Chereads / Mr. Alandra (Aku bukan Wanita) / Chapter 4 - Bab 4 : Karma

Chapter 4 - Bab 4 : Karma

Belum tuntas sampai di situ, ketika tubuh itu mulai hilang pertahanannya lantaran menerima serangan kejutan, kepalanya bergerak menunduk dan detik berikutnya sepasang mata itu membulat sempurna manakala benda itu menempel pada tubuhnyaㅡmenjadi bagian dari dirinya.

"Ini kenapa?"

"Aaaa apa ini? Gue kenapa!?" pekiknya menggema di setiap sudut kamar mandi. Tangannya terangkat menjambak pelan rambutnya.

Ia sadar satu hal, surai itu telah memanjang hingga menyentuh bahunya.

***

Suara ketukan dengan ritme teratur itu sukses mengambil atensi seorang wanita paruh baya yang tengah berkutat dengan beberapa potong roti di meja makan. Bergeraklah sepasang tungkai itu menuju pintu.

Terbukanya penutup kayu itu digantikan oleh kemunculan sosok tinggi juga ayu. Wanita itu mengulas senyum.

"Selamat pagi, Tantenya aku yang cantik! Hehe ..."

"Pagi, Hana. Yuk masuk!"

Kedua perempuan berbeda usia itu melangkah bersisian masuk ke dalam ruang tengah hingga pijakan keduanya telah sampai di meja makan. Seperti biasa, keponakan cantiknya itu datang untuk menjemput sang anak yang ia pikir masih sibuk terlelap di kamar.

"Kamu sarapan juga ya? Biar tante yang bangunin anak pemalas itu!"

"Hehe ya, Tante."

Meninggalkan sang keponakan, wanita bersurai hitam legam bergelombang sepunggung itu mengambil langkah menjauh, berlalu menuju kamar di lantai dua. Sebanyak tiga kali ketukan yang ia buat ketika sampai di depan pintu kamar, belum juga muncul respons dari dalam. Ia putuskan untuk menggenapkan menjadi kali yang kelima, namun secara tiba-tiba pintu terbuka dari dalam diiringi seruan kepanikan luar biasa.

***

"Ya ampun!"

"Mama!"

Terkejut dengan sosok di hadapannya, wanita yang dipanggil Mama itu menjatuhkan fokus sepenuhnya pada sang anak yang nampak panik itu.

"Hey! Hey! Ini kamu kenapa? Kenapa?" ujarnya menenangkan raga yang dalam keadaan setengah basah berbalut bathrobe itu.

"Ma, aku kenapa? Aku kok jadi gini? Ma ini mimpi, ya?!"

Sedangkan wanita paruh baya itu tampak terbengong, kewalahan dengan reaksi berlebihan sang putri. Perlahan semua seruan yang lolos dari ranum pink pucat itu berusaha ia cerna. Diletakkannya punggung tangan menempel pada dahi sang anak.

"Kamu ini masih belum sadar, kena demam apa gimana?"

"Ma," rengek sosok cantik itu.

"Apa sih, Nak? Apanya yang kenapa? Jadi gini gimana maksud kamu? Mama enggak paham, tuh Hana udah nungguin di bawah! Udah mandi 'kan ini? Habis ini pake baju, cepetan terus turun, ya? Mama mau ke bawah."

Ditatapnya baik-baik wujud sang puteri dan tidak ada yang ganjil, memangnya kenapa?

"Mama kok enggak kaget liat aku?" tanya gadis itu tiba-tiba.

Yang membuat wanita itu mengernyit bingung. "Kaget apa sih sayang? Kamu ini kenapa? Kok jadi aneh gini?"

"Ma, Alan jadi begini Mama enggak kaget?"

"Alan siapa?" tanya sang Mama yang sukses membuat lidah si gadis kelu.

"Hah?"

Untuk yang kedua kali, punggung tangan kurus itu mendarat di permukaan kening yang masih memunculkan sedikit bulir-bulir air itu, "Kamu ini pasti demam, ngomongnya ngelantur!"

"Alan, Ma, ya anak Mama!"

"Anak siapa itu? Mama enggak punya anak yang namanya Alan. Mama cuma punya kamu aja!"

"Aku siapa emang?"

Makin menjadi-jadi 'lah pikiran aneh yang datang dari Mama mengenai sang putri. Sepertinya darah dagingnya memang tak dalam kondisi kesehatan yang baik.

"Kamu sakit ini, ya sudah istirahat aja! Entar biar Mama bilang Hana supaya berangkat duluan aja!" sahutnya tak menjawab pertanyaan tersebut. Kaki-kakinya baru akan anjak dari tempat namun lagi-lagi sang putri tak menghendaki.

"Terus aku ini siapa, Ma? Ini pasti aku lagi mimpi kan?" tanya gadis itu setengah frustrasi.

Kedua pundak itu di tahannya, Mama menatap lekat sepasang obsidian milik putrinya itu. "Kamu Selena, anak Mama! Mama jadi khawatir sama kamu ini, Mama panggilin dokter deh, ya?"

"Selena, Selena siapa?! Selena Gomez?!"

***

Ini mimpi!

Benar ini pasti hanya bunga tidur yang mekar di saat raga dalam keadaan lelap. Alan tidak mungkin menjadi seorang perempuan. Ini mustahil! Ini gila!

"Na..."

Indra pendengarannya menangkap panggilan tak begitu keras. Semakin lama semakin sering.

