Seminggu berlalu tanpa kabar kepastian kapan Kenny akan menjemputku. Kami terlalu sibuk menyelenggarakan peluncuran buku Hendra dengan acara yang meriah, dihadiri banyak orang. Seperti diduga, para tamu sebagian besar adalah follower Hendra, dan para perempuan muda. Meskipun lelah kami senang sebab buku banyak terjual.
"Kamu memang mempunya pesona, khususnya terhadap perempuan." Kataku kepada Hendra.
"Tetapi kamu tidak terpesona padaku." Katanya dengan ekspresi yang sulit diduga.
"Apakah kamu perlu? Um aku bukan orang yang mudah terpesona."
Hendra tertawa lebar.
"Laura, kamu memang unik ."
Kubalas tawanya dan senyuman.
"Kenapa kamu belum menikah? aku yakin pasti sudah banyak pria yang menyatakan cinta kepadamu."
Aku memiringkan kepala dan meliriknya.
"Kurasa pertanyaanmu terlalu cepat, kita belum terlalu akrab."
"Ah… maafkan, aku merasa sudah akrab denganmu."
"Nanti kamu akan tahu. Nah ini sudah banyak yang menanti untuk berbicara denganmu." Terlihat beberapa penggemar sudah menantinya.
"Sampai nanti Lou."
Aku tertawa. Ada lagi panggilan khusus untukku, Oray, La, sekarang Lou.
Sampai akhir acara aku tidak sempat berbicara lagi dengannya karena terlalu banyak orang yang mengerumuni Hendra termasuk para wartawan hiburan.
"Bu, mari kita pulang. Biar anak-anak yang menyelesaikan." Kataku kepada ibu.
"Ini sudah kutunggu dari tadi," kata ibu. Kami berkemas dan pulang diantar sopir.
Langit malam berhias purnama dan aku selalu mengaguminya.
"Kalau ada duit kita renovasi teras di lantai dua untuk dek melihat bintang dan bulan," kataku.
Ibu memintaku bersabar.
"Kamu toh akan meninggalkan rumah."
"Ibu juga… Sebaiknya Farina yang tinggal di sini."
"Laura, nanti di rumah kita bicara." Mata ibu mengarah ke sopir. Dia tidak ingin percakapan didengar Pak Jo. Aku jadi penasaran, pasti ibu akan mengatakan sesuatu yang penting.
"Okay."
Kami melanjutkan percakapan tentang peluncuran buku dan para tamu muda yang histeris bertemu Hendra.
"Menurut ibu, apa daya pikat Hendra yang membuat gadis-gadis itu sampai histeris begitu."
Ibu bilang daya tarik Hendra bukan pada ketampanan wajah saja, melainkan cara dia berbicara bahkan setiap gerakannya terkendali untuk menggoda perempuan.
"Orang seperti dia tidak akan pernah puas dengan dirinya sendiri, karena isi kepalanya hanya sibuk mencari cara untuk menarik lawan jenis."
"Oh… apakah ini termasuk narsistik?"
"Bisa jadi, kita lihat saja seberapa parah gangguannya."
Mobil memasuki halaman rumah.
Sebelum turun dari mobil aku mengumpulkan semua barang bawaan termasuk satu kota coklat pemberian Gaiya, adik Hardy.
"Bu aku sudah ngantuk, besok pagi saja bicaranya."
"Tidak masalah."
Kami berpisah masuk ke kamar tidur masing-masing.
Aku segera melepas baju lalu mandi dengan air panas yang membuat otot tubuh lemas serta rileks.
Sambil mandi aku kembali teringat kepada Kenny yang hampir seminggu ini tidak memberi kabar. Sesekali aku chat dengan Adriana untuk memantau keadaan Kenny. Dia sudah pulih dan kembali mengajar.
"Ken bilang pada Richard bahwa dia khilaf jatuh dalam jebakan." Kata Adriana beberapa hari lalu.
Ketty juga menerorku kembali dengan nomor ponsel yang baru tetapi segera aku blokir juga.
Dia mengatakan tidak akan menyerahkan Ken untukku.
Aku tidak memberi tahu siapa pun tentang terror Ketty ini. Perempuan ini cerdik. Dia tahu tidak akan bisa mengancamku maka dia melakukan strategi akan membeberkan foto-foto mereka untuk menjatuhkan karir dan nama baik Ken, apabila aku tidak meninggalkan Ken.
Aku tidak meladeni Ketty sebab merasa yakin Ken akan menyelesaikan urusan mereka.
Keluar dari kamar mandi aku melihat ibu duduk di pembaringanku.
"Ada apa Bu?"
"Ini berita seram, ada virus mematikan sedang mewabah di Wusan, China." Ibu memperlihatkan berita tersebut kepadaku.
"Kita tahu mobilitas orang sangat tinggi, dalam sekejab virus bisa menyebar."
"Semoga kita aman."
Namun ibu berdebat dengan mengatakan bahwa mobilitas manusia sekarang semakin luas. Bila seseorang yang membawa virus itu keluar dari zona wabah, lalu menularkan kepada orang lain yang juga mempunyai mobilitas tinggi, maka virus akan menyebar lebih cepat dari perkiraan.
