Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 71 - Belum memutuskan

Chapter 71 - Belum memutuskan

Lakukan dengan segenap hatimu. Sepertinya Nenek mengatakannya sambil lalu, tetapi kalimatnya terasa sangat tepat untuk kuterima pada saat aku bimbang seperti sekarang.

Eric menelepon kembali.

"Apa?"

"Ternyata kamu bisa galak. Aku belum selesai bicara sudah kamu tutup."

Eric menghadap matahari wajahnya terlihat jelas dalam layar telepon.

"Kenapa dahimu itu?" aku melihat ada bercak merah di dahi kanan Eric yang sedikit tertutup rambunya yang acak-acakan.

"Disengat tawon, untung ibu memberi lotion mujarab" katanya.

"Oh kamu sudah memakai obat andalan ibuku… sebenarnya itu andalan nenek." Kataku.

Aku yakin ibu membawa minyak obat yang terbuat dari ramuan rempah-rempah untuk mengobati gigitan serangga, luka bakar , memar dan bengkak akibat benturan sampai nyeri otot. Obat serba guna.

"Sebagai dokter, apa pendapatmu tentang minyak ajaib itu?"

Aku penasaran dengan Eric yang mengobati sengatan tawon dengan obat tradisional.

"Aku baca komposisi ramuannya, masuk akal dan bisa dipertanggungjawabkan."

Harusnya aku sudah menduga kecerdasannya.

"Laura, apakah kamu baik-baik saja? Bagaimana dengan suara-suara di kepalamu? Sudah hilang ya?" tanya Eric.

"Ya betul, sudah hilang."

"Mungkin karena kamu sudah tenang jadi suara-suara itu pun hilang."

"Oh senangnya."

"Aku belum mengerti mengapa kamu pulang tiba-tiba, padahal tidak murah untuk mengganti tiketnya lagi pula belum sempat menjelajahi Brussel. Pasi ada sesuatu yang mendesak. Kamu tidak mau cerita kepadaku?"

Oh mengapa Eric peduli? Mungkin karena aku tidak berpamitan dengannya dan dia tersinggung? Namun cara Eric bertanya bukan seperti orang yang tersinggung, melainkan benar-benar ingin mendengar alasanku.

"Aku harus mengurus rencana pernikahan." Kataku.

"Jangan bohong kepadaku."

Aku tertawa untuk menutupi kegugupanku. Aku belum bisa memikirkan jawaban yang lain.

"Mengapa harus membohongimu? Kemarin aku ke Pulau Bunga, kami membahas kelanjutan hubungan."

"Yang seperti apa?"

"Eric… kamu sudah benar-benar menjadi kakak sulung." Kataku tertawa, yang lagi lagi kulakukan untuk membuat Eric percaya bahwa aku baik-baik saja.

"Kamu masih di Brussel?"

"Tidak, kami pulang bersama-sama. Ibu pindah ke rumah Clemence, tidak lagi di hotel."

Aku menatapnya sambil tersenyum.

"Kenapa aku merasa kamu menjadi lebih akrab dengan ibu? Sekarang kamu memanggilnya ibu, bukan ibumu."

"She is great ibu. I love her." Eric berbicara sambil mengusap-usap kepalanya. Kebiasaannya ini yang membuat rambutnya selalu terlihat kusut.

"Jadi, kamu bisa merestui pernikahan ibu dan Jan?"

Eric hanya tersenyum tidak memberi jawaban.

"Tadi menelpon ada perlu apa? Ada yang bisa kubantu?"

"I miss you."

"Thanks, kakak, I miss you too." Kataku. Aku teringat Eric keluar dari kamar mandi berarung handuk. So sexy… tetapi ada Els di kamarnya dan mereka hanya berdua. Clemence bilang dia adalah pria dewasa. Wajar bila pria dewasa berada sekamar berdua dengan perempuan dewasa. Di negeri itu bahkan juga wajar bila laki-laki dewasa bersama kali-laki dewasa yang lainnya, atau parerempuan dengan perempuan. Mengapa pikiranku kacau. Tetapi aku memang uga merindukan Eric. Ini gila!

"I am glad if you happy." Kata Eric, membawaku kembali dari lamunan.

Aku mengangguk lagi.

"Apa yang bisa kubantu? Um.. untuk persiapan pernikahanmu. Ehhh Laura, kapan kalian akan menikah? aku akan ikut hadir." Kata Eric.

"Umm… masih belum dipastikan, Kenny ingin kami mempercepat, tetapi aku belum memberikan kepastian tanggalnya."

Dadaku terasa sesak ketika mengatakannya sebab dua hari lalu aku meninggalkan Pulau Bunga dengan hati yang terluka dan berniat macam-macam, pertama memutuskan hubungan dengan Kenny, lalu ada keinginan untuk membalas dendam dan sekarang aku membual tentang rencana pernikahan. Aku juga tidak akan bahagia bila Eric menyaksikan pernikahan itu. Hatiku seperti tercabik-cabik.

"Eric, maaf aku harus menemani nenek mandi berendam di ceruk… airnya masih hangat sekarang."

"Sure… selamat menikmati. Laura, smile for me…" wajahnya terlihat sangat mengharap aku memenuhi keinginannya. Wajahnya seperti wajah Ryan bila minta kue.

Aku memberinya senyuman dan mengucapkan salam perpisahan. Kumasukkan handphone ke dalam tas dan berbaring di atas kain di sebelah nenek.

