Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 81 - Kemana Hatiku pergi?

Chapter 81 - Kemana Hatiku pergi?

Sejak kemarin kota ditinggal penghuninya. Kantor-kantor tutup, sekolah tutup, jalan raya senyap dan pedagang keliling tidak ada lagi yang lewat di depan rumah. Suasana senyap tidak terdengar suara kendaraan bermotor yang biasanya ramai, namun suara sirine ambulans yang meraung-raung nyaris tidak berhenti sepanjang hari. Mobil ambulans mengangkut pasien dari rumah ke rumah sakit atau fasilitas lain yang disediakan oleh pemerintah untuk merawat dan mengarantina pasien.

Berita kematian para pasien Covid-19 terus menerus terdengar lewat pemberitaan di media massa maupun kabar yang dikirim di media sosial.

"Mari kita berhemat, ibu yakin sebentar lagi bahan makanan akan susah dicari." kata ibu ketika membuka lemari persediaan makanan. Dia bersyukur karena mempunyai beberapa bahan makanan kering dan makanan dalam kemasan kaleng.

"Selama kita masih bisa berbelanja, makanan yang awet kita simpan saja dulu Bu."

"Ibu juga berpikir begitu."

"Sore ini kita ke super market untuk berbelanja, stok untuk satu bulan." Kata ibu.

"Mau nimbun?" tanyaku dengan keheranan.

"Bukan, supaya tidak sering keluar rumah. Ibu juga ingin beli vitamin untuk nenek."

Di super market kami tercengang melihat banyak orang berbelanja dan antrian panjang di kasir-kasir.

"Ambil dua troly. Kita belanja untuk Farina sekalian."kata ibu.

Ibu tidak panik tetapi memilih bahan makanan dengan selektif. Mula-mula membeli banyak sayur yang bukan daun misalnya wortel, buncis, labu, terong, ketimun, juga beberapa buah.

Kemudian membeli mi dan bihun kering, sereal, beberapa tepung terigu, beras dan makanan dalam kemasan. Ibu juga membeli daging sapi, daging ayam dan ikan, perlengkapan mandi, sabun untuk mencuci baju, sabun cuci piring, masker dan beberapa vitamin, biskuit, buah kering dan masih banyak lainnya.

Pada saat membayar kami memisahkan barang yang akan kami kirim ke tempat Farina langsung dari toko. Perlu kesabaran ekstra saat mengantri di kasir. Petugas juga terlihat kelelahan serta tegang.

Farina tertawa lebar ketika kami singgah untuk menurunkan bahan makanan.

"Saya ganti ya bu, ini banyak sekali belanjaannya."

Sejak menikah dia memang mandiri dan tidak pernah merepotkan ibu.

"Apakah kamu masih menganggap aku ibumu?" ibu berkacak pinggang sambil menatapnya dengan kepala sedikit menunduk sehingga matanya melihat langsung ke Farina dengan kacamata yang turun di tengah hidungnya.

"Wow… kalau begitu terima kasih banyak ya bu… aku bisa sangat berhemat." Farina mengambil sebungkus biskuit dan membukanya untuk Ryan.

Ronny mengangsurkan sekotak roti kepada kami.

"Semula saya akan ke tempat ibu untuk mengantarnya, ini dari bakery milik teman. Kasihan dia baru buka dua bulan dan sekarang harus dibatasi waktu buka, hanya diizinkan seminggu dua kali itu pun hanya dari jam 10 hingga jam empat sore." Katanya.

"Terima kasih Ron. Jika kita cocok rasanya dan bisa pesan antar maka baik juga kita pesan seminggu sekali," kataku.

"Nanti kutanya dia."

Farina masih sibuk mengatur barang-barang pemberian ibu.

"Ibu yakin, dalam satu bulan kita tidak perlu belanja?"dia bertanya sambil mengawasi barang-barang yang tersebar di atas meja makan.

"Bisa asal kamu pandai mengaturnya."

"Tapi bagaimana dengan sayur dan barang yang mudah rusak ini?"

"Sayuran direbus lalu dikemas baik-baik dan awetkan di freezer. Besok kerja keras."

Ibu berjanji akan mengirim cara mengawetkan makanan kepada Farina.

Kata-kata ibu benar adanya. Hari berikutnya kami sibuk di dapur, untuk mengupas dan memotong sayuran lalu merebusnya , meniriskan dan setelah bahan-bahan itu dingin, kami mengemasnya dalam kantung-kantung plastik masing-masing kantong cukup untuk sekali masak. Selesai dengan sayuran kami membereskan daging sapi, ayam dan ikan, ada yang diolah ada pula yang mentah dan dikemas untuk dibekukan.