Aku tidak ingin berdebat dengan ibu maka aku hanya menganggukkan kepala.
"Bu tadi mau bicara apa? Ngantukku sudah hilang."
"Oh."
Matanya mengawasiku, terlihat ibu berpikir serius serta menimbang-nimbang untuk berbicara.
" Ibu dan Jan hanya akan berteman, kami tidak akan menikah."
Kabar yang mengejutkan, apakah karena desakan Eric? Mungkin Eric sudah meminta Jan untuk menghentikan percintaannya dengan ibu. Kulihat wajah ibu, tidak tampak kesedihan di situ. Ibu berbicara seperti bukan tentang dirinya sendiri melainkan membicarakan orang yang tidak dikenalnya.
"Kenapa bu? Bukankah kemarin hubungan ibu cukup baik. Masa secepat itu kalian putus?"
Aku masih ingat kemesraan mereka berdua, saling tersenyum, bergandeng tangan, makan berdua, ngobrol berjam-jam berdua.
Ibu menghena nafas dan meminum air putih di atas meja.
"Semula ibu berpikir kami saling jatuh cinta, tetapi kemudian kami sadar bahwa kami bukan saling mencintai seperti layaknya pria dan wanita."
Ibu berbicara dengan tenang seperti kebiasaannya.
"Bagaimana ibu menyimpulkan begitu? Dulu ibu tersipu-sipu saat bersamanya?"
Ibu tertawa sumbang dan bercerita kejadian lucu ketika mereka akan berciuman.
"Kami saling menatap, seperti anak remaja. Pada saat ciuman terjadi, ibu tidak merasakan ada gairah… rupanya Jan juga merasakan hal yang sama."
Kata ibu mereka kemudian tertawa terpingkal-pingkal.
"Kapan ibu dan Jan menyadarinya? Apakah saat aku masih di sana?"
"Setelah kamu pulang. Kami masih saling mencintai kok."
Mataku membelalak mendengar jawaban ibu. Saling mencintai tetapi tidak ingin menikah.
"Apakah karena Eric?" aku bertanya dengan hati-hati.
"Eric belum tahu… kenapa memangnya dengan Eric?"
Aku menggelengkan kepala.
Kuintip bulan dari jendela kamar.
"Eric apa kamu mengatakan sesuatu kepada mereka?" aku bertanya di dalam hati sambil memandang bulan.
"Aku tidak mengerti bu, saling cinta tetapi memutuskan untuk berteman. Adakah sesuatu yang kulewatkan?"
"Kemarilah." Ibu melambai kepadaku meminta aku duduk di sebelahnya.
"Perempuan dan laki-laki yang jatuh cinta, mereka mengalami ketertarikan, saling memberi perhatian, menyayangi tetapi juga ada gairah untuk dipeluk, memelu, berciuman dan seterusnya. Kamu juga mengalaminya kan?" mata ibu menyelidik.
Aku mengangguk mengerti.
"Nah, ibu dan Jan mengalami semua yang awal tadi, tetapi tidak ada gairah untuk bercumbu."
"Apakah itu cinta lansia?"
Kupikirkan tentang gairah seks yang hilang setelah semakin berumur.
"Tidak juga. Seumur kami masih ada gairah seksual."
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Kami saling tertarik dan merasa nyaman untuk duduk dan ngobrol selama berjam-jam, tetapi tidak ada keinginan untuk bercumbu. Ini dinamakan Platonik Relationship."
"Platonik relationship?"
"Platonik. Coba kamu pelajari."
"Lalu apa yang ibu dan Jan akan lakukan setelah ini."
Mataku menghindari ibu. Harapanku untuk mempunyai seorang kakak sudah sirna. Bila ibu tidak berhubungan lagi maka hubunganku dengan Eric juga tidak akan berlanjut. Kita akan menjadi orang asing. Ada ganjalan terasa di dada, aku kesulitan berbafas.
"Jangan khawatir, kami akan menjadi sahabat, super dekat, kami akan menjadi semacam keluarga. Jan akan menganggap kalian anaknya demikian pula ibu akan memperlakukan Eric sebagai anak sendiri."
Itu adalah janji ibu, sementara aku akan merasa aneh bila menganggap Eric sebagai kakakku. Baru memikirkannya aku sudah merasa kehilangan Eric. Aku harus merelakan dia, apalagi Eric sudah memiliki Els.
"Apakah ibu bahagia dengan ini?"
Ibu memelukku dan menciumi kepalaku.
"Aku bahagia, ibu juga tenang. Jangan khawatir… kami sungguh baik-baik saja. Tidak ada yang berubah. Saat Jan menelepon ibu akan tunjukkan kepadamu.
"Ya bu…"
"Hei kenapa kamu jadi murung? Kami tidak apa-apa dan ini adalah keputusan bersama."
Aku mengangguk lagi.
"Aku kaget saja dan cemas bila ibu terluka."
Ibu menarikku ke dalam pelukannya.
"Aman… sekarang ibu akan focus membantu kamu memulihkan hubungan dengan Ken."
***