Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 82 - Apa yang harus dipertahankan?

Chapter 82 - Apa yang harus dipertahankan?

Meskipun aku bukan penggemar mall dan kafe, namun ketika ruang gerak kita dibatasi oleh aturan bepergian lantaran pandemic Covid-19, rasanya aku mengalami siksaan karena tidak lagi bisa keluar rumah. Ruang gerak kami hanya di halaman depan, halaman belakang, ruang tamu, ruang makan, kamar tidur, dapur, ruang perpustakaan keluarga dan beranda samping. Kami tinggal bertiga karena Mimi pembantu ibu sudah pulang kampung sejak Covid semakin menyebar di kota kami.

Setiap selesai makan pagi, aku dan Faustine memanfaatkan meja makan untuk bekerja, sedangkan ibu memakai meja kerja di sudut ruang. Kami masing-masing sibuk sendiri tetapi sesekali bercakap-cakap.

Kebiasaan ibu adalah menghidupkan televisi untuk mendengar berita sekalipun dia tidak menontonnya. Berbeda dengan Faustine, generazi Z yang sepertinya cuek tidak mendengar berita dari televisi atau radio, tetapi tetap up date karena dia memantau berita dari gadgetnya.

Aku sedang mengedit buku masakan karya seorang chef muda usia yang senang bereksplorasi dengan berbagai bahan makanan. Perhatianku jadi teralihkan ketika mengedit bagian membuat salad ketimun. Belum selesai kukerjakan bab tersebut aku sudah berlari ke dapur, mencari ketimun, udang, bawang putih, jahe, daun bawang, cabe jeruk nipis, seledri. Aku mengupas ketimun, menyingkirkan bagian isi dan memotongnya panjang dan tipis seperti batang lidi. Aku mengambil udang rebus dari feezer dan mencairkan esnya.

Setelah itu kuhaluskan bawang dan jahe, cabe dan seledri, daun bawang kupotong halus, kutambahkan air jeruk nipis, garam, lada, kecap asin dan minyak wijen dan kuaduk hingga tercampur. Saus tersebut kusiramkan pada irisan ketimun dan udang rebus, kuaduk rata dan kutaburkan wijen panggang. Hmmm aroma jeruk, kecap asin, potongan cabe dan minyak wijen menjadi paduan yang membangkitkan selera. Gurihdan segar.

Kusimpan salad ketimun ke dalam kulkas untuk kami nikmati saat makan siang nanti.

"Kak, hp-mu sibuk sekali, sepertinya banyak pesan yang masuk," kata Faustine ketika aku kembali duduk di seberangnya, setelah menyeduh teh.

"Oh… terima kasih." kataku sambil menghirup teha dan meraih telepon.

Kulihat ada beberapa pesan dari Kenny.

"Hai Laura, virus ini membuatku stress, tidak bisa segera bertemu denganmu."

"Laura, I want you now… aku memikirkanmu terus."

"Balas aku Laura."

"Aku ingin menciummu."

Aku menahan nafas membaca semua pesan tersebut. Kenny pasti sedang sangat ingin bersamaku, tetapi mana mungkin? Apa yang akan terjadi bila aku tidak berada di dekatnya?

Bayangan Ketty yang muncul membuatku cemberut.

Aku tidak ingin perempuan itu berada di dekat Kenny karena dalam keadaan seperti ini Kenny akan mudah jatuh ke dalam pelukannya.

Aku harus menelepon Adriana.

"Dri, bagaimana situasi di situ? Apakah orang bisa bepergian dengan mudah maksudku tidak dibatasi seperti di ibukota?"

"Hai Laura, itulah untungnya kami di kota kecil. Aktivitas tidak banyak berubah, hanya saja kami wajib memakai masker. Apakah kamu sehat?"

"Sehat, Puji Tuhan. Hmmm aku hanya khawatir perempuan itu mendekati Kenny."

"Ya… sebenarnya Richard baru dapat informasi. Ini terkait masa lalu bagaimana Kenny sampai menikah dengan Marina. Kelemahan Kenny dimanfaatkan oleh perempuan-perempuan itu."

Dadaku berdegub lebih kencang mendengar penjelasan Adriana.

Aku berjalan ke patio karena khawatir ibu dan Faustine mendengar atau memahami percakapan kami.

"Bagaimana maksudmu? Tolong ulangi?" tanyaku.

"Marina dulu juga menjebak Kenny."

"Seburuk itu? Apa yang disembunyikan Kenny dari kita? Apa yang ditakutkannya sampai dia harus mengorbankan dirinya seperti itu?"

Aku hampir yakin bahwa persoalannya tidak lepas dari urusan tempat tidur. Kenny mungkin memiliki libido yang tinggi. Apakah perempuan-perempuan itu mengajaknya bercinta dan merekam saat-saat romantic bersamanya untuk memeras Kenny? Oh apa yang kupikirkan ini?

"Nanti aku minta Richard menjelaskan kepadamu. Dia sedang mengirim pesanan. Kami sekarang lebih banyak melayani pesan antar makanan." Kata Adriana.

