Setiap detik, setiap tarikan napas, bagai ada jarum yang menusuk kulit putihnya. Alexa meringkuk, di dalam kamar yang kata Robert baru disiapkan untuknya, gadis itu merenung. Ia memikirkan apa yang dibicarakan oleh Robert dan temannya di bawah beberapa saat yang lalu. Tentang dirinya dan orang tuanya. Alexa bukannya tak menyadari ada yang ganjil dari pamannya itu sejak ia memutuskan membawa Alexa ke desa. Tapi, Alexa tidak pernah terpikir bahwa Robert memiliki masalah atau dendam pada keluarganya.
Diam-diam, tanpa sadar Alexa menggigit bibir. Tidak ada lagi yang dapat ia pikirkan di otaknya. Semua seperti buntu. Alexa ingin mengerti apa yang sedang Robert rencanakan. Dan berbicara soal rencananya, Jesper mengatakan tenggatnya malam ini. Artinya Alexa tak memiliki banyak waktu. Jika memang pamannya berniat buruk maka ia harus segera kabur dari sana. Sekarang atau tidak selamanya.
"Alex."
Alexa berjingkat. Bulu di tengkuknya kontan berdiri. Robert muncul dari balik pintu yang sengaja tak ditutup rapat. Pria itu memandang Alexa dengan penasaran. Seolah mengerti ada sesuatu yang sedang bergelut di pikiran gadis itu.
"Kau sedang apa?" tanya Robert.
Alexa menelan ludah, susah payah. Ia tidak boleh terlihat gugup di depan pamannya.
"Aku? hanya duduk saja."
Robert mengernyit. Jantung Alexa berdebar. Ekspresi Robert datar. Matanya yang besar menatap dengan tajam seakan sedang membaca gelagat Alexa.
"Jika tidak ada yang kau lakukan di sini bisa bantu aku di ladang? Malam ini ada beberapa barang yang harus kuantar."
Alexa mendongak. Sialnya ia tak bisa menahan mimik kaget di wajahnya. "Malam ini?"
Robert menaikan satu alisnya. "Ya, ada masalah? Apa kau takut sendirian di rumah?"
Alexa terdiam. Oh, apakah ini artinya Robert akan pergi sendiri? batinnya bertanya-tanya. Kalau Robert pergi sendiri artinya ia bisa memulai rencana kaburnya malam ini juga.
"Tidak, aku sudah biasa sendiri di rumah," jawab Alexa berusaha terdengar santai.
"Oh, baguslah. Sekarang turun dan bantu aku." Robert langsung meninggalkan kamar dan Alexa untuk turun ke bawah.
Sementara itu Alexa mulai menyusun skema tak terlihat dalam pikirannya. Malam ini ia harus ke mana?
***
Malam terasa kian dingin sejak hujan mendadak turun tepat sebelum matahari menghilang dari langit. Alexa baru saja selesai makan malam bersama Robert. Gadis itu sekarang sedang mencuci peralatan makan mereka. Sementara pamannya tampak asik menikmati acara tv yang sejak tadi membuatnya tertawa begitu keras. Alexa tidak mengerti mengapa pamannya tidak segera pergi seperti yang ia katakan tadi siang. Mungkin karena hujan yang belum juga reda, ataukah mungkin ada pergantian rencana kembali?
Selesai dengan tugas mencuci piring, Alexa lalu mengelap bekas tangan yang basah dengan kain yang tersampir di meja. Ia melirik ke arah Robert, belum ada tanda-tanda pria itu mau bergerak dari sofa. Sejenak Alexa memandang ke arah luar, melalui jendela, ia melihat rintikan air terus turun. Sesekali kilat menyala. Ia dapat dengan jelas melihat hutan di depan. Yang seratus kali lipat menyeramkan dari apa yang bisa ia bayangkan. Lama Alexa terdiam, seakan tersihir oleh magisnya hutan itu. Hingga matanya menangkap dalam kecepatan kilat yang tak sampai satu detik. Satu sosok berdiri.
Segera saja Alexa termundur, seolah baru menyaksikan hantu. Ataukah memang ia baru saja melihat hantu. Alexa tidak tahu. Yang pasti sekarang ini jantungnya berdebar. Napasnya memburu. Serasa ia habis lari dari sesuatu. Matanya mengerjap beberapa kali, memastikan yang baru saja dilihatnya hanya sebuah ilusi. Tapi, ia tidak bisa memastikannya. Tidak ada lagi cahaya. Alexa berusaha untuk meneguhkan hati. Tidak, malam ini, pikirnya. Hantu atau apapun itu ia tidak boleh takut. Yang pasti Alexa semakin ingin pergi dari tempat itu segera.