"Na, lo udah bangun?"

Satu sosok yang belum terlihat jelas bentuknya berada disisinya. Sepertinya ia kenal pemilik suara itu. Kelopak mata itu tergerak, perlahan terbuka menyesuaikan cahaya di sekitar ruangan.

"Tante, Selena udah sadar!"

Yang begitu ia harap ketika membuka netra nanti semuanya akan kembali menjadi normal. Namun, tidak semudah inginnya. Bagai hidup di mimpi buruk, Alan yang terjebak dalam wujud Selena.

"Aaa!!!"

Perihal hati yang telah disakiti, cinta yang telah disia-sia, begitu juga sayang yang terbuang, semuanya akan mendapatkan timbal baliknya. Layaknya skenario buatan yang diciptakan semesta saat ini teruntuk anak manusia yang kelewat keterlaluan pada kekasihnya, Alan.

Karma.

Mungkin kalian menyebutnya seperti itu. Merasakan sakit yang tak mampu lagi ditolerir seluruh panca indra sehingga Irene layangkan sumpah serapah. Tak bermaksud demikian mungkin namun, siapa kira si pemilik jagat raya mendengarnya? Dan berpikir mengabulkannya?

"Na, lo kenapa, sih? Serius deh dokter cuma bilang kalo lo terserang demam ringan tadi tapi, kok lo-nya jadi gini, sih?" khawatir Hana menggenggam tangan sepupunya yang masih terdiam untuk beberapa saat.

Pikiran gadis pemilik surai sebahu itu benar-benar kosong. Mencoba memahami apa yang terjadi. Jika ini sungguh mimpi, mengapa terasa begitu nyata sekali? Terus melontarkan tanya bahwa ini mimpi atau bukan pada gadis yang kini menggenggam erat satu tangannya.

Hana rasa-rasanya ingin angkat tangan, menyerah pada sikap aneh yang ditunjukkan oleh Selena. Sepupunya itu seperti merasa asing dengan atmosfer di sekitarnya, bertanya apakah benar ini mimpi atau dunia yang asli, lantas terdiam lagi.

"Han?"

Hana bereaksi. "Ya, Na?"

"Ini gue kenapa?"

Dahi itu mengerut sesaat sedang alis saling bertaut. "Ehm, dokter bilang lo kena demam tapi, bentaran juga sembuh."

Bukan!

Bukan itu jawaban yang diinginkan. Perkara tubuh siapa yang ia huni kini, itu yang paling penting!

"Bukan, Han! I-ini gue kenapa? Gue kenapa jadi gini?"

Hana dibuat kebingungan. Maksudnya bagaimana?

"Sayang, kamu kenapa? Jangan bikin Mama sedih, dong." Mama mengusap lembut pipi sang putri.

"Kak Sera! Mama punya anak selain aku namanya Sera, Kak Sera!" terang Selena menatap Mama tepat pada titik fokus obsidiannya.

Sedang dua perempuan beda usia itu saling menoleh dan menatap. Selena seperti datang dari dimensi lain.

"Lily, Mama enggak kenal dia? Cucu Mama itu!"

Hana menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal lantas bersuara. "Kayaknya Selena ini kemarin kebanyakan minum deh, Tante."

"Aduh jangan ajakin Selena minum dong!" omel Mama menatap keponakannya.

Sedang Hana melambaikan tangan kecil serta kepala yang menggeleng beberapa kali. "Ih enggak, Tante! Aku mana pernah ajakin dia minum, orang aku aja enggak bisa minum. Itu tuh dia minumnya sama anak-anak, mana enggak bisa diingetin lagi kalo udah asyik."

"Ck, ya udah mulai sekarang enggak usah aneh-aneh. Pulang kerja langsung pulang! Enggak usah pakai mampir-mampir! Jangan pulang malam-malam kalian berdua anak cewek, dijaga baik-baik itu dirinya!"

Yang ujungnya keduanya mendapatkan siraman rohani dari sang wanita yang lebih tua.

Lagi-lagi seperti merasakan sebuah kutukan yang mana ia menatap pantulan diri di cermin. Hanya mengenakan bra dan celana piyama panjang. Selena meneguk ludah, menatap dua gundukan yang menempel pada dirinya. Disentuhnya benda kenyal tersebut. Astaga, ia memang gemar melihat benda kenyal itu apalagi jika bentuknya besar tapi, semua terasa aneh ketika ia sendiri memilikinya.

Alan itu mesum dan senang melihat dada perempuan. Sebisa mungkin tangan nakalnya terkadang mencari-cari kesempatan untuk menyentuhnya.

Kini dalam wujud Selena, ia memiliki benda itu sendiri. Bentuknya besar persis seperti kepunyaan wanita-wanita yang terpampang cantik di majalah dewasa yang sering sekali ia beli.

Berpindah, tangan itu menyentuh surai sebahu miliknya. Lurus dan sedikit lepek karena belum dicuci, ia mendesah.

Buru-buru ia kenakan atasan piamanya, bergerak ke arah wastafel dan membasuh wajahnya secara brutal di sana. Saat basah sudah merata pada wajah, pantulan wajah cantiknya masih tampak begitu jelas. Seandainya jika ini memang mimpi harusnya ia sudah terbangun mendapatkan kesadaran kala tangannya melayang bebas mendaratkan tepukan-tepukan ringan pada pipinya. Masih belum percaya padahal ini nyata!

"Gue ini kenapa sih ya ampun? Huhuhu ..."