Hari pertama pergi ke kantor setelah tiga minggu absen, aku bersemangat. Mobil melaju di jalan raya yang hiruk pikuk dengan deru mesin kendaraan, klakson yang bersahutan dan motor yang lincah zig-zag di antara mobil-mobil… hmmm ini kotaku yang selalu hidup sepanjang hari dari subuh hingga larut malam. Kadang menjengkelkan melihat lalu lintas yang macet, tetapi seperti saran Nuggie : "nikmati saja, supaya mood-kamu terus baik dan tidak cepat tua." Hari ini aku mencoba menikmatinya.
Alam sungguh luar biasa membalas niatku. Kali ini aku tersenyum melihat pepohonan di tepi jalan, bunga Flamboyan sedang bermekaran, bagi api yang membara di puncak pohon. Suara klakson yang berisik pun menjadi terdengar bagaikan musih yang menyemangatiku.
Pak Jo yang menyupir juga tertawa gembira karena secara berturut-turut dapat lampu hijau pada tiga perempatan yang kami lalui.
"Mujur sekali hari ini." Katanya.
Berhenti karena lampu merah sering membuat kesal karena harus mengantri lama.
Di depan ruang kerja Yani berdiri sambil tersenyum lebar, matanya ikut berbinar.
"Mbak Laura, kemarin ruangan sudah saya bersihkan, sudah disemprot anti-serangga dan jendela serta pintu sudah saya buka satu jam yang lalu. Silakan masuk, bersih dan segar." Tangannya mengarah ke pintu. Dia juga terlihat bersih, segar serta harum.
"Terima kasih Yani. Baik kerjamu." Aku masuk dan menghargai pekerjaannya.
Ruang kerja terlihat bersih, lantai dan permukaan mebel bersih berkilat, jendela kaca juga kinclong dan ada pot monstera serta sansiveira di sudut ruang, membuat suasana segar.
Aku duduk dan meletakkan tas.
"Pak Nuggi sudah datang?" tanyaku pada Yani yang masih merapikan buku-buku di atas meja. Dia tidak akan berani memindahkan buku-buku itu, melainkan hanya merapikan tumpukannya dan mengelap debu-debunya.
"Sudah. Saya akan beritahu Pak Nuggie bahwa Mbak Laura sudah datang, sekalian mengambilkan minum. Mau kopi atau teh?"
"Kopi dengan sedikit susu. Terima kasih."
Yani harus selalu bertanya pilihanku karena aku akan meminta minuman yang berubah-ubah setiap hari sesuai selera. Tidak sama dengan ibu yang selalu minum teh.
Tidak berapa lama terdengar langkah cepat, dua ketukan di pintu dan Nuggie berdiri tepat di depanku.
"Laura, kangen sekali. Kamu terlihat agak kurus? Tante Silvi belum pulang?" Nuggie mendekat dan memberi satu ciuman di pipi kanan lalu menepuk bahuku.
"Hm…" aku merogoh tas dan mengeluarkan bungkusan kepadanya.
Nuggie menerima dan duduk di sofa sambil membuka oleh-oleh dariku.
"Ibu mememperpanjang visa dan menikmati Eropa bersama teman baru kami, Clemence dan Jan ehhh calon suami ibu."
Bungkusan terbuka, terlihat wajah Nuggie yang gembira.
"Di dalamnya ada lembaran euro atau tidak?" katanya sambil membuka dompet kulit buatan Italia yang kubeli untuknya.
"Isi sendiri."
"Ah… ini parfum kesukaanku pula." Mata Nuggie menyipit saat dia membuka tutup botol parfum dan menyemprotkan parfum ke pergelangan tangan kirinya.
"I know it."
"Maaf aku baru bisa masuk hari ini. Aku akan segera selesaikan proofread buku Hendra." Kataku dengan rasa bersalah.
"Dia sudah menunggu karena ingin launching buku pada pekan depan, saat ulang tahun. Bisa kamu selesaikan proofread hari ini?"
"Kuusahakan. Sebaiknya aku segera bekerja sekarang." Kataku sambil menghidupkan computer.
"Nanti kita makan siang bersama, sambil aku ceritakan rencana kerjasama dengan orang-orang di Belanda."
"Okay, selamat bekerja." Nuggie meninggalkan ruang kerjaku. Suasana hati Nuggie sedang baik dan dia tampak segar.
Editing buku Hendra dikerjakan oleh pegawai magang, Melli. Pekerjaannya cukup rapi sehingga tidak banyak koreksi yang harus kulakukan. Sebelum waktu makan siang naskah buku tersebut telah selesai kuperiksa. Aku mengirim kembali naskah tersebut kepada Nuggie melalui email disertai persetujuan untuk membuat dummy.
Tanpa terasa sudah tiba waktu makan siang. Aku mengajak Nuggie makan siang di luar kantor. Rasanya ingin banget makan nasi padang, terutama rendang dan rebusan daun singkong serta sambal ijo. Tetapi masakan padang tidak bisa dinikmati sambil ngobrol serius sebab perhatian akan teralihkan untuk makan dengan tangan, apalagi semua pengunjung di rumah makan padang biasanya makan dengan cepat.
"kita makan chinese food, pingin ayam lemon atau sapi lada hitam. Nasi rendang nanti kubeli waktu makan malam," kataku.
Nuggie tidak banyak memilih jadi dia mengikuti saja kemauanku.