Kulkas menjadi penuh sesak tetapi teratur rapi, demikian pula lemari tempat penyimpanan bahan makanan.

Pola makan kami juga berubah.

Ibu mengatakan bahwa untuk makan pagi kami hanya akan mengonsumsi minuman hangat, sereal dan biskuit, makananan untuk siang dan malam dimasak secukupnya dengan komposisi sayur, serta lauk utama yang berganti-ganti antara daging, ayam atau ikan. Untuk saat ini setiap malam kami akan makan sebutir telur setiap hari.

Pola makan seperti itu tidak masalah untukku, justru ibu yang selama ini tidak pernah sarapan sereal, pasti harus membuat adaptasi dengan gaya hidup yang baru.

Menurutnya, kami bisa menghemat makanan tetapi tetap harus menghitung kalori dan protein yang kami konsumsi.

"Kita mesti menjaga kondisi tubuh agar tidak mudah sakit." Katanya.

Pagi berikutnya ibu menelepon nenek karena mencemaskan keadaannya.

"Kami baik-baik di sini, semua masih aman." Jawab nenek.

"Kalau berkenan nenek bisa kami jemput untuk tinggal bersama," kata ibu.

Tetapi nenek menolak karena menganggap di kota besar ancaman penularan virus lebih besar dibandingkan di kota kecil.

Ibu tidak bisa memaksa nenek lagi pula memang lebih aman tinggal di kota kecil seperti yang dikatakan nenek.

Kami mengirim paket makanan kering, susu untuk lansia dan vitamin, hand sanitizer serta masker untuk nenek.

Kami merasa aman dan tenang ketika seminggu kemudian kelangkaan makanan dan vitamin menjadi berita utama di media massa.

"Kita sudah menimbun duluan." Kataku.

"Nak, kita membeli persediaan untuk satu bulan, bukan menimbun dan semua harus habis dikonsumsi." Ibu menampakkan wajah tidak senang saat kubilang menimbun.

Menurutnya, menimbun adalah jika kita memborong banyak barang yang bisa jadi tidak akan habis kita konsumsi.

"Maaf bu… aku mengerti sekarang." Perdebatan kami berhenti di situ. Ibu memonyongkan bibirnya.

"Bagaimana kabar Jan?"

"Kamu!"

Sore itu Nuggie datang ke rumah mengantar Faustine.

"Sekarang keluar rumah juga semakin dibatasi, kendaraan umum semakin jarang." Katanya.

"Kita berkomunikasi melalui internet dan hp saja. Faustine bisa mengembangkan karyanya dengan lebih tenang di sini." Kata ibu.

Pada saat Nuggie akan berpamitan, ibu memberinya satu dos berisi bahan makanan untuk Detta, adiknnya.

"Terima kasih Tante Sil, mama pasti senang. Untuk sementara ini saya tinggal bersama mereka karena Faustine di sini."

"Baik. Usahakan jadwal kerja kita tidak banyak bergeser."

"Siap."

"Ray, apa kamu dengar keluarga dr. Herliana terpapar covid?"

"Belum. Siapa yang positif?"

"Semua, ibu dokter, Ninis dan Gaiya. Aku dapat kabar dari Audrey."

"Kasihan, semoga mereka selamat."

Mula-mula dr. Herliana yang terpapar, kemungkiann tertular dari pasien, kemudian kedua anaknya juga dinyatakan positif. Mereka diisolasi di hotel yang ditunjuk pemerintah.

"Apakah dr. Hardy masih di Pulau Bunga?" tanya ibu.

"Sepertinya begitu. Para dokter memang saat ini sangat dibutuhkan dimana-mana."

Ibu berjanji akan menghubungi dr. Herliana untuk memberi dukungan moral, sebab kami tidak mungkin bisa menengok pasien covid.

Tenaga medis menghadapi risiko tinggi sebab mereka bertugas melayani para pasien. Di beberapa negara dikabarkan tentang kepahlawanan mereka. Bisa dibayangkan betapa tersiksa jika delapan jam terus menerus bekerja di bawah tekanan dengan memakai alat perlindungan diri (APD) yang menutup rapat dari kepala hingga kaki. Jika bekerja di Gedung berAC mungkin masih lebih nyaman dibandingkan mereka yang bekerja di tempat dengan fasilitas terbatas.

Tiba tiba aku membayangkan dr. Hardy di puskesmas kecil di sebuah pulau yang jauh dari kota besar, juga Eric yang bekerja di antara para pengungsi.

"Dok, selamat bertugas, tetap hati-hati dan jaga kesehatan. Salam." Kukirim pesan untuk Hardy. Dia segera membalas dengan pesan tulisan.

