Berita tentang penyebaran virus flu yang mematikan semakin gencar. Nama virusnya keren, corona sebab bentuknya mirip mahkota (crown) . Orang yang tertular menderita sesak nafas, kehilangan indera perasa dan penciuman. Penularan yang cepat menimbulkan kepanikan sebab pasien banyak yang meninggal, rumah sakit kewalahan menampung orang yang terinfeksi.
Dalam sebulan, tiba-tiba kepanikan melanda dunia dan beberapa negara sudah menutup wilayahnya. Hanya warga negara yang diperkenankan masuk, itupun melalui sistem karantina untuk memastikan orang-orang itu tidak membawa virus.
Penerbangan dan pelayaran dihentikan, transportasi hanya diperuntukkan bagi logistic dan kepentingan medis atau tugas-tugas penting yang lain.
Maka, Kenny tidak bisa menjemputku atau mengunjungiku.
Banyak negara menerapkan lock down. Kantor-kantor tutup dan kami beraktivitas dari rumah.
"La, sabar ya, jika nanti sudah diperbolehkan melakukan perjalanan, aku pasti akan mengunjungimu." Kata Kenny dalam telepon sore itu.
"Bagaimana situasi di tempatmu?"
"Tidak sepanik di kota besar, tetapi kami mengalami keterlambatan logistic. Barang-barang kebutuhan menjadi langka dan mahal." Katanya.
Aku tidak tertarik membahas masalah virus korona, yang kuinginkan adalah kepastian hubungan kami. Aku mengubah panggilan suara menjadi panggilan video. Kenny tersenyum lebar.
"Hai, sweat heart."
"Apakah kamu sudah menyelesaikan urusan dengan perempuan itu?" tanyaku dengan langsung tanpa basa basi lagi.
Kenny tidak menjawab melainkan menatap padaku.
"Ken, aku selalu memikirkanmu." Aku ingin dia mengerti kegelisahanku dan perasaan terombang ambing, juga ketakutan untuk ditinggalkan. Perasaan yang sangat mengganggu.
"Aku sedang berusaha, rupanya tidak mudah. Aku hanya berharap kamu masih memiliki kesabaran."
Sebenarnya aku mengharapkan Kenny berterus-terang tentang kejadian yang sesungguhnya sehingga aku bisa mengikuti proses yang dilakukannya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Saat ini aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi kecuali prasangka-prasangka buruk yang aku tidak tahu kebenarannya.
"Apa yang membuatmu takut membuat keputusan?" Dengan pertanyaan ini aku berharap Kenny berbicara terus terang kepadaku atas jebakan yang dilakukan oleh Ketty dan kami bisa mengatasinya bersama-sama.
"Aku tidak bisa mengatakannya kepadamu." Kenny terlihat tegas dan bersungguh-sungguh saat mengatakannya. Dia menyembunyikannya. Aku tidak bisa mendesaknya lagi. Kami mengganti topik percakapan tentang kesehatan mama yang terus membaik dan menggembirakan Kenny.
"Sepertinya sebentar lagi kita semua wajib berada di rumah dan mengurangi kerumunan. Sekolah sudah diliburkan untuk batas waktu yang belum ditentukan." Pembicaraan kembali ke topik virus korona.
"Maka kamu punya banyak waktu untuk merawat mama." aku melihat dari sudut pandang positif.
"Pasti. Kamu juga mengoperasikan kegiatan kerja dari rumah kan? "
"Betul, sejak dua hari yang lalu."
"Ken, maukah berjanji menjaga jarak dengannya?" kukembalikan percakapan tentang hubungan kami dan perempuan pengganggu itu.
"Aku sudah melakukannya, jangan khawatir."
"Terima kasih, jangan terperangkap dalam jebakannya."
Terlihat wajah Kenny menjadi serius dan bibirnya cemberut. Aku tidak bisa mengartikan perasaan di balik ekspresi wajahnya.
Kegelisahanku tidak juga sirna setelah berbicara via telpon dengan Kenny.
Aku menuju ruang tengah, duduk di sebelah ibu yang sedang menonton berita televisi. Semua televisi menayangkan tentang Covid dari berbagai sudut pandang dan liputan manca negara. Pada saat itu ada video berita tentang situasi di Italia, petugas medis yang kewalahan dan korban meninggal yang setiap hari terus bertambah jumlahnya.
"Apa Eric masih di Italia?" aku bertanya dengan cemas.
"Kenapa tidak menghubunginya?" kata ibu.
Sudah lama aku tidak menghubungi Eric karena aku ingin melupakannya.
"Biar saja." Kataku.
"Hei… mengapa jadi pasif seperti itu, tidak ada salahnya menanyakan kabar Eric," kata ibu lagi.
"Ibu saja yang tanya pada Jan."
Ibu tersenyum dan kami melanjutkan menonton berita televisi. Harga kebutuhan hidup semakin melonjak, tempat hiburan ditutup dan banyak orang dirumahkan bahkan diberhentikan dari pekerjaannya.
"Bu, tante Detta mungkin mengalami kesulitan finansial. Bagaimana jika ibu mengundang mereka tinggal bersama di sini. Rumah ini terlaklu besar untuk kita berdua."
