Sepanjang malam Alexa tidak dapat tidur dengan nyenyak. Ia bersikeras pada diri sendiri untuk tidak tidur di kasur Robert, melihat kasur itu saja sudah membuat tubuhnya gatal. Ia ingin terjaga walau matanya terasa kantuk. Namun, rasa lelah yang menyerangnya sejak dari pemakaman membuat gadis itu akhirnya terlelap juga walau dalam posisi duduk. Tak ayal ketika bangun di pagi hari pinggulnya langsung terserang nyeri.
Alexa mengerjapkan mata beberapa kali, melakukan gerakan peregangan untuk meluruskan kembali tulang-tulangnya yang serasa mau patah. Ia lalu berdiri, memutuskan untuk keluar kamar dan mencari udara segar. Pintu rumah masih ditutup. Robert tampak masih menikmati mimpi indahnya di atas sofa, pria itu bahkan mendengkur dengan cukup keras. Alexa tidak ingin mengganggu pamannya itu. Ia mendekat ke pintu dan menemukan rumah dalam keadaan tidak dikunci. Pamannya memang sembrono.
Gadis itu melangkah ke luar. Udara dingin dan sejuk langsung menerpa wajahnya, menerbangkan rambutnya. Alexa menarik napas dalam. Terasa begitu tenang, seakan sudah lama paru-parunya tak terisi udara segar. Suasana di desa pada pagi hari tampak cukup tenang. Tak terlihat tanda-tanda adanya kehidupan yang serba padat seperti di kota. Alexa berjalan menyusuri setapak jalan, membuka pagar rumah dan mulai menyebar pandangan ke sekeliling jalan besar di kanan dan kirinya.
Semalam karena terlalu gelap Alexa tidak dapat melihat apapun, tetapi kini ia baru sadar kalau di depan rumah Robert hanya ada hutan. Pohon-pohon tinggi menjulang, batang-batang mereka berdayun saling melintang. Hutan itu tidak terlalu rimbun walau Alexa menduga kalau malam pemandangannya pasti seram. Daun-daun kering berguguran dari dahan, diterpa angin ringan.
Alexa menggosok kulit tangannya. Dingin. Pandangannya mengitari sekeliling, rumah penduduk di sana tak saling berhimpitan beberapa di antaranya hanya dipisahkan oleh ladang dan pekarangan. Dan rumah mereka tampak sepi seperti kosong tak berpenghuni. Mendadak Alexa merasakan angin melewati tengkuknya. Ia mengernyit. Rasanya udara semakin tidak biasa. Dan Alexa mulai merasa aneh, seperti ada yang sedang mengawasainya. Alexa mengedarkan pandangan kembali. Kali ini pada area hutan yang ada di hadapannya.
Semakin lama Alexa memandang semakin ngeri bayangan yang berputar di otaknya. Membayangkan ada binatang buas, monyet liar, bahkan mahkluk serupa hantu muncul dari balik batang-batang pohon membuat bulu kuduknya berdiri. Alexa memutuskan untuk berjalan kembali ke rumah. Jangan sampai ia tidak betah padahal baru sehari sampai di sana.
Siang hari ketika Robert sibuk dengan pekerjaan membereskan lantai atas, ia meminta agar Alexa membersihkan dapur dan ruang depan. Sebagai seseorang yang ikut menumpang di rumah itu Alexa menurut. Walau sejujurnya ia bahkan tak pernah mengerjakan pekerjaan rumah. Dulu, kedua orang tuanya selalu memanjakannya, memberikannya semua hal yang Alexa mau. Bahkan, di malam itu ketika mustahil bagi mereka menembus hujan badai yang tiba-tiba menyerang kota, orang tua Alexa berusaha mengabulkan permintaan putrinya. Dan naas Tuhan marah atas keegoisan Alexa sehingga memanggil mereka untuk meninggalkan Alexa.