"Laura, terima kasih untuk perhatiannya, sangat menghibur hatiku. Pasien mulai banyak di sini karena baru ada kapal pesiar yang berlabuh dan juga kapal penumpang yang menurunkan warga lokal yang pulang kampung sebab pekerjaan mereka dihentikan."

"Baik dok, jangan lupa makan. Saya juga bersimpati untuk keadaan bu dokter dan adik-adik Anda. Semoga mereka lekas pulih."

"Apa maksudnya?"

Pertanyaannya membuatku terpana. Apakah artinya dr. Hardy tidak tahu bahwa ibu dan dua adiknya terpapar corona? Uhhh aku merasa terlalu lancang bicara.

"Bu… bagaimana ini, aku rasa dr. Hady tidak tahu bahwa ibu dan adik-adiknya terpapar covid. Ini aku mengirim ucapan simpati tetapi Hardy malah bartanya apa maksudku."

Aku menjadi panik dan tidak tahu harus menjawab apa.

Ibu memiringkan kepala dengan tatapan mata putus asa.

"Tidak ada yang bisa dilakukan selain berkata jujur."

Aku mengangguk.

"Oh Maaf dok, saya dengar dari orang lain tetapi kabar itu belum tentu benar." Tulisku.

"Terima kasih Laura, aku akan mencari tahu."

"Dok, sungguh saya minta maaf."

"Okay, Aku tidak menyalahkanmu. Tenang saja."

Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Covid menjadi penyakit yang menakutkan sekaligus memalukan. Banyak orang yang tidak siap bila tertular dan berusaha menutupinya. Mungkin kejadian ini juga karena penyebaran yang cepat sehingga orang belum sempat duduk tenang memikirkannya.

Penyakit ini bisa menular pada siapa pun tidak mengenal usia, gender, pangkat dan status sosial ekonomi.

"Menurutku orang tidak perlu malu ketika tertular covid" aku menggerutu.

"Mungkin bukan malu tetapi panik dan tidak ingin orang lain ikut menjadi panik." Kata ibu dengan lebih bijaksana.

"Bagaimana dengan Eric?" tanya ibu.

"Dia bersiap-siap pulang katanya, tapi entah apakah masih di Italia."

"Dia masih muda dan sepertinya penuh energi untuk berbuat sesuatu dalam hidupnya."

"Betul, kurasa dr. Hardy juga begitu. Aku dengar dari Adriana bahwa para dokter tetap bertugas penuh , meski kasus covid tidak sebanyak di sini."

Ibu mengerling.

"Kukira kamu tidak menyukainya, tetapi ternyata kamu juga memujinya."

"Haha … dia baik tetapi aku tidak suka dikejar-kejar apalagi dia bukan tipeku."

"Mungkin karena hatimu sudah kamu serahkan semuanya kepada Kenny?"

Aku terdiam mendengar perkataan ibu.

Bagiku, semua orang sudah mengetahui aku akan menikah dengan Kenny. Aku terikat secara moral untuk bertahan dalam hubungan kami lagi pula aku tidak ingin terjadi lagi, seseorang merebut Kenny dariku.

"Apa yang membuat kalian mengulur waktu?"

"Aku tidak mengulur waktu Bu, kemarin Kenny sudah akan datang tetapi sekarang tidak bisa karena wabah ini. Kami harus menunggu."

"Laura, ibu memberimu keleluasaan untuk membuat keputusan yang terbaik, siapa saja yang kamu pilih asal kamu merasaa yakin maka ibu akan setuju, bisa Kenny, Hardy, Eric atau siapa pun asal jangan Nuggie."

Ibu pasti meragukan Kenny karena dulu sangat mendukungnya tetapi sekarang memberiku kebebasan untuk memilih.

"Aku mengerti."

"Buatlah keputusan yang benar."

Kata-kata ibu telah membuatku sulit tidur karena sekarang aku bingung kemana sebenarnya hatiku memilih.

HPku menerima pesan dari Eric.

"Laura, aku dalam perjalanan pulang. Kami baik-baik saja. Bagaimana denganmu sekarang?"

Hatiku melonjak gembira menerima pesan itu.

"Terima kasih untuk informasi dan perhatiannya. Semoga perjalananmu lancar dan selamat."

"Thanks. Setelah ini sepertinya Belanda juga akan lock down, oleh sebab itu kami harus segera pulang. Talk to you later, have sweet dream, sweet girl."

"Big hug for you Eric. Good night."

Kupejamkan mata membayangkan wajahnya juga senyumnya. Kemana hatiku pergi?***