"Ibu berpikir begitu juga, tetapi kamu kan tahu sikap pamanmu, suami Detta yang keras kepala itu pasti menolak uluran tangan kita."
"Kurasa Nuggie bisa membantu mereka. Bagaimana jika kita undang Faustine di sini, jadi kita ada bertiga mengerjakan pekerjaan kantor di sini." Aku mengusulkan.
"Kamu atur saja." Kata ibu yang artinya setuju dengan usulku.
Aku segera mengirim pesan kepada Faustine, untuk mengundangnya bekerja dari rumah kami. Pesan itu kuteruskan ke Tante Detta dan Nuggie.
Berita berita di televisi membuat kami merasa tegang dan suasana yang panik mencekam.
Perhatian dunia terpusat pada virus korona yang menyebar pesat, merenggut banyak nyawa, menimbulkan perubahan-perubahan perilaku.
"Bu, aku ke kamar," kataku berpamitan. Faustine dan Tante Detta belum menjawab pesanku, sedangkan Nuggie memberi acungan jempol.
Pikiran akan Eric tidak bisa kulepaskan.
Sudah sebulan aku tidak mengirim pesan kepada Eric dan dia juga tidak pernah menghubungiku. Kupikir Eric sudah melupakanku. Mungkin dia sudah tahu bahwa Jan dan ibu tidak melanjutkan hubungan asmara mereka. Layakkah aku mengontaknya sekarang?
Penyebaran covid ini seharusnya merupakan momentum yang tepat untuk saling berkirim kabar dengannya.
"Hello Eric, bagaimana keadaanmu, Masih di Italia? Kuharap kamu baik-baik dan tolong menjaga kesehatan dan keselamatanmu. Salam hangat, Laura."
Pesan segera terkirim, lalu aku berdiri untuk mematikan lampu kamar, naik ke tempat tidur dan menarik selimut. Teleponku berdering.
"Hello."
"Laura, my little princess, senang sekali menerima pesanmu di tengah kekacauan ini. Rasanya aku menjadi terhibur. Aku baik-baik saja, terima kasih untuk perhatiannya." Suara Eric terdengar riang.
"I am not your little princess," kataku menyela karena aku kurang suka dengan sebutan yang seakan-akan menempatkanku sebagai gadis kecil.
"Sweet heart, bagiku kamu adalah putri kecilku." Terdengar dia tertawa.
"huh… terserah. Apakah kamu masih di Italia, apakah tempatmu aman dari Covid?"
Terdengar Eric mendesah.
"Situasi sedang tidak terkendali, kita tidak tahu apakah virus ada di dekat kita bahkan apakah ada virus di tubuh kita."
Eric mengatakan sedang mengurus kepulangan ke Belanda meskipun hatinya tidak sampai hati untuk meninggalkan para pengungsi.
"Apakah kamu dan Silvia sehat?"
"Kami baik-baik dan bekerja dari rumah. Terima kasih."
"Aku sering memikirkanmu." Kata Eric, suaranya terasa dalam dan sedikit serak. Aku tersentuh olehnya dan teringat pada mimpiku waktu itu.
"Apa yang kamu pikirkan?" aku mencoba bersikap biasa, sambil menahan debaran jantung yang tiba-tiba berdegub lebih kencang.
" Entahlah, aku merasa senang berbicara denganmu."
"Kelihatannya kamu sangat sibuk dengan pekerjaanmu, bagaimana kamu sempat memikirkan orang lain apalagi aku yang jauh."
"Umm… Laura, sulit menjelaskannya. Aku tidak ingin membuatmu terbebani. Aku hanya berharap kamu selalu sehat dan gembira."
Aku mencoba memikirkan jalan pikiran Eric sehingga dia berkata seperti itu.
"Eric…" aku ingin bertanya tentang hubungan Jan dan ibu, apakah dia sudah mengetahuinya, tetapi sulit untuk mulai mengutarakan pertanyaan tersebut.
" Aku mendengarkan."
" Apakah kamu tahu tentang hubungan orang tua kita?"
"Tentu saja."
Terdengar nada gembira dalam suara Eric. Dia pasti senang ketika mengetahui ibu dan Jan tidak akan menikah sebab dia mempunyai kesempatan lebih besar untuk mendekatkan ayah dan ibunya kembali.
"Kukira karena itu kamu lama tidak menghubungiku." Aku menyimpulkan.
"Oh aku hanya agak sibuk. Laura, maaf, aku harus kembali bekerja. Aku senang kamu baik-baik saja. Tolong hati-hati terhadap Covid-19." Suara Eric terdengar terburu-buru.
"You too, tenaga medis yang paling dekat dengan bahayanya."
"Okay, aku akan meneleponmu lagi jika ada kesempatan." Dia berjanji lalu menutup telepon.
Setiap kali berbicara dengan Eric, aku merasa senang tetapi kemudian menjadi gelisah. Aku harus cukup kuat untuk membuat hatiku tenang dan tidak menginginkan Eric. Sikap ini membuatku jengkel. Mengapa aku mencintai Kenny dan Eric sekaligus?
Kupukul kepalaku agar otakku berpikir waras.
Eric hanya menganggapku sebagai gadis kecil, tetapi cara dia mengucapkan sapaan itu membuatku mengalami ekstase, betapa suaranya menyenangkan dan memanjakan!