"Jadi kalian sudah akrab, kapan Silvia menikahi ayahnya?" tanya Nenek sambil menutup bukunya.

"Nanti kita tanya ibu setelah dia balik." Jawabku. Aku memejamkan mata dan membayangkan wajah Eric.

"Dia dokter."

"Calon suami ibumu?"

"Bukan, Eric."

"Oh…"

"Mari kita berendam air laut!"

Aku membantunya merapikan barang-barang kami dan segera menuju ke ceruk di dekat batu karang yang menjorok dan masuk ke dalamnya. Air asin yang hangat konon baik untuk tubuh kami.

"Nen, ini adalah kemewahan."

"Aku juga sudah lama tidak kemari sebab tidak ada temannya."

Kami menikmati berendam sambil melihat beberapa ikan kecil-kecil berenang di sekitar kami. Pikiranku masih penuh tentang Eric dan tatapan matanya. Mengapa sekarang Eric banyak memberi perhatian? Apakah karena pernikahan kedua orang tua kami sudah semakin dekat dan dia merasa sudah menjadi bagian dari keluarga? Tetapi mengapa aku menginginkan fakta lain? Aku tidak bisa membayangkan ibu berpisah dari Jan dan menjadi sedih, namun aku tahu Eric tidak menginginkan pernikahan mereka.

Jika tidak ada Els, apakah aku akan berusaha memikat perhatian Eric? Apakah dia tertarik kepadaku? Cara dia menatap, hadiah topi rajut dan selendang yang dibuatnya sendiri, percakapan saat makan malam di rumahnya… aku tentu telah salah mengartikannya. Apa yang harus kulakukan untuk hubunganku dengan Kenny?

Keheningan kami dipecahkan oleh keributan, Farina bersama suami dan anaknya.

"Sudah kuduga kalian ada di sini? Aku menelponmu bicara terus kemudiaan tidak diangkat!" Mata Farina melebar bulat saat dia berkata dengan nada protes.

"Berendam seperti ini mana mungkin membaha hp?" kataku.

"Ayo Ryan, sini!" seru nenek kepada buyutnya.

"Aku mau!!" serunya.

"Lekas nak, copot sepatumu." Aku menambahkan. Ryan berumur empat tahun dan banyak bicara serta tidak bisa diam. Dia sudah melempar sepatunya ke udara dan bergegas mendatangi kami, namun Ronny, ayahnya menangkapnya.

"Lepas bajumu dulu dan juga topimu." Ronny membantu Ryan melepas bajunya.

Dia juga menyarankan Farina untuk ikut masuk ke dalam air.

"Aku akan jaga barang-barang." Katanya.

Jadilah kami berempat bermain air dengan gembira, saling memercikan air ke muka dan Farina mengajar Ryan mengapung di air asin menikmati gelombang kecil yang masuk ke ceruk.

Pada saat kami merasa cukup bermain air dan membilas dengan air bersih yang disiapkan oleh di dalam beberapa jerican (pantai ini masih belum memiliki fasilitas pariwisata), Ronny turun ke laut untuk berenang. Tubuhnya atletis, warna kulitnya kecoklatan, membuatnya terlihat kuat.

"Apakah Ronny selalu baik kepadamu? Bisa dipercaya?"

"Ya tentu saja, kenapa bertanya?"

Farina menatapku dengan heran.

"Kamu harus bersyukur bila punya suami seperti itu. Banyak laki-laki yang tidak seria."

Farina menggerakkan telunjuknya di depan wajahku.

"Oray, kamu harus cerita… pasti ada sesuatu yang terjadi."

"Soal Kenny, dia tidak bisa dipercaya."

"Oray… dia lakukan lagi?"

Aku menghempaskan tubuhku di atas pasir melihat Ryan sedang disuap pudding oleh nenek.

"Kamu harus sering kunjungi nenek, dia pasti keseptian hidup sendiri." Kataku.

"Okay. Bagaimana tentang Ken tadi?"

Kuceritakan kepada Farina tentang kiriman-kiriman foto Kenny dengan perempuan lain tetapi aku tidak menceritakan memergoki Ken bersama perempuan lain di rumahnya, juga video call mesra yang dilakukannya ketika aku di Belanda.

"Siapa yang mengirim email itu apa kamu tahu?"

"Aku bisa menduganya. Tapi belum tentu benar." Kubayangkan Hardy.

Kukatakan kepadanya bahwa aku dalam keadaan labil, dua malam yang lalu malah sempat sangat stress apalagi ketika aku mengalami sakit kepala dan mendengar suara-suara.

"Aku datang kemari untuk mencari ketenangan… aku ingin tenang sebelum membuat keputusan besar dalam hidupku."

Wajah Farina terlihat cemas dan murung.

"Tinggal saja di sini sampai kamu tenang. Nanti aku bicara dengan Nuggie."

"Thanks Na."

Meskipun usianya dua tahun lebih muda dariku, Farina menjadi lebih dewasa dalam pikiran dan perbuatannya. Dia sudah menjadi seorang istri sekaligus ibu.

"jangan simpan sendiri persoalanmu supaya tidak stress. Kapan pun kamu mau bicara, aku siap mendengar."

"Kamu adalah adikku yang paling cantik dan baik hati."

"Ohhh hentikan! K amu Cuma berbasa-basi," kata Farina sambil melempar handuk kecil mengenai bahuku.

***