Sosok cantik yang kini terduduk membatu menghembuskan napasnya teratur lantas memejamkan mata. Masih jelas di dalam ingatannya saat Sarah mengutuk dirinya menjadi seorang wanita. Seperti apa yang telah diberitakan semesta, perihal hukum karma yang kini telah bekerja. Bahwasannya ini realita bukan sekedar mimpi belaka. Semua kesalahan dan dosa-dosa yang telah ia lakukan di masa lalu kini mendapatkan karmanya.
Asanya dipatahkan begitu saja oleh waktu, yang mana ketika terjaga masih dalam sepotong raga berparas ayu.
"Na, lo mikir apa, sih? Dari tadi diem aja!"
Selena melirik sekilas ke arah sepupunya yang kini tengah mengemudikan kendaraan yang kini membawa mereka ke suatu tempat yang belum ia ketahui. Saat tadi Hana mengajaknya, ia hanya mengiyakan saja.
"Han, kita mau kemana?" tanya Alan yang kini dalam wujud seorang wanita cantik bernama Selena mengacuhkan pertanyaan Hana beberapa detik yang lalu.
"Ya ke gedung lah," jawab Hana yang masih fokus dengan setir kemudinya.
Lagi-lagi Hana merasa heran dengan Selena. Ada apa dengan gadis itu? Sejak kemarin gadis itu selalu bertingkah aneh.
"Gedung apa?"
Pertanyaan yang dilontarkan oleh Selena barusan hampir saja membuat kendali mobil Hana terlepas.
"Please deh, Na. Lo kenapa, sih?! Lo mabok kok jadi gini?! Masa cuman gara-gara mabok sama cowok lo jadi kayak gini!" Hana benar-benar frustrasi dengan tingkah aneh sepupunya.
Sementara itu Selena menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ya, mana ia tahu orang ia sendiri juga bingung. Bangun-bangun sudah dalam wujud Selena.
"Jawab yang benar dong, Han?!" desak Selena.
"Gedung agensi 'lah, Na! Kemarin si Edwin ngomel gara-gara lo absen sakit, jadwal jadi sedikit berantakan gara-gara itu!"
Tunggu! Fotografer?
"Emang gue di sana ngapain? Kerja?" tanya Selena bak orang linglung.
Astaga jika seandainya tidak sedang menyetir mungkin Hana akan menggetok sedikit kepala Selena.
"Tau ah!"
***
"Nggak bisa, Ren! Lo ada jadwal pemotretan jam tiga entar!"
Sedang yang diajak bicara sudah dengan santai mendaratkan bokong di salah satu kursi depan meja rias. Tak lama lampu-lampu besar yang tersusun di pinggiran kaca tersebut menyala, disusul seorang make up artist yang sudah mulai membuka kotak peralatan riasnya.
"Atur aja lah, Lin! Apa gunanya lo jadi manager gue?" seloroh gadis pemilik wajah oval sempurna itu bernama Irena Handoko.
Sementara itu si manager Linda nampak menghela napasnya dalam. Ia mencoba menekan emosinya demi kelangsungan pekerjaannya. Kalau bukan karena tuntutan membiayai adiknya sekolah mungkin ia akan segera mengundurkan diri saat itu juga.
"Sabar," bisik Sarah yang berprofesi sebagai make up artist di agensi itu, seraya menepuk bahu Linda pelan.
Gadis berwajah oval, berhidung mancung itu tengah sibuk berkutat dengan ponsel di tangannya. Nampak tengah bertukar kabar dengan sang kekasih tercinta di ujung sana.
"Bukannya si Yudha ada meeting soal script filmnya jam-jam segitu?" Linda masih berusaha untuk membujuk Iren agar tak memintanya merombak semua jadwal yang sudah ia susun dengan rapi.
Gerakan jemari yang sibuk menyapu layar ponsel terhenti. Iren yang tengah dipoles bedak pun menatap pantulan diri Linda dari cermin di hadapannya.
"Tau dari mana lo?" tanya Iren.
Mendengar itu Linda hanya bisa memutar bola matanya malas. Sudah mah menjengkelkan, Iren orangnya pelupa. "Kan lo yang bilang? Sore dia ada meeting bahas script filmnya."
Iren tampak mengerutkan keningnya. Ia coba mengingat-ingat lagi perkataan Linda. Sedetim kemudian wajah Iren berubah, lalu ia cengengesan karena baru mengingat perkataannya semalam. "Gue lupa."
"Alah yaudah lah!" Iren kembali sibuk scroll ponselnya sana-sini. Membuka akun sosial media miliknya untuk membaca komentar yang di ketikkan orang-orang untuk postingannya kemarin.
Suara pintu menginterupsi dua diantara mereka. Linda yang masih berdiri didekat Iren dan Sarah yang duduk sedikit di depan Irenㅡmemakaikan gadis itu lipstik.
"Itu suara pintu berisik bener deh! Nggak ada inisiatif buat diganti yang baru apa gimana?" gerutu Iren dengan dua bola mata yang masih tertahan pada barisan komentar di akun instagramnya.
Pasalnya pintu ruang make up dan wardrobe itu memang sudah lama dan setiap kali dibuka selalu berbunyi seperti itu. Engselnya saja sudah agak karatan.
"Agensi gede benerin satu pintu aja nggak mampu!" seloroh Iren asal.
"Heh mulut lo!" Linda memperingati. Bisa gawat jika ada petinggi agensi yang lewat, bisa-bisa di sidang nanti Iren.
Sarah sedari tadi hanya mengembangkan senyum. Iren ini memang ceplas-ceplos. Namun ia sama sekali tak terganggu dengan sikap kurang mengenakan Iren itu.
