akan tingkah si bocah.
"Vian, kalau aku pikirannya kotor, yang salah kamu pokoknya, titik," tandas Aliysia masih memunggung Vian yang menarik sudut bibir.
"Hoo, kamu berniat melempar kesalahan padaku, huh? Jelas-jelas kamu yang melihat dan kamu juga yang punya pikiran kotor. Kenapa aku yang disalahin? Seharusnya aku dong, rugi lah dilihat sama bocah sepertimu," seloroh Vian dengan decakan berpura-pura sebal, padahal jelas niatnya menggoda Aliysia yang akhirnya kembali menghadapku.
"Bocah? Isk! Bukankah sudah kukatakan aku bukan bocah, huh?" sahut Aliysia, menatap sengit mengemukakan rasa tidak terima akan apa yang didengarnya.
Vian Kembali memijat pangkal hidung, migrain kalau sudah menghadapi Alysia mode seperti ini. Alhasil, ia pun mengalah dengan mengangkat tangan ke udara."Fine, you win. Ada apa heum? Kenapa kamu mengetuk pintu kamarku?" tanyanya dengan nada lelah.
Kali ini bukan lagi tatapan sengit yang diterima, melainkan senyum kemenangan dimana Aliysia juga mengulurkan tangan ke arahnya seakan meminta.
"Minta apa? Uang? Mau beli apa? Ini sudah malam, kalau kamu lupa kita baru saja selesai makan malam," lanjut Vian mencerca dengan pertanyaan, yang membuat Aliysia mendengkus kesal dengan pipi menggembung lucu.
Emosi Aliysia semakin labil, siang saat kedatangan sama sekali tidak ada senyum, saat makan malam dewasa sekali menghadapi Yeselen, lalu sekarang malah menggemaskan kembali seperti bocah.
Vian sampai tidak tahu harus berekpresi seperti apa, padahal ia sudah berjanji tidak akan melangkahi garis yang sialnya didekatkan oleh Aliysia itu sendiri.
Ya, bahkan secara sadar akan batasan yang disepakati bersama.
"Siapa yang minta uang sih, Vian. Pikiran kamu jelek mulu nih sama aku," ucap Aliysia dengan nada sebal, kembali mengulurkan tangan dan kali ini dengan penjelasan yang membuat Vian justru mengernyit. "Kemarikan handuknya, biar aku yang bantu mengeringkan," lanjutnya tanpa beban.
Ya, bahkan tidak sadar jika apa yang dilakukannya sudah termasuk permintaan bermakna lain bagi pria dewasa seperti Vian.
Jadi jelas, apa yang dipinta tentu saja tidak segera diiyakan, melainkan menatap dengan rasa tidak percaya dan juga aneh dengan apa yang sebenarnya ingin dilakukan Aliysia.
"Membantu mengeringkan?" ulang Vian memastikan, dengan anggukan kepala senang dari Aliysia tanpa pikir panjang.
"Iya, Vian."
"Tidak usah, aku bis-
"Aku lagi serius ini." Aliysia menyela perkataan dengan cepat, serta tatapan mata yang kali ini tidak main-main.
Tidak ada binar bercanda atau iseng di kedua bola matanya, yang ada hanya keseriusan yang membuat Vian seketika menelan saliva susah payah.
Aliysia jelas seperti ingin menunjukan sesuatu kepada Vian dan sesuatu itu membuatnya tiba-tiba saja merasakan takut.
Bukannya apa, ia takut akan ada sesuatu yang lebih aneh selain permintaan mengeringkan rambut.
Vian dengan ragu mengulurkan handuk kecil di tangannya, dimana Aliysia pun mengulurkan tangan hendak mengambilnya. Namun, saat sebentar lagi handuk itu dipegang oleh Aliysia, Vian dengan cepat kembali menariknya dan menyembunyikan di balik punggung.
"Tidak usah. Aku bisa sendiri, kamu sebaiknya istirahat lebih awal. Besok kamu bisa jalan lebih dulu sendiri, karena besok aku masih harus mengurus sesuatu," tukas Vian menjelaskan.
Benar, sekaligus mengalihkan suasana yang tiba-tiba saja kembali berubah saat Aliysia melihatnya dengan tatapan kecewa, tangannya yang mengulur ke arahku perlahan ditarik dan ikut disembunyikan di balik punggung.
"Aku tutup pintunya, selamat istirahat," lanjut Vian kemudian menutup pintu segera dengan pelan, tanpa menunggu jawaban dari sang istri yang masih terdiam di depan kamarnya.
Blam!
Bersambung