Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 79 - Cinta yang membuat hilang akal

Chapter 79 - Cinta yang membuat hilang akal

Aku merasakan pelukan ibu, tarikan nafasnya dan otot-otot lengannya yang kuat. Platonic love, kata yang selama ini kukenal dalam bacaan saja dan tidak pernah membayangkan bahwa ibuku mengalaminya. Apakah ibu cukup jujur terhadap dirinya dan orang lain? Adakah sesuatu hal lain yang membuatnya memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan cintanya dengan Jan, mungkin omongan Eric? Tadi ibu mengatakan menganggap Eric sebagai anaknya sendiri. Kurasa itu kata-kata untuk menghibur dirinya sendiri. Ah mengapa ibu menganggap aku mudah dibodohi? Seandainya ibu menganggap Eric sebagai anaknya sendiri, belum tentu pria itu mau memperlakukan ibu seperti ibunya sendiri. Eric mencintai Gwen malahan dia ingin Jan dan Gwen bersatu kembali. Dia merindukan keluarga yang utuh. Eric tentu gembira ketika nanti mengetahui Jan dan ibu telah memutuskan relasi cinta mereka.

"Apakah Eric sudah tahu?" tanyaku sambil mengusap wajahku ke lengan ibu.

" Hmm terserah Jan nanti yang menjelaskannya." Tangan ibu menepuk punggungku.

"Semudah itu ibu dan Jan mengubah rasa cinta yang menggelora sebagai perempuan dan laki-laki, menjadi persahabatan ? Aku sulit membayangkannya."

Terdengar ibu menarik nafas dan meremas bahuku dalam pelukannya.

"Tiba-tiba saja ibu merasa tidak ada rasa, aku menyukai Jan dan senang ngobrol bersamanya, malahan aku juga tidak keberatan memasak untuknya, tetapi nggak ada rasa untuk bermesraan. Sulit menjelaskannya." Kata ibu.

"Itu dari pihak ibu, bagaimana dengan Jan?"

Ibu tidak segera menjawab. Aku menyimpulkan bahwa ibu memutuskan cinta secara sepihak.

"Tentu Jan patah hati sekarang. Poor Jan…" kataku.

"Dia mengerti. Dia merasa nyaman bersamaku. Kalau laki-laki mungkin libido lebih tinggi, tetapi Jan mengerti dan menghargai ibu."

Aku teringat ciuman Eric. Kami tidak memiliki hubungan apa-apa ketika Eric menciumku. Aku merasa sungguh bodoh karena sempat membayangkan bahwa Eric menyukaiku lalu mencoba menciumku. Libido. Itu penjelasannya.

Aku tidak menyalahkan Eric melainkan membenci diriku sendiri.

"Baiklah, mari kita tidur." Ibu mencium keningku aku mencium lekuk lehernya dan kami berpisah.

Sebelum tidur aku akan menutup tirai jendela, tetapi terlihat bulan purnama menebar sinar putih ke seluruh permukaan genting, dedaunan serta jalan beraspal. Pantulan sinar yang lembut membuatku mensyukuri keindahan alam.

Aku terpaku di balik jendela menatap bulan.

Di bawah atap atap rumah itu ada penghuninya, orang orang-orang yang hidup dalam satu atap dengan bermacam-macam relasi. Akhir akhir ini aku mulai berpikir tentang relasi antar manusia. Hubungan suami dan istri, orang tua dan anak, teman yang mempunyai kisah tersendiri. Cinta dan kasih sayang.

Setiap orang yang memberikan cinta kepada orang lain dan kebanyakan berharap mendapatkan balasan yang setara. Apabila cinta tidak terbalas maka orang tersebut bisa kecewa, ada yang merana, bersedih, ada pula yang marah, mengamuk bahkan bertindak di luar nalar.

Mencintai sering juga membuat orang menjadi posesif, seolah-olah orang yang dicintainya adalah miliknya sendiri. Cinta bisa menjadi sumber kebahagiaan tetapi juga bisa menjadi sumber petaka.

