"Mama, Papa ...," ucap Fira sambil ikut duduk di antara mereka.
Bu Alin dan Pak Ferdi tak keberatan dan memeluk putri mereka itu sekilas. Sedetik kemudian, kembali fokus ke tayangan televisi. Ada serial yang menyajikan humor dan dibintangi oleh pelawak terkenal di negeri ini.
Seketika Fira merasa ragu untuk menyampaikan pertanyaannya. Apalagi soal dendam, ia takut merusak suasana hati kedua orang tuanya yang baru saja lega dengan kepergian nenek dan tantenya.
Ia menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Menahan hatinya yang ingin sekali bertanya. Sekuat mungkin ia tak membahas soal Revan ataupun Tante Regina sekarang. Bisa-bisa ibunya kembali muram seperti mendung yang selalu terlihat kelabu.
Terdengar tawa renyah dari Pak Ferdi yang mentertawakan aktor yang sedang berperan di televisi. Bu Alin dan Fira sontak menengok dan ikut tersenyum, ikut senang melihat kepala rumah tangga itu tertawa.
Bukankah memang sebuah rumah tangga memang harusnya seperti itu, saling melengkapi. Ikut senang ketika yang lainnya senang, pun ikut bersedih ketika yang lainnya sedih.
"Papa, seneng banget liat si Sulai," ucap Fira sambil menatap ayahnya yang seperti terpana dengan aktor itu.
"Itu, lucu banget dan herannya dia bisa ngelawak senatural itu. Kayak ngalir aja," jawab Pak Ferdi yang matanya masih tertuju pada layar televisi.
"Papa kamu memang dari dulu sukanya begini, nonton yang lucu biar enggak stres katanya," ucap Bu Alin menimpali percakapan anak dan ayah di hadapannya.
Fira hanya menganggukkan kepala, memang dari dulu ayahnya senang sekali nonton acara seperti itu. Apalagi sejak kemunculan sosok Sukai di panggung hiburan. Meski begitu di dunia nyata Pak Ferdi tak seluwes itu, ia kadang sangat tegas. Hanya saja dulu masih disetir oleh ibunya.
Fira menemani kedua orang tuanya, duduk menikmati malam yang telah lama tak mereka rasakan. Sampai tak terasa waktu telah menunjukan pukul setengah sepuluh malam.
"Cepat istirahat, besok kita mulai hari yang lebih baik," ucap Pak Ferdi semringah.
Sepertinya hari esok benar-benar akan menjadi hari yang lebih baik baginya dan istrinya.
"Siap, Komandan," ujar Fira dengan nada bercanda dan tangan yang ditempelkan ke kepala membentuk sikap hormat.
Pak Ferdi tersenyum, tangannya mengacak rambut anak gadisnya. Sedewasa apapun seorang anak gadis ia tetap bidadari kecil bagi kedua orang tuanya. Begitupun yang dirasakan Pak Ferdi dan Bu Alin pada anak gadisnya yang sebenarnya sudah sangat dewasa.
Mereka melangkah memasuki kamar masing-masing. Fira menaiki tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Dulu, ia sendiri yang memilih kamar ini untuk ditempati. Selain karena letaknya yang berada di lantai dua. Dari balkon kamarnya terlihat pemandangan hijau yang terhampar. Lapangan golf yang sering disewa oleh para elit, sebagai olah raga yang memerlukan fokus tinggi.
Fira menghempaskan diri di tempat tidur berukuran king size itu. Menutup dirinya dengan selimut bed cover yang tadinya terlipat rapi di tempat tidur itu. Menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih polos. Sementara dindingnya berwarna pink. Warna kesukaannya, meskipun diluar ia tak pernah terlihat feminim malah lebih terkesan tegas dan tak punya hati.
Karakter itulah yang membuat perusahaan papanya lebih maju di tangannya. Ia mengambil ponselnya yang tadi di-charge di atas nakas. Memainkannya, membuka galeri yang ada di sana.
Ada banyak foto tentang kehidupannya. Mulai dari foto keluarga sampai fotonya bersama kekasihnya. Ia menatap fotonya bersama Revan. Berada di taman kota yang nampak asri dan hijau. Mereka tampak tersenyum ke hadapan kamera.
