Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 75 - Girl with a pearl earing

Chapter 75 - Girl with a pearl earing

Ryan bersemangat menatap pintu keluar di bandara dan mengamati wajah-wajah orang yang keluar, menemukan penjemputnya, mereka berpelukan, berciuman, ada yang menangis bahagia. Begitulah suasana di airport.

"Nenek… nenek pakai baju warna apa?" tiba-tiba Ryan bertanya.

"Coba saja tebak!" kataku karena tidak bisa memberi jawaban untuknya.

"Eh… tebak?"

"Ryan pikir, nenek pakai warna apa? Nanti kita lihat betul atau tidak," Farina menjelaskan makna kata tebak kepadanya.

"Biru… nenek pakai baju biru." Dia melonjak-lonjak. Aku tersenyum mendengarnya. Ryan cukup cerdas dan menghafal kebiasaan ibu, penggemar warna biru.

Tidak lama kemudian bocah itu berseru lagi.

"Itu nenek… baju biru…baju biru…"Ryan melompat dan berputar-putar di tempat dengan gembira. Kami melihat arah kedatangan ibu.

Dia memakai blus biru muda dan celana panjang warna putih membuatnya terlihat segar dan menonjol di keramaian bersama penumpang lain yang berjalan melewati pintu keluar.

"Ibu tampak makin muda," kata Farina berbisik kepadaku. Ibu tidak sulit mencari kami karena Ryan sudah berteriak memanggilnya.

Dia mendekatkan trolley kepadaku lalu berjongkok untuk memeluk Ryan dan menciumi wajah satu-satunya cucunya itu. Ryan melingkarkan lengannya ke leher ibu dan meletakkan kepala di lekukkan leher ibu. Dia manja kepada neneknya.

Sambil menggendong Ryan, ibu memeluk Farina dan aku, sekilas sebagai salam perjumpaan. Kami berjalan bersama ke tempat parkir.

"Ibu tidak terlihat lelah padahal perjalanan lumayan lama," tanya Farina.

"Tadi banyak tidur," katanya.

"Bagaimana kabar kalian?" tanya ibu sambil membetulkan rambutnya yang sedikit kusut.

Farina tertawa sambil menjelaskan bila keluarganya dalam keadaan baik.

"Puti Tuhan. Bagaimana denganmu, Nak?" matanya melirik kepadaku.

"Sehat, banyak yang terjadi tapi aku survive, bu." Jawabku sambil memegang lengannya.

"Jan, Eric dan Clemence menitip salam untukmu."

Aku mengangguk. Clemence dan Eric sebenarnya masih sering mengirim pesan kepadaku.

"Terima kasih."

Sesampai di rumah kami mengobrol sambil makan malam. Ibu lahap memakan tahu goreng serta gado-gado.

"Tuh, waktu aku baru pulang juga banyak makan nasi putih panas… rasanya lama tidak makan seenak itu." Kataku.

"Mengapa?" Farina memandang kami berganti-ganti.

"Bosan dengan roti, keju, kentang dan makanan dingin." Kata ibu.

Selesai makan ibu membuka tas besar yang dibawanya dan mengeluarkan semua isinya.

"Ibu masih lelah untuk membuka koper, tetapi ini ada oleh-oleh kecil dari orang lain." Katanya.

Ryan mendapat boneka badut dan mobil-mobilan yang langsung digenggamnya erat-erat.

"Ini untuk Farina, dari Jan." kata ibu sambil mengangsurkan sekotak besar coklat.

"Thanks Bu… sampaikan kepadanya," dia melirik dan mengedipkan mata.

"Apa itu!?" ibu menepuk kepala Farina.

"Haha ibu tersipu sipu." Farina menggodanya, tetapi segera ibu bersikap normal.

"Clemence menitipkan ini untukmu." Ibu menyerahkan bingkisan kecil yang segera kubuka, isinya dua mangkuk blue Delft bermotif bunga peony dan kupu-kupu, sedangkan satu lagi bergambar kincir angin.

Waktu itu Clemence berjanji akan membawaku jalan-jalan ke kota Delft namun aku sudah pulang terlebih dulu dengan mendadak sehingga niat kami belum kesampaian.

"Dear Laura, setidaknya aku bisa memberimu kenang-kenangan dari Delft. Bagilah satu dengan adikmu." Tulis Clemence.

Kusodorkan kepada Farina untuk memilih dan dia mengambil yang bergambar kincir angin.

"Supaya ketahuan dari Belanda, sebab yang gambar bunga dan merak sama dengan di China." Alasannya.

"Clemence repot-repot saja." Aku bergumam. Kulihat ibu masih memegang dua bungkusan lagi.

"Dari Eric." Ibu menyerahkan satu bungkusan kepada Farina dan satu lagi untukku.

Aku meminta Farina membuka hadiahnya lebih dulu.

Dia melompat kegirangan.

"Bagaimana dia tahu aku akan menyukainya!" Farina memperlihatkan hadiahnya, seperangkat alat rajut, hak pen berbagai ukuran, peniti penanda yang berwarna warni, pengait dan gunting benang serta satu buku rajut tingkat mahir.

"Hobi kalian sama, aku pernah mengatakan kepadanya." Kataku.

"Oh… Ray, kamu bilang dia sinis dan tidak menyukai kalian, tapi ini lihatlah… hadiahnya dipikirkan benar. Coba buka punya kamu."