Sementara itu manusia yang baru masuk dan bergabung satu ruangan dengan mereka bertiga itu duduk di sofa pojok ruangan dan satu di antaranya menatap Sarah membeku.
"Sarah ..." lirih Selena.
"Na, sini duduk!" ucap Hana menarik tangan sang sepupu agar melakukan hal yang sama dengannya.
Wajah Selena tampak pucat memandang sosok mungil yang kini tengah sibuk mendandani orang disana. Selena yakin 1000% yakin bahwa itu Sarah. Perlahan Selena daratkan bokong di sofa dengan sepasang netra yang belum bisa beralih objek fokus selain pada yang disana.
"Nah, udah! Cantik!"
Iren menatap pantulan dirinya dan mengacungkan jempolnya pada Sarah. Iren selalu puas dengan hasil karya Sarah pada wajahnya plusnya Sarah juga sabar. Bagaimana pun sikap Iren, gadis itu selalu telaten menghadapinya. Maka hanya Sarah lah yang ia minta untuk mendandaninya. Jika yang lain mungkin sudah adu cakar dengan Iren karena tidak sesabar Sarah.
"Lagian gue nggak dandan juga tetep cantik!"
"Ya, kamu yang paling cantik!" puji Sarah yang mampu mengukir senyum pada wajah judes Iren.
Memang menghadapi Iren ini harus benar-benar ekstra sabar, seperti halnya Sarah dan Linda saat ini.
"Yaudah yuk!" ajak Linda mengambil totebag milik Iren yang digeletakkan diatas meja.
Gadis berprofesi aktris dan model itu mendesah, seraya menatap jengkel ke arah sang manager. "Sabar napa!"
"Baca komentarnya entar aja!"
"Nggak bisa! Lo baca nih, masa ada yang ngatain gue oplas!" ketus Iren.
Suara mereka mereda bersamaan dengan tungkai yang mengayun menjauh. Sarah tersenyum menatap keduanya yang bergerak mencipta jarak. Lantas netra indahnya bergulir kearah dua sosok gadis yang tengah duduk di sofa sudut ruangan. Detik selanjutnya pandangan itu terkunci. Dua pasang manik sewarna tanah liat itu saling bertemu. Sarah dan Selena.
***
Sesi pemotretan yang biasanya berlangsung kilat itu hari ini tampaknya harus terulur lebih lama. Selena yang mereka kenal tidak seperti biasanya. Bahkan fotografer yang biasa dipanggil om Ed oleh Selena harus mengumpulkan rasa sabarnya kala Selena tidak fokus pada saat rupa ayunya dijepret oleh kamera.
"Na, lo masih sakit?" tanya Edwin.
"Gu-gue bingung," cicit Selena.
Edwin melepaskan topinya lantas menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Apa yang lo bingungin, Na? Biasanya nggak pake gue arahin juga bisa!" ujarnya sedikit emosi pasalnya sejak tadi pekerjaannya tidak selesai karena ketidak fokusan Selana.
Jemari Selena meremas ujung kaos oversized yang kini tengah ia kenakan.
"Ck yaudah lah, sana minum dulu!" titah Edwin.
"So-sorry," cicit Selena.
Yang hanya dibalas lambaian tangan singkat oleh Edwin yang berlalu seraya melepas kamera yang menggantung dipundaknya.
Dengan botol air mineral di tangan, Selena terduduk. Memikirkan semua yang terjadi dalam hidupnya yang secara tiba-tiba ini.
Jadi gue model?
Ya, model. Profesi yang ia lakoni sejak masa putih abu-abu. Bahkan wajahnya sudah banyak terpampang untuk mempromosikan beberapa produk. Kurang lebihnya sama dengan Hana, gadis itu kini tengah melakukan pemotretan di luar gedung.
Lalu yang tadi, gadis yang sempat menyita perhatiannya tadi. Itu Sarah, mantan pacarnya yang sempat akan ia lecehkan. Kini mereka dipertemukan kembali. Namun respon yang diberikan gadis itu saat bertemu dengannya
***
Mengira tak akan bertemu, malah semesta membuat keduanya dalam satu ruangan dan pada akhirnya duduk berhadapan dengan jarak yang dekat, saat Sarah melakukan pekerjaannya mendandani Selena.
"Kamu sakit? Pucet banget mukanya?" tanya Sarah.
"Iya, Mbak. Selena abis sakit! Demam kemaren," ujar Hana yang duduk persis di samping Selena.
Sarah mengangguk mendengar penuturan Hana. "Oh gitu."
Jangankan untuk mengolah kata, untuk buka suara pun rasanya Selena tak ada daya. Masih belum percaya dengan Sarah di hadapannya.
"Yaudah kalo merasa belom baikan, istirahat aja," ucap Sarah.
Kalimat yang diucapkan Sarah terakhir benar-benar membekas dalam pikirannya. Tangannya sedikit meremas botol air mineral saat memori tentang iaㅡAlanㅡsaat sedang sakit dan Sarah yang sibuk menjaganya.
"Kak, buburnya dihabisin dong," titah Sarah.
"Obatnya tadi udah diminum kan?" tanya Sarah.
"Masih pusing?"
"Aduh, kamu tuh jangan main hape terus dong! Istirahat biar cepet sembuh!"
"Alan, demammu udah turun. Syukur deh."
Selena ingat dengan baik. Meskipun sering dibuat kesal, Sarah tetaplah Sarah. Gadis jelita dengan segudang kesabaran.
"Maafin aku, Sar," batin Selena seraya menatap sendu Sarah yang tengah membereskan alat make up miliknya.