Ditilik sekilas pun wajah mereka memang mirip. Mulai dari mata, hidung sampai bentuk bibir. Hanya saja rahang Revan terlihat lebih tegas layaknya lelaki lainnya. Bahkan banyak yang memuji kemiripan mereka yang membuat terlihat sangat serasi, juga ada mengatakan mereka adik-kakak jika tak kenal.
Tanpa banyak bicara, mereka hanya berharap tanda kemiripan itu merupakan ciri bahwa mereka adalah jodoh.
Entah pukul berapa akhirnya Fira tertidur. Ponsel yang semalaman ditatapnya karena melihat foto masih berada dipelukannya.
Pagi ini Bu Regina, Pak Andi dan seorang suster tengah bersiap untuk pergi ke bandara. Suster Selina tak berpakaian serba putih seperti biasanya, ia mengenakan pakaian biasa untuk bepergian. Tapi, tetap mengutamakan kesopanan. Rambut sepunggungnya pun diikat ke belakang.
Dibantu oleh beberapa perawat mereka membawa Revan ke ambulan. Tentunya agar bisa cepat sampai di bandara. Sementara yang lainnya mengikuti dari belakang dengan menggunakan mobil pribadi.
Perjalanan dari rumah sakit menuju ke bandara tak memakan waktu lama. Apalagi dengan dipimpin oleh ambulan yang lebih leluasa di jalanan. Tanpa menunggu panggilan dan sebagainya mereka memasuki pesawat yang telah ditentukan.
Berada dalam pesawat dengan membawa orang sakit. Perasaan mereka tak dapat dibohongi, ada rasa khawatir terjadi apa-apa pada Revan. Tapi, dokter telah memastikan kalau anak mereka itu bisa melakukan perjalanan ini. Ditambah dengan pendampingan suster yang berpengalaman.
Bu Regina dan Pak Andi duduk tak jauh dari tempat Revan dibaringkan. Sementara Suster Selina berada di dekatnya sambil memantau keadaan. Takut terjadi keadaan darurat.
Ada dua orang pramugari dan dua pilot yang membersamai mereka dalam perjalanan itu. Pramugari itu menyuruh mereka memasang sabuk pengaman. Tak lama setelah itu, pesawat lepas landas menuju tujuan.
Perjalanan selama dua jam itu, cukup membuat hati mereka was-was dengan keadaan Revan. Tapi, untungnya tak ada hal mengkhawatirkan yang terjadi. Hanya sesekali Suster Selina membenarkan selang infus yang sedikit bergeser.
Mereka akhirnya sampai di bandara tujuan, di negeri tetangga yang terkenal dengan patung Merlion-nya. Mereka turun dari pesawat dengan disambut para perawat yang membawa brankar untuk Revan. Ya, rumah sakit tujuan telah dihubungi dan diminta menyiapkan untuk keperluan kedatangan pasien.
Mereka langsung ke rumah sakit dengan menggunakan ambulan dan mobil pribadi yang sudah disewa sebelumnya. Bu Regina menarik napas lega karena telah hampir sampai di tujuan. Di sebelahnya ada Suster Selina yang juga telah lega.
"Sus, terima kasih banyak, ya, sudah menjaga Revan dengan baik," ucap Bu Regina tulus sambil memegang tangan suster itu.
Entah mengapa hatinya terasa dekat dengan suster muda itu.
"Sama-sama, Tante, sudah kewajiban saya," jawab Suster Selina disertai senyuman.
Suster Selina pun merasa tak asing dengan keluarga ini. Tapi, siapa dan di mana mereka bertemu rasanya ia lupa. Untuk bertanya rasanya waktunya belum pas. Masih sangat tegang dengan perjalanan tadi.
Suasana mobil setelah itu hening. Tak ada lagi percakapan antara mereka. Pun dengan Suster Selina yang masih sibuk dengan pikirannya. Soal siapa mereka dan di mana bertemu.
Setelah beberapa waktu, mereka akhirnya sampai di Rumah Sakit Changi, Singapura. Rumah sakit yang berada di ibu kota dan sudah tersohor ke seantero negeri nama baiknya.