Ibu memandang kepadaku ketika mendengar kata-kata Farina.

"Iya… awalnya dia sinis, kemudian dia baik." Kataku, membayangkan cowok berambut acak-acakan itu.

Kutatap mata ibu untuk membuat dia menyetujui jawabanku. Pasti ibu juga merasakan perubahan sikap Eric. Aku berharap Farina tidak membuka omongan tentang niat Eric memisahkan ibu dan Jan.

"Buka hadiahmu!" seru Farina.

Sebenarnya aku tidak ingin membukanya di sini, aku ingin menikmati momentum membuka secara pribadi, tetapi rasa ingin tahu di mata Farina membuatku merobek pembungkus bingkisan.

Sebuah novel berjudul "Girl with a pearl earing" karya Tracy Chevalier, edisi pertama. Sebuah amplop juga disertakan di situ berisi surat dan tiga lembar pembatas buku bergambar lukisan karya Johannes Vermeer yang sangat terkenal itu.

"Oh… itu ada filmnya juga." Kata Farina.

"Edisi pertama, tentu mahal. Mengapa Eric memberikannya kepadaku."

"A big brother." Kata Farina lagi.

Aku memberikan pembatas buku kepada Farina dan ibu, sehingga kami masing-masing memlikinya.

"Suratnya dong dibaca?" kata Farina lagi.

Kuserahkan surat itu kepadanya. Tidak ada rahasia antara aku dan Eric demikian pula ibu dan Farina bebas mengetahuinya.

Surat itu hanya menyatakan kekecewaan Eric karena aku pulang terlebih dahulu dan tidak sempat mengajakku jalan-jalan lebih banyak.

"Apa ada manfaatnya kamu pulang lebih awal?" tanya ibu.

Aku menatap matanya tanpa menjawab. Susah menjawabnya sebab aku tidak tahu apakah aku diuntungkan dengan memergoki perbuatan Kenny, atau aku sia-sia membeli tiket baru dan meninggalkan rencana di Belanda hanya untuk menemukan kekecewaan. Aku menunduk merapikan kertas-kertas bekas pembungkus hadiah.

Ibu menguap dan mengatakan mengantuk.

"Baiknya kita pergi tidur lebih cepat, ini Ryan juga sudah tertidur." Anak itu masih mendekap boneka baru di dadanya dan tangan yang satunya memegang mobil mobilan.

Setelah berada di kamar seorang diri, aku mengirim pesan kepada Eric untuk menyampaikan terima kasih atas oleh-olehnya.

"Bukunya tentu mahal, edisi pertama, mengapa tidak menjadi koleksi pribadi?" tulisku.

Pesan terkirim namun belum dibaca. Mungkin dia sedang sibuk. Kulihat status WA Eric, dia sedang berdiri di depan bus dengan menggendong tas punggung yang lumayan besar.

"Duty call" tertulis di foto tersebut.

"Where are you going Eric?" kususulkan pesan berikutnya. Nanti jika dia sudah ada waktu pasti akan membalas. Dia bepergian dengan bus, membawa tas lumayan besar.

Baru saja ponsel kuletakkan ketika ada nada pesan masuk. Cepat-cepat aku melihatnya, berharap dari Eric, tetapi ternyata Nuggie.

"Maaf sudah malam, aku mendapat informasi Otty bekerja di penerbit competitor kita." Tulisnya.

"Tidak masalah selama dia tidak berlaku curang." Balasku.

"Besok akan kupastikan di kantor. Bagaimana Tante Silvi? Apa ada kabar baru?"

Nuggie pasti ingin mendengar kabar tentang hubungan ibu dan Jan.

"Jangan jadi tukang gossip."

"Huh… sensi."

"Sampai besok Nug, semoga Otty tidak menimbulkan masalah. Bila dia dapat pekerjaan yang lebih baik, itu rezeki dia." Tulisku.

"Selamat tidur, Oray sayang."

Aku tersenyum membaca pesannya. Jika kemarin-kemarin dia menulis seperti itu aku pasti tidak nyaman, tetapi sekarang setelah mengetahui dia memulai hubungan baru dengan melli, aku merasa Nuggie memang mengatakan sayang sebagai kakak dan adik.

Pikiranku segera tertuju pada Kenny. Siang tadi dia menelepon tetapi aku tidak mengangkatnya. Ada tiga kali dia menelepon. Kenny tidak menulis pesan dan tidak meninggalkan pesan suara seperti kebiasaannya.

"Ken, maaf tadi aku sibuk." Tulisku. Pesan itu terkirim tetapi belum dibaca juga.

"Dri, bagaimana keadaanmu? Sudah sembuh total?" aku mengirim pesan kepada Adriana meskipun tahu di tempatnya pasti sudah lebih larut karena zona waktunya dua jam lebih dahulu dari zona waktu di tempatku.

Tetapi Adriana segera terlihat menulis jawaban.

"Sudah sembuh, terima kasih. Bagaimana kabarmu? Beberapa hari ini Kenny di rumah saja, dia sakit."

Kutatap ponselku dengan hati gundah. Kenny sakit apa? Siapa yang merawat? Pertanyaan itu segera memenuhi pikiranku.

"Bagaimana keadaannya? Sakit apa?" aku menulis pertanyaan kepada Adriana.

Adriana tidak menjawab. Ponsel masih kugenggam menunggu balasan dari tiga orang, Eric, Kenny dan Adriana. Aku pun tertidur.

***