"Revan saat ini sudah melalui masa kritisnya, meskipun belum sadarkan diri. Perjalanan masih dapat dilakukan dengan beberapa hal yang harus diperhatikan. Seperti kenyamanan selama perjalanan untuk pasien dan orang yang memastikan asupan, seperti infus agar tak terlepas." Dokter Farhan menjeda ucapannya, dan menarik napas dalam.
Pak Andi dan Bu Alin mengangguk-angguk, mereka memahami maksud dokter yang terus mewanti-wanti. Semua perkataannya soal keamanan dan kenyamanan selama perjalanan demi keselamatan pasien.
Setelah beberapa lama berbicara, Dokter Farhan pun mengakhiri pembicaraannya dengan menanyakan kembali soal semua persiapan. Setelah semua persiapan matang dan baik, Dokter Farhan mempersilakan Pak Andi dan Bu Regina keluar.
"Terima kasih banyak, Pak, atas penjelasannya," ucap Pak Andi sebelum bangkit dari kursinya.
"Oh, iya, kiranya suster siapa yang akan kalian bawa ke dalam pesawat nanti?" tanya Dokter Farhan, ia lupa menanyakan hal ini sebelumnya.
"Loh, kami pikir akan dipilih oleh pihak rumah sakit," jawab Pak Andi yang kebingungan dengan pertanyaan dokter di hadapannya itu.
"Tidaklah, agar kalian nyaman mungkin bisa dipilih yang penangananya cocok dan pas menurut kalian," ujar Dokter Farhan santai.
"Duh, siapa ya, bagaimana dengan Suster Mita?" tanya Bu Regina yang sering mendapati suster itu ke ruang rawat untuk menangani Revan.
Hanya nama itu yang dia ingat, lagipula menurutnya siapapun susternya asal berkompeten dalam bidang perawatan pasti bisa diandalkan selama perjalanan.
"Oh, itu, kebetulan Suster Mita sedang dikirim untuk seminar di kota lain kemarin. Bagaimana kalau Suster Selina, ia baru hari ini kembali dari tugas." Dokter Farhan menawarkan.
Suster muda bernama Selina itu merupakan gadis cantik yang sangat cerdas dan berkompeten. Dokter tersebut kemudian menelepon Suster Selina untuk ke ruangannya.
Sekitar beberapa menit menunggu, ada suara ketukan pintu di ruangan itu. Dokter Farhan mempersilakannya masuk.
Seorang gadis muda berpakaian serba putih memasuki ruangan. Ia berjalan dengan anggun dan senyum mengembang. Wajahnya cantik pun dengan tubuhnya yang proporsional. Rambutnya digelung khas seperti suster-suster pada umumnya.
Sesampainya di hadapan Dokter Farhan ia mengangguk pelan. Sebagai tanda menghormati.
"Siang, Dok, saya dipanggil ke sini?" tanya Suster Selina mengalun, bagai hembusan angin yang membelai telinga dengan lembut.
"Iya, Selin, kenalkan ini Pak Andi dan Bu Regina mereka orang tua dari pasien bernama Revan," jawab Dokter Farhan, sembari memperkenalkan dua orang yang duduk di hadapannya.
"Saya Selina." Suster Selina memperkenalkan diri.
Pak Andi dan Bu Regina mengangguk sambil tersenyum.
"Mereka akan membawa Revan ke Singapura untuk perawatan lebih lanjut. Nah, karena Suster Mita yang biasa menanganinya sedang mengikuti acara di luar kota. Saya harap Anda bisa menggantikannya," tutur Dokter Farhan menjelaskan maksudnya memanggil Suster Selina.
"Oh, begitu. Baik, saya siap, Dok." Suster Selina menjawab dengan mantap.
Meski lembut ada ketegasan dalam nada suaranya. Pak Andi dan Bu Regina lega, sudah ada yang bersedia menemani mereka dalam perjalanan.
"Suster Selina ini sudah berpengalaman, jadi saya rasa sudah cukup untuk menemani dan mengawasi anak kalian dalam perjalanan," tandas Dokter Farhan sambil tersenyum bangga dengan pilihannya.
"Kami percayakan semuanya pada Dokter." Pak Andi sudah tak perlu berkomentar lagi, ia percaya pilihan Dokter Farhan tak akan salah.
Bu Regina menatap suster muda itu, kemudian kembali menatap dokter di hadapannya.