"Baiklah. Sampai nanti."

Apa yang harus kulakukan?

Aku membaca berulang-ulang pesan dari Kenny, tampaknya bukan sekedar perasaan kesepian melainkan juga secara fisik dia ingin bersamaku. Atau dia ingin bersama perempuan tidak peduli siapa orangnya. Duh sedihnya.

"Hello Ken, I miss you too. Semoga kamu tetap sehat dan mari kita berharap situasi terus membaik agar kita bisa segera bersama-sama." Aku membalas pesannya.

"Kamu sedang apa, video call yuk, aku ingin melihat bertapa menariknya kamu. I want to feel you, to touch you…"

Kalimatnya membuatku berdebar-debar. Beginikah seorang pria menggoda kekasihnya?

"My love, aku sedang bekerja. Bagaimana denganmu? Aku ingin mendengarmu menyanyi." Aku berharap Kenny bisa mengendalikan dirinya.

"Tetapi aku sedang ingin yang lain, ayolah Laura, aku ingin melihatmu."

Kutekan tombol video dan aku melihat Kenny berbaring di sofa, telanjang dada seperti kebiasaannya.

Matanya yang hitam menatap bagai angin badai yang mengguncangku. Tatapan mata itu selalu membuatku lumpuh.

"Ken…" seruku. Aku memasang head set sehingga Faustine dan Ibu tidak bisa mendengar ucapan Kenny.

Tetapi Kenny tidak berbicara, dia hanya menatap dengan pandangan mesra.

"Hei…" seruku lagi.

"I miss you so bad." Dia bergumam.

"Ini aku di sini." Balasku.

"Terlalu jauh tidak bisa kusentuh, bahkan aku tidak bisa melihatmu."

"Hah… lihat baik-baik dong!??" aku merajuk.

"Hmmm maksudku… ah kamu tahu."

"Kenny… jangan membuat aku merasa tidak aman." Aku tertawa.

"Kamu menyiksaku. Aku ingin menyentuhmu." Katanya lagi. Dia terus menatap dan bibirnya terkatup.

Aku menarik nafas dalam dalam dan mengembuskannya.

"Jangan biarkan perempuan itu mendekatimu." Kataku tiba-tiba. Kenny memejamkan mata, bulu matanya yang indah, hitam dan lentik bergetar sedikit.

"Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa kamu tidak mau bercerita kepadaku? Atau kamu tidak percaya kepadaku Ken? Aku calon istrimu."

Kenny tidak segera menjawab tetapi aku terus menantinya.

"Pada saatnya aku akan cerita." Akhirnya dia mengucapkan kalimat itu. Pengulangan dari kata-kata sebelum ini.

"Ken, jangan biarkan dia mendekatimu. Please, aku minta."

"Hemmm"

"Bagaimana keadaan mama?"

"Semakin sehat."

"Syukurlah. Aku harus kerja lagi. Sudah ya?"

"Nanti jam berapa bisa ditelepon? VC lagi."

Aku mengatakan akan mengabarinya kembali nanti malam.

Kosentrasiku buyar, mataku hanya menatap huruf huruf di computer tanpa bisa melakukan editing. Menanti waktu makan siang terasa lebih lama karena aku hanya mengingat Kenny.

Pada saat makan siang, ibu dan Faustine menyukai salad timun yang tadi kubuat dan kami membahas beberapa resep yang akan kami usulkan untuk dibuat dalam buku selanjutnya.

"Tadi bicara dengan Kenny? Apa mereka baik-baik?" tanya ibu.

"Yup. Mama semakin sehat katanya." Jawabku sambil menunduk dan makan.

Faustine belum pernah bertemu dengan Kenny tetapi sudah pernah mendengar namanya.

"Kasih tahu Kak, mana fotonya? Cakep ya?" kata Faustine.

"Makan dulu." Jawabku sambil tertawa nyengir.

"Standar cakep kita mungkin beda, bagiku dia cakep tentu saja."

"Oh… 7 atau 9?" Faustine mengejar.

"delapan."

"Bagaimana dengan Eric?" tanya ibu tiba-tiba.

"Kita sedang ngomongin Kenny, kenapa tiba-tiba ke Eric ." kataku.

"Siapa Eric?" tanya Faustine sambil mencondongkan tubuhnya kepadaku.

Kami saling menatap, aku, Faustine dan ibu lalu tertawa bersama.

"Eric dia bukan siapa-siapa, hampir jadi kakak tiri sih, kalau ibu jadi menikah dengan ayahnya," aku balas menggoda ibu.

"Tampaknya cerita yang seru," Faustine berkomentar.

"Jadi Eric dapat enam atau Sembilan? Atau sama dengan Kenny?"

"9,9" jawab ibu.

"Wow… pilih dia saja Kak?"

"Otiiiin" aku melotot kepadanya.

"Ibu pikir Eric punya perasaan terhadapmu. Kamu boleh mempertimbangkan, bukan Cuma Kenny laki-laki di dunia."