Memikirkan hal ini membuat aku teringat pada Lusi, teman sekolah yang hidupnya selalu dirundung malang. ibunya meninggal ditusuk ayah kandungnya yang cemburu karena menuduh ibunya selingkuh dengan adik dari ayahnya. Pada saat itu Lusi kelas tiga SMP. Ayahnya dihukum penjara 15 tahun. Lusi pindah tinggal bersama nenek dari pihak ibu. Neneknya sudah renta dan tidak berdaya mengurus Lusi dan dua adiknya yang masih kecil. Setelah lulus SMA Lusi tidak bisa melanjutkan sekolah. Mereka tidak memiliki uang untuk biaya pendidikan. Keluarga ayahnya menjual rumah dan tidak mewariskan sedikit pun uang untuk Lusi. Mereka menganggap ibu Lusi sumber petaka. hubungan mereka terputus. Lusi bekerja sebagai pramuniaga di toko untuk membantu membiayai sekolah kedua adiknya.

"Ayah membenciku karena wajahku mirip ibu, aku kehilangan ibu dan kehilangan ayah sekaligus. Tetapi jika kuingat pembunuh ibuku adalah ayahku sendiri, aku terombang ambing antara cinta dan benci pada ayahku. Paman yang katanya selingkuh dengan ibu, entah benar atau tidak, tidak pernah menghubungi kami juga. " kata Lusi kepadaku.

Pada saat akhirnya Lusi menikah, suaminya meninggal hanya beberapa bulan setelah pernikahan, meninggalkan Lusi yang mengandung tiga bulan.

Lusi melahirkan, membesarkan anak dan bekerja untuk biaya hidup keluarga yang semakin bertambah. Dia menikah lagi dan sempat hidup bahagia, berkecukupan, tetapi setelah Lusi melahirkan anak kedua, suaminya selingkuh dan menggugat cerai.

Apa penjelasan untuk semua ini? Aku tahu Lusi orang yang baik dan hidupnya lurus, tetapi kemalangan seperti mengejarnya terus.

Pengalaman hidup Lusi sangat luar biasa dan dia menghadapinya dengan ketabahan. Lusi terlihat lebih banyak tersenyum dan wajahnya ceria, meskipun beberapa kali aku melihat dia duduk merenung dan bibirnya terkatup menjadi garis lurus yang tipis. Pada saat seperti itu terlihat air mata mengambang di matanya.

"Lusi… aku siap mendengarmu, jangan simpan sendiri kesedihanmu." Kataku.

"Terima kasih, aku sedang berusaha untuk tidak menggugat Tuhan." Ujarnya sambil mengembangkan senyumnya.

Purnama selalu membuatku teringat pada Kenny, sebab dia gemar memandang langit dan menghitung bintang. Kenny yang mengenalkan padaku susunan bintang di langit dan bahkan membuat perumpamaan memetik bintang – bintang sebagai penanda impian kami berdua.

Aku merindukan Kenny, dadaku terasa sesak menahan rasa rindu ini. Meski dia pernah menduakanku dengan Marina, aku tetap memaafkannya dan bersedia menikah dengan Kenny. Ketika aku memergoki Kenny bersama Ketty aku marah dan mengajaknya putus, tetapi sekarang aku sangat ingin bersamanya. Kenny memberiku rasa hangat, aku merasa diperlukan dan disayanginya. Namun setiap ada perempuan lain tentu saja aku merasa disisihkan dan tidak dicintainya. Ini menyakitkan. Apa sebenarnya yang diinginkan Kenny? Apakah dia memang mencintaiku dan berniat menjadikanku istri satu-satunya? Aku pasti tidak akan sanggup untuk diduakan dalam pernikahan nanti.

Memikirkan semua itu membuatku menjadi ragu, apakah aku memang menginginkan pernikahan dan hidup bersama Kenny di kampung halamannya, menyerah pada kehidupanku di ibukota.

Bulan yang bundar bercahaya seakan menjadi mata yang menatap lembut dan menenangkanku dari kegelisahan meskipun tidak memberiku jawaban atas keragu-raguan ini.