'Rasanya saya tak asing dengan nama Selina,' lirih Bu Regina dalam hati.
"Kalau begitu semuanya telah beres dan selesai." Dokter Farhan menutup percakapan mereka yang berlangsung cukup lama.
"Kami keluar dulu, Dok." Pak Andi bangkit disusul dengan Bu Regina.
Mereka menyalami tangan dokter paruh baya itu kemudian melenggang pergi ke luar ruangan. Pun dengan Suster Selina yang juga keluar ruangan. Masih ada tugas yang harus diselesaikannya.
Fira baru saja selesai mengerjakan semua tugas kantornya. Ia mengerjakannya di atas kasur sembari menikmati kentang goreng dan minuman. Tersedia di atas nakas, samping tempat tidur besar itu.
Hari sudah gelap, gorden kamarnya belum ia tutup saking asiknya mengerjakan tugas. Ia mengalihkan perhatiannya agar tak kepikiran soal Revan.
Nyatanya bayangan Revan masih menghantuinya. Ia sangat khawatir dengan keadaan kekasihnya itu.
"Ya ampun, bagaimana keadaan Revan?" Fira bicara lirih, seakan bertanya pada diri sendiri.
Meskipun nyatanya ia tak akan mampu menjawab pertanyaan itu.
Sementara itu sejak sore, keadaan Pak Ferdi dan Bu Alin sudah mulai membaik. Setelah mereka berdiam diri dan menenangkan pikiran masing-masing. Pak Ferdi meminta maaf dan berjanji akan selalu berusaha menjadi yang terbaik untuk istri tercintanya.
"Ma, terima kasih untuk selama 27 tahun berada di sisi Papa, ya," ucap Pak Ferdi yang kini sedang duduk di sofa ruang tengah.
Ia sedang menikmati tayangan televisi sambil merangkul pundak istrinya. Bu Alin tersenyum mengembang, meski mereka diancam tidak akan mendapat saham di perusahaan induk. Rasanya, tak masalah, malah Bu Alin lega dengan kepergian mertua dan adik iparnya tadi.
"Mama, senang sekali dengan sikap Papa yang sekarang. Berani mengambil sikap dan tegas pada mereka," ujar Bu Alin pelan sembari tersenyum simpul.
Selesai mengerjakan tugas dan menghabiskan cemilannya, Fira bangkit dari tempat duduknya. Ia membawa piring kotor juga gelas yang digunakannya tadi.
Meski terlahir dari keluarga kaya, ia terbiasa mengerjakan hal-hal sederhana seperti itu. Mengembalikan barang pada tempatnya dan membawa piring kotor bekas makan ke bak cuci piring.
Ia berjalan keluar kamar, menuruni tangga sambil membawa piring dan gelas besar di kedua tangannya. Di atas tangga ia melihat kedua orang tuanya yang terlihat akur dan tersenyum bahagia.
Spontan Fira juga tersenyum melihat keharmonisan orang tuanya. Ia selalu merasa beruntung menjadi anak mereka, meskipun memiliki nenek dan tante yang kurang akur dengan ibunya.
Semuanya selalu ia syukuri, mulai dari orang tua yang perhatian, ibu yang lembut, ayah yang tegas tapi baik. Membuat hidupnya begitu berharga.
'Ketika banyak orang yang menginginkan hidup seperti orang lain, aku merasa hidupku sudah cukup beruntung,' gumam Fira dalam hati.
Ia kemudian menuruni tangga. Melewati kedua orang tuanya yang duduk di sofa.
"Mau kemana, Nak?" tanya Bu Alin lembut, aura bahagianya terpancar.
"Ini, mengembalikan piring ke dapur, Ma," jawab Fira sambil terus berjalan ke dapur.
Sesampainya di dapur ia tak menemukan siapapun. Kemudian, menyimpan piring dan gelas kotor itu di tempat cuci piring.
'Mama sama Papa, mood-nya lagi bagus. Apa aku tanyakan sekarang aja, ya, soal masalah antara Mama dan Tante Regina,' gumam Fira dalam hati.
Ia kemudian berjalan ke ruang tengah dan bergabung duduk dengan kedua orang tuanya.
"Mama, Papa ...," ucap Fira sambil ikut duduk di antara mereka.
Bu Alin dan Pak Ferdi tak keberatan dan memeluk putri mereka itu sekilas.