Aku tidak menjawab kata-kata ibu tetapi merasa sedikit heran sebab selama ini ibu mendukung hubunganku dengan Kenny, bagaimana kemudian ibu malah menyebut nama laki-laki lain termasuk Hardy.

"Bu, Kenny sudah melamarku."

"Dulu dia juga melamarmu tetapi menikahi perempuan lain lalu setelah menjadi duda dia mencarimu dan sekarang dia berkhianat lagi." Kata Ibu.

"Ibu bilang akan membantu memulihkan hubungan kami?"

Ibu mengetuk kedua tangannya di atas meja dan mengembuskan nafas.

"Semula begitu, tetapi setelah ibu pikir lebih dalam, ibu rasa kamu harus membuat pertimbangan lain, lihat pria lain, kalian belum terikat secara hukum jadi jangan memaksakan hubungan."

Aku tidak menjawab ibu sebab dadaku terasa sesak bahkan tenggorokan terasa tersumbat sehingga aku sulit menelan makanan. Faustine mengerti situasinya, gadis itu menjadi diam dan focus pada makanannya.

Aku mulai bertanya-tanya apakah aku memang mencintai Kenny atau aku mempertahankan keadaan karena tidak ingin merasa dikalahkan oleh Ketty?

Mengenai Eric, meskipun aku menyukainya, aku sengaja menghindar darinya. Aku tidak ingin merana karena jatuh cinta pada pria yang sudah memiliki kekasih. Aku tidak ingin menjadi seperti Marina dan Ketty.

Malam itu aku masuk ke kamar Farina yang sekarang dipakai Faustine. Aku mengobrol dengannya di atas tempat tidur dan berpura-pura mengantuk. Aku mengirim pesan kepada Kenny dan mengatakan kepadanya bahwa aku sedang tidur sekamar dengan sepupuku. Pesan tersebut sangat jelas baginya. Aku tidak ingin diganggu dengan panggilan video oleh Ken yang akan memuaskan dirinya seperti kejadian ketika aku di rumah Tati di Hilversum.

"Otin, aku ngantuk sekali, sampai besok ya…" kataku sambil bangun terhuyung-huyung kembali ke kamarku.

Sesampainya di kamar tanganku harus kucegah untuk menghubungi Eric. Dorongan untuk mengirim pesan kepadanya begitu kuat, padahal aku ingin menjauhinya dan melupakan dia. Eric adalah orang asing yang beberapa saat singgah di hatiku.

Tetapi tiba-tiba pesan dari Eric masuk ke teleponku.

"Hello there, masih bangun? Aku ingin ngobrol."

Aku membaca pesan tersebut dan memikirkannya apakah aku berpura-pura tidak melihat pesan tersebut atau aku menjawab dan bersedia ngobrol dengannya. Bayangan Eric seperti yang muncul dalam mimpiku seperti nyata sekarang, bahkan suaranya dan bau tubuhnya seakan memenuhi ruanganku. Sungguh aneh, kenangan in begitu kuat sampai menjadi seperti nyata.

"Laura, ada yang ingin kutanyakan kepadamu."

Pesan kedua masuk.

"Hello Eric, aku sudah hampir tertidur… ini mata sungguh lengket…" balasku.

Eric menelepon, terpaksa aku menerimanya.

"Hi Eric." Kataku dengan suara serak menahan kantuk.

"Laura, maaf… sebentar saja. Apakah kamu baik-baik saja? Sehat?"

"Baik. Bagaimana dengan kamu?" aku balas bertanya.

"Not good. Ibuku masuk rumah sakit."

"Covid?" tanyaku cemas.

"Jatuh, pinggulnya retak. Masalahnya rumah sakit sedang penuh sesak pasien covid. Jadi agak repot sekarang. "

"Semoga ibumu lekas sembuh."

"Terima kasih. Maukah kamu berdoa untuk ibuku? Kamu rajin beribadah, Tuhan akan mendengar doamu. " Terdengar dia mengembuskan nafas berat.

"Haha… aku akan berdoa, tetapi apakah ibumu akan sembuh dan berkat doaku aku tidak tahu. " jujur kukatakan bahwa aku senang mendengar suara Eric sampai rasa ngantukku mulai hilang.

"Laura, kamu bicara seperti aku saja, yang tidak beriman." Eric tertawa. Suaranya terdengar seksi, lembut, deep voice dan relaks.

"Tadi mau tanya apa?"

"Besok saja, kamu sudah mengantuk kan? Aku senang sudah dengar suaramu. You are always on my mind."

Aku terdiam mendengar ucapannya yang terakhir. Kata-kata seperti itu biasanya diucapkan orang kepada kekasihnya. Kami tidak menjalin hubungan, jadi dia tentu menganggapku sebagai adik, meski orang tua kami gagal menikah.

"Thanks brother… ummm aku tidak boleh memanggilmu brother lagi ya?"

"aku suka kamu memanggilku apa saja. Sudah tidurlah. Aku sedang jaga malam juga."

***