Richard mengatakan bahwa Ketty sengaja mendekati Kenny, kemana pun Kenny pergi dia akan berada di dekatnya. Hampir setiap waktu Ketty berkunjung ke rumah, berpura-pura merawat mama dan bersikap manis.

"Dia berlaku seolah-olah sudah menjadi istri Ken. Setiap hari datang dan mengurus rumah, mencuci, setrika, memasak… oh laura aku khawatir Kenny tidak bisa lepas dari perempuan itu." Kata Adriana dalam percakapan telepon sore tadi.

Adriana berharap agar aku datang lagi ke Pulau Bunga untuk menyingkirkan Ketty dari samping Kenny.

"Aku masih sibuk." Kataku berkilah.

Sebenarnya aku ingin menguji kesungguhan Kenny. Jika dia memang mencintaiku, dia akan datang menjemputku dan dia pasti mempunyai cara untuk menjauh dari Ketty. Aku terlalu sombong untuk berinisiatif menemui Ken, meskipun aku sangat merindukannya.

Ponselku menerima pesan.

Nomor tidak dikenal dan kiriman pesan berisi video Kenny sedang menikmati makan, dia terlihat bersemangat dan menikmati makanannya.

Terdengar suara perempuan bertanya, apakah masakannya enak, dan Kenny menjawab "super lezat, kamu pandai memasak." Lalu Kenny menyuap makanan sesendok penuh. matanya menatap kamera dan dia tersenyum. Hatiku seperti teriris melihatnya.

Ini pasti nomor baru Ketty. Aku segera memblokir nomor tersebut.

Kukendalikan kemarahan dengan mengatur nafas sampai aku merasa tenang.

"Ken… kapan menjemputku?" aku menulis pesan kepada Kenny.

Kenny segera membaca pesan tersebut dan dia membalasnya dengan panggilan video call.

Dia duduk di sofa sambil memangku gitarnya.

"Laura, cintaku." Dengan suaranya yang khas menyebut namaku.

"Kamu sedang apa? Sudah makan, ada tamu?"

Ken tersenyum dan matanya yang menawan membuatku ingin menciumnya.

"Pertanyaanmu banyak sekali, mana yang harus dijawab dulu? aku sedang menyiapkan lagu, baru saja aku akan meneleponmu."

"Terima kasih. Katanya kamu mau menjemputku?"

Dia tidak menjawab tentang makan malamnya, tetapi aku menjadi tenang karena mengetahui Kenny ada di rumah.

"Apakah kamu masih marah? Atau sudah tenang?" dia tersenyum menggoda.

"Kalau perempuan itu masih terus menempel padamu tentu aku marah."

"Beri sedikit waktu untuk menyelesaikannya."

"Oh Ken… kamu menguji kesabaranku. Seberapa lama kamu minta waktu."

"Kamu percaya kepadaku?"

"Tidak!"

"Laura…"

"Kalau seminggu kamu tidak datang, aku…"

"Kenapa? Bagaimana? Kok jadi mengancam?" Kenny tertawa lebar.

"Bye Ken."

Kututup teleponnya, tetapi beberapa menit kemudian Kenny menelepon ulang.

"Sudah malam jangan marah, dengar dulu laguku baru kamu tidur." Kata Kenny. Dia sudah memasang camera hp sehingga aku melihat Kenny memetik gitar dan menyanyikan lagu yang baru diciptakannya.

"Pada purnama aku melihat wajahmu, tersenyum di langit gelap, tidakkah kau lihat bintang-bintang menunjukkan jalan bagi kita untuk mencari cahaya hidup. Dalam kesendirian aku merindukanmu, senyummu dan aku ingin menyentuh rambutmu yang menebar harum dan membuatku tergila-gila padamu, tidakkah kau lihat bintang-bintang menunjukkan jalan… ulurkan tanganmu mari berjalan bersama… tidakkah kaulihat bintang bintang…"

Kenny mengakhiri lagunya, memeluk gitar dan menatap kamera.

"I adore you La."

"Jauhi Ketty."

Kenny mengangkat alisnya sebagai jawaban.

"Mari menikah."