Alexa bergerak cepat menuju kamarnya. Tubuhnya gemetar tapi tak ada waktu untuk menenangkan diri. Ia mengambil tas yang masih belum ia keluarkan isinya dari lemari. Kemudian menaruh benda itu di belakang pintu sebagai persiapan. Jika Robert sudah keluar rumah, maka ia juga bisa langsung pergi dari tempat itu.
Belum sempat Alexa mempersiapkan segalanya pintu kamarnya terbuka dengan suara hentakan yang keras. Robert berdiri di depan sana memandang Alexa dengan tatapan tajam. Mata pria itu seakan mau lompat dari tempatnya. Ia tersungging membuat badan Alexa menegang seketika.
"Kau mau ke mana?" tanya Robert sambil melirik tas yang dibawa Alexa.
"A-aku?" Alexa tergagap. Jemarinya meremas pegangan tas dengan kuat. Keringat dingin jatuh dari dahinya turun ke dagu. "A-aku hanya…"
"Mau kabur?"
Senyuman di wajah Robert kian lebar. Tapi terlihat menyeramkan. Pria itu seperti tokoh joker yang pernah Alexa tonton di bioskop. Ia berjalan mendekati Alexa. Tubuhnya yang besar membuat membuat langkah kakinya berdebum keras di lantai. Bunyinya terus berdengung di telinga Alexa menjadi semacam pertanda. Perlahan Alexa mundur ke belakang, gemetar.
Robert menarik lengan Alexa dengan keras, cengkramannya membuat gadis itu menjerit kesakitan.
"Le-lepaskan aku! sakit! Lepaskan aku."
Robert terus menarik Alexa, tapi Alexa tak mau kalah untuk mempertahankan diri. Meski tahu kekuatannya akan kalah banyak dibanding pamannya, Alexa berusaha melepaskan diri dari Robert. Ia mencakar lengan pria itu, lalu memukul-mukulnya agar mau melepaskan cengkramannya. Tapi, hal itu pun tidak serta merta membuat usahanya berhasil bagaimana pun Robert pria berbadan besar yang kuat. Dengan sekali sentakan tubuh Alexa tertarik ke depan. Ia diseret seperti binatang.
Tubuh Alexa berdebum jatuh ketika Robert memaksanya menuruni tangga. Pinggulnya terasa sakit dan Alexa mengerang keras, tetapi Robert enggan peduli. Tangan Alexa berusaha menggapai pegangan tangga, mencoba untuk menahan bobot tubuhnya di sana. Robert tidak tinggal diam, dengan cepat ia memegang kedua bahu Alexa dan menariknya hingga gadis itu terjungkal ke belakang. Tubuh Alexa roboh, berguling-guling menuruni anak tangga. Kepalanya terbentur ujung anak tangga dan darah segar mengalir dari pelipisnya. Alexa tidak dapat lagi bergerak, tulang-tulangnya terasa amat sangat sakit. Ia pusing, mual, dan tidak lagi memiliki energi. Pandangan Alexa mengabur. Samar-samar ia hanya bisa melihat wajah pamannya yang tersenyum puas, lalu ia hilang kesadaran.
***
Dengung yang mengganggu terus terdengar di telinga seolah ingin memecahkannya. Alexa merasa pusing luar biasa. Ia lemas. Yang bisa ia rasakan kini hanyalah tubuhnya yang terus berguncang, naik dan turun, serta udara dingin yang menyergap kulit. Alexa ingin membuka kedua matanya, tetapi terasa begitu berat.
Perlahan Alexa bisa merasakan bahwa dirinya kini sedang berada di mobil Robert. Kendaraan itu dipacu begitu cepat melintasi jalanan bebatuan, maka dari itu tak heran kalau sedari tadi ia merasa tubuhnya berguncang. Alexa berusaha untuk membuka matanya dan melihat ke depan. Ia ingin tahu pamannya akan membawa dirinya ke mana. Namun,ketika ia sempat membuka mata yang ada di depan hanyalah kegelapan yang jauh, seakan mereka sedang menuju lorong panjang.
Samar Alexa mendengar Robert bergumam. "Sekarang aku akan memanfaatkanmu. Dasar gadis bodoh sialan!"
Gadis itu menelan ludah. Percuma kalau ia berusaha untuk bergerak sekarang yang ada Robert hanya akan menyerangnya kembali. Alexa berpikir bahwa dirinya harus mengumpulkan tenaga sebisa mungkin sekarang, dan bila saatnya tiba nanti mobil mereka berhenti. Alexa akan kabur dengan sekuat tenaga begitu ada kesempatan.