Mengingat semua kejadian itu lagi membuat hati Alexa perih, seakan ada sembilu sengaja tertancap di sana. Air menumpuk di pelupuk matanya, namun dengan segera ia seka. Alexa tidak ingin kelihatan cengeng. Ia sudah tujuh belas tahun. Dirinya harus tabah menjalani kehidupan ke depan agar orang tuanya pun tak mencemaskannya di surga sana.
Ketika Alexa masih sibuk menggosok noda di meja dapur, mendadak ada suara mesin mobil dari arah luar. Alexa menjenguk dari balik jendela tinggi yang ada di ruangan depan. Sebuah mobil tua dan seorang pria baru saja turun dari sana. Alexa melirik ke atas, mungkin orang itu adalah teman Robert, pamannya. Ia baru saja ingin memanggil Robert, tapi tepat sebelum mulutnya membuka pria itu menyapanya.
"Kau siapa?"
Alexa terkesiap. Pria yang berdiri di ambang pintu itu terlihat tua, lebih tua dari Robert. Tubuhnya tinggi. Ia tampak kurus. Pipinya cekung dan terdapat rambut-rambut putih di sekitar dagunya, tidak rapi.
"A-aku Alexa, keponakan Robert."
Pria itu tersenyum singkat. Sejenak tatapannya membuat Alexa tidak nyaman.
"Oh, gadis kota yang ditinggal kedua orang tuanya." pria itu berkata dengan tidak sopan.
Pipi Alexa memanas menahan amarah.
"Hoi! Jesper kau sudah ke sini?"
Robert turun dari lantai bawah. Pria itu tampak terkejut melihat Alexa sempat berbincang dengan tamunya.
"Rob, jadi dia…"
"Ya! Dia keponakanku." Robert lekas memotong sebelum Jesper sempat menuntaskan kalimatnya.
"Jadi, ada apa?"
Robert kini berdiri di samping Alexa. Pria itu tampak melirik Alexa dengan hati-hati seolah sedang menyembunyikan sesuatu. Sementara dari gelagatnya Jesper sepertinya diminta untuk ikut bekerja sama dengan Robert.
Lama Jesper tidak memberi jawaban. Robert beralih pada Alexa. Ia mengintip ke belakang dari balik bahu gadis itu. "Kau sudah membersihkan semuanya?" tanyanya bermaksud pada meja dapur yang tadi Alexa gosok.
"Sudah kuusahakan."
"Bagus. Meja itu memang sudah kotor sejak lama. Pasti sulit membuatnya bersih seperti semula. Kamarmu sudah siap di atas, kau bisa lihat ke sana. Barangkali ada yang masih kau butuhkan."
Alexa tahu, Robert hendak mengusirnya segera dari ruangan itu. Tapi, Alexa berpura-pura. Ia bertindak seperti gadis polos dan bodoh yang langsung menuruti perkataan Robert. Alexa menaruh alat gosok yang masih dipegangnya ke wastafel. Lalu, bergerak naik ke atas tangga tanpa menengok ke arah Robert dan Jesper lagi. Samar ia bisa mendengar deru napas lega dari pamannya. Sungguh konyol, pikir Alexa. Robert pikir ia senaif itu.
Di ujung tangga Alexa menghentikan langkahnya, ia menggeser tubuhnya hingga merapat ke dinding. Lalu, ia berjongkok dan merunduk, berusaha meletakan telinga sedekat mungkin ke lantai. Lantai itu terbuat dari kayu, maka tak akan meredam suara yang ada di lantai bawah. Samar-samar Alexa mendengar percakapan Robert dan Jesper. Semakin kedua pria itu berbicara bulu kuduk Alexa makin tegang.
"Jadi dia?" alis Jesper terangkat sebelah.
"Kau tutup saja mulutmu dan pulanglah. Jangan membuat masalah yang tidak perlu."
"Tapi kau ingat bukan? Nanti malam tenggatmu."
Robert mendengkus kesal. "Aku mengingat semuanya bodoh. Menurutmu untuk apa aku membawanya ke sini? Orang tuanya tak memberikan banyak manfaat untukku dan hanya peduli pada kebahagiaan mereka. Sekarang giliranku, akan kumanfaatkan anak gadisnya."