"Kita dapat kontrak kerjasama menerbitkan buku resep 101 nasi goreng. Aku ingat kita punya naskah buku 33 resep nasi goreng, hubungi penulisnya untuk membuatnya menjadi 101 resep." Kataku.
"Gila! Belum tentu dia mampu." Nuggie membelalak.
"Pasti bisa, menu anak-anak, dewasa, lansia, kegemaran cowok, cewek, tambahan citarasa makanan daerah, permainan warna alami, manfaatkan buah… dan seterusnya."
Nuggie menggelengkan kepalanya.
"Kuakui daya khayalmu luar biasa. Aku akan sampaikan kepada penulisnya."
"Terima kasih untuk pujiannya, eh jangan lupa satu resep dengan keju dan itu lo… ada lagu jadul Belanda-Indonesia berjudul 'Geef mij maar nasi goreng', buat satu resep diberi nama itu, nasi goreng dengan telur dadar dan kerupuk. Juga sedikit cerita tentang lagu tersebut."
"siap komandan!" Nuggie bercanda.
Makanan pesanan kami disajikan. Aroma nasi hangat yang menguap dari mangkuk nasiu seketika membuatku semakin lapar. Nasi putih hangat selalu menerbitkan selera makan. Aku tidak pantang nasi seperti gadis-gadis sekarang.
"Makan yang banyak, kamu semakin kurus." Kata Nuggie.
"Sebenarnya selera makanku bagus, akhir-akhir ini hanya makanku tidak teratur."
Aku ingat Eric kemarin juga menegurku untuk makan lebih banyak. Kufoto makanan di depanku dan kukirim kepada Eric.
"My lunch today."
"Ray, ehm ada kabar kurang bagus, bulan depan Otty resign, kita mesti cari penggantinya. Untuk sementara aku sudah mendapat illustrator freelancer."
Aku agak terkejut mendengar kabar tersebut.
"Apa dia bilang alasannya?"
Nuggie menunduk mengaduk nasinya lalu menyuap sesendok penuh makanan ke dalam mulutnya. Aku menunggu dia mengunyah dan menelan.
"Ceritanya panjang. Ada hubungan dengan kejadian peluncuran buku dr. Herliana." Kata Nuggie setelah menelan kunyahannya.
Aku menegakkan punggung dan menunggu Nuggie melanjutkan ceritanya.
Suatu hari Nuggie mengajak bicara Otty dan menanyakan tentang insiden vas bunga yang terguling tersebut. Dengan caranya sendiri Nuggie berhasil membuat Otty mengakui dia sebagai pelaku yang menggulingkan vas bunga sehingga airnya menyiram tumpukan buku. Otty sengaja memberi kesan Melli sebagai pelakunya.
"Mengapa dia menyudutkan Melli?"
Secara pribadi aku kurang suka pada Melli tetapi tidak adil rasanya melihat gadis muda itu dijadikan kambing hitam oleh orang lain.
"Cemburu."
"What???"
Nuggie batuk kecil membersihkan tenggorokannya, minum Chinese tea dari cawan porcelain warna putih.
"Otty mengaku kepadaku, dia menyukaiku dan tidak nyaman dengan sikap Melli yang terang-terangan mendekatiku." Otty dan Nuggie dulu teman kuliah. Nuggie juga yang mengajak Otty bergabung di perusahaan kami.
"Ampun gusti! Rupanya kamu punya banyak penggemar."
Nuggie menggelengkan kepala dan melanjutkan makan.
"Tetapi mengapa sekarang dia harus mundur? Kamu toh belum memutuskan memilih yang mana? Di antara mereka berdua…"
Kulihat mata Nuggie menatapku tajam dan alisnya terangkat. Aku berharap dia tidak menyatakan cintanya kepadaku seperti yang lalu. Dia membuka mulutnya menutup lagi, seperti sedang menyusun kata-kata.
"Wow… sudah… pilih, Melli?"
Nuggie mengangguk.
"Dia gadis yang baik, kamu akan melihat transformasinya sejak kamu tinggal."
"So soon… selamat ya. Pekerjaannya juga bagus."
"Jika nanti kamu menikah dengan Ken, kami akan menjadi pendamping kalian." Kata Nuggie membuat aku cemberut.
"Mengapa mulutmu itu?"
"Tsk… aku belum tahu kapan menikah. mungkin kamu lebih dulu." Kusudahi makan siangku dan mengelap bibir dengan tisu.
"Apa yang terjadi?"
"Dia ulang lagi yang dulu."
"Bukannya istrinya sudah meninggal?"
"Perempuan lain."
"Oray… tinggalkan saja dia! Aku tidak ingin kamu mempunyai pernikahan yang menyakitkan."
"Tidak sesederhana itu. Aku masih mencintainya."
Nuggie segera berbicara panjang tentang pernikahan, memilih jodoh dan tentang keluarga. Aku tahu semua yang dikatakannya dan tentu saja ingin mendapatkan kehidupan yang baik, tetapi cinta kepada Kenny begitu kuat. Pesona Eric pun tidak mampu menggoyahkan cintaku kepada Kenny. Aku terkenang saat – saat manis bersamanya, ketika kami pulang ke kampung orang tuanya, sikapnya yang dewasa dan matanya yang memohonku untuk tinggal.
"Cinta bisa datang kemudian, yang penting kamu mendapat suami yang baik."
Aku mengangguk setuju.
Tidak ada orang yang sempurna, semua orang pasti punya sisi baik dan sisi buruk, kelebihan dan kekurangan.
***