Setelah beberapa saat mobil akhirnya berhenti, Alexa dapat merasakan tubuhnya tidak lagi diguncangkan oleh jalanan. Mesin yang sedari tadi menderu pun kini terdiam. Yang tersisa hanya kesenyapan malam, disusul suara jangkrik mengerik bersaut-sautan.
Alexa sudah tidak sepusing tadi, darah di pelipis yang mengalir ke pipinya pun telah mengering. Namun, demi melancarkan siasat kaburnya Alexa memilih untuk tetap menutup mata. Robert memapah tubuh Alexa menuruni mobil. Dalam dekapan Robert, Alexa membuka sedikit matanya agar bisa melihat di mana mereka sekarang berada. Alexa melihat tanah yang basah. Lalu, ia pun mendongak sedikit, nampak sebuah pagar besi yang besar dan tinggi. Tidak seperti yang ada di rumah pamannya, pagar itu kelihatan diikat dengan kuat menggunakan rantai yang tebal dan besar. Alexa mendengar pamannya meneriakan nama seseorang ketika mereka berdiri di depan sana. Tak lama seseorang pun datang dan membuka pagar, lalu membiarkan meraka masuk.
Begitu Alexa dan Robert masuk kawasan tempat tersebut, suasana menjadi lain. Alexa merasa udara di sana terasa lebih dingin. Angin seolah mengalun tepat di samping telinganya, memberi peringatan. Ia mencoba membukan mata lebih lebar lagi, untuk melihat bangunan di depannya. Sebuah bangunan besar yang aneh. Memiliki empat pilar besar yang kokoh. Lantainya berbahan dasar marmer mengilat. Alexa seperti sedang melihat bangunan tua yang lama ditinggalkan, memiliki kesan mistis dan magis. Sejenak ia teringat pada kastil-kastil lama yang sering diubah menjadi gereja.
Sebuah pintu yang sangat lebar terbuka ketika Alexa dan Robert menginjakan kaki di tempat itu.
Robert bergumam, "Cih! Mereka menyambut kita?"
Sambil terus dipapah dan mengikuti langkah kaki Robert, Alexa memerhatikan sekelilingnya. Tidak ada siapa pun di sana. Tempat itu begitu sunyi dan sepi. Lampu-lampu kaca yang menerangi ruangan terasa menyilaukan. Keselurahan bangunan terbuat dari dinding yang mengilat, Alexa bahkan merasa dapat melihat pantulan dirinya sendiri.
Lama mereka berjalan, langkah kaki Robert akhirnya berhenti. Tepat di depan mereka Alexa melihat sebuah tirai merah yang amat lebar menutup ke sekeliling, menyembunyikan sesuatu di belakangnya. Robert yang sedari tadi memapah, tiba-tiba melemparkan tubuh Alexa ke depan. Gadis itu terjerembap. Kepalanya nyaris mengenai lantai, beruntung tanganya masih mampu menahan.
"Aku membawakan apa yang kau minta. Seperti biasa sekarang mana bayaranku?"
Mendengar ucapan pamannya, Alexa gemetar. Ia mendongak, tidak ada sesuatu pun yang keluar dari dalam tirai itu. Bahkan bergerak pun tidak. Namun, entah bagaimana tubuh Alexa justru makin menegang. Respon tubuhnya seolah memberi tanda bahwa ada sesuatu yang buruk tengah mengintainya, seperti insting peringatan dari mangsa.
TIba-tiba saja sebuah kantong terlempar dari balik tirai, begitu cepat. Seketika Robert mengambil apa yang dianggap sebagai bayarannya itu, lalu bergerak pergi. Alexa menjegal langkah kaki Robert dengan memegangi kaki pria itu. Ia mengerang dan memohon.
"Jangan pergi paman! Jangan tinggalkan aku, ku mohon!"
Robert mencoba untuk melepas pegangan Alexa, lalu mendorong gadis itu lagi ke belakang. Namun, Alexa enggan putus asa, ia terus saja menarik-narik ujung sepatu pamannya. Tak lama datang segerombolan pria misterius. Alexa menoleh kanan dan kiri. Semua pria itu mengenakan topeng. Alexa makin menjerit tak terkendali. Kedua tangannya dicekal dan ditali ke belakang punggung. Robert hanya tersenyum puas melihat keponakannya diperlakukan begitu, lalu dengan tawa keras ia meninggalkan Alexa dibawa oleh pria-pria itu ke dalam dan menghilang di balik tirai merah.