Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 70 - Lakukan dengan segenap hatimu

Chapter 70 - Lakukan dengan segenap hatimu

"Lalu bagaimana? Kadang-kadang kita tidak bisa mendapatkan apa yang kita inginkan."

" Begitulah Nen… sebenarnya, dia menduda karena istrinya meninggal, lalu dia melamarku." Aku mengatakan situasi lama dan tidak berterus terang bilang bahwa Ken berkhianat kembali.

Nenek terdiam, tangannya masih mengusap kepalaku.

"Tidakkah kamu merasa dingin? Tolong ambilkan botol minyak putih itu!" nenek menunjuk botol kecil berwarna hijau yang terletak di atas meja bertaplak rajutan putih.

"Oh kemarin aku beli buku rajut untuk Farina. Bagus-bagus modelnya, aku lupa nenek juga suka merajut." Kataku sambil menyerahkan botol minyak kayu putih kepadanya.

"Sekarang sudah jarang merajut, mata sudah cepat lelah," katanya.

Aroma minyak kayu putih memenuhi ruangan. Di tempat ini perabot kayu lebih tua umurnya dari umur ibuku, lantai rumah berupa tegel bermotif, pintu dengan kaca steinglass warna warni, taplak-taplak rajutan dan pot tanaman dengan tanaman jadul. So classic…

"Aku suka rumah ini, nenek merawatnya dengan baik." Aku memberi pujian.

"Kakekmu membeli rumah ini dengan susah payah, menabung dari gajinya, Beginilah cara nenek menghargainya."

"Oh… so sweet…" aku terkenang rumah di atas bukit itu. Aku menyukai lokasinya dan desain rumahnya, tetapi kamar tidurnya sudah tercemar, aku tidak akan bisa menghapus ingatanku untuk itu.

"Nenek pasti sangat mencintai suami. Boleh tanya?"

Nenek yang bernama Yulia menggerakkan tangan mengisyaratkan padaku untuk melanjutkan pertanyaan.

"Apakah kakek setia dan jujur kepada nenek, sepanjang pernikahan? Maaf… jika tidak berkenan tidak perlu dijawab." Aku menyesal telah mengajukan pertanyaan ini.

Dia tersenyum dan menatap dengan lembut.

"Itukah yang membuatmu takut menikah? Ada hal-hal yang harus dilakukan untuk membuat hubungan menjadi baik. Tetapi seberapa pun besarnya cintamu, seberapa baiknya kamu merawat rumah tangga, mendukung suami, semuanya akan berhasil bila suami juga memberikan keseimbangan."

Kata-kata nenek agak sulit kupahami.

"Maksudnya?"

"Suami yang memberikan komitmen dan berniat baik yang akan menentukan. Maksud nenek, istri harus berusaha, tetapi semua terpulang pada suami juga."

"Aku paham."

Rasa bersalah kepada Ken agak berkurang. Tidak ada alasan atas sikapku yang bisa menjadi pembenar untuk pengkhianatannya.

"Kakekmu pria yang baik dan mengerti kedudukannya. Setiap orang memiliki semua sifat yang baik dan buruk, kebijaksanaan akan membedakan kematangan jiwa apakah seseorang cenderung memilih bersikap baik yang banyak aturan normanya atau yang buruk karena gampang dan nikmat."

Aku menghempaskan tubuh ke sofa dan mengeluarkan nafas besar. Ibu tahu, di rumah nenek aku dapat menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaanku.

"Laura, kamu jangan malah tidak berani menikah," kata nenek.

"Ya, aku pasti akan menikah. Dingin semakin menusuk, mau kubuatkan minuman hangat? Wedhang jahe?" tanyaku.

Nenek mengangguk.

Sesaat kemudian kami masih duduk di ruang tengah sambil menikmati minuman hangat.

Televisi menyala tetapi kami melihatnya sambil lalu.

"Bagaimana rasanya menua?" tanyaku penasaran, melihat nenek seperti hidup tanpa beban.

Dia terlihat berpikir sejenak.

"Hmmm… menua, bagaimana ya… biasa saja." Mata nenek berputar putar, mungkin dia melakukan intrapersonal communication.

Aku mengamati Nenek Yulia yang masih terlihat cantik dan energik.

"Ya… secara fisik pasti ada kemunduran, lebih cepat lelah, kalau berlari sudah susah, tapi secara mental nenek tidak merasa banyak berubah." Nenek mengangkat bahu dan tangannya terbuka, bibirnya mencibir.

"Menarik."

"Kalau dulu waktu muda, nenek melihat polisi, jaksa, dokter sebagai orang yang dewasa, sangat terhormat. Sekarang ya… mereka masih harus dihormati, tetapi lansia akan menanggapi secara berbeda. Dulu kan manggilnya 'Pak Polisi', 'Bu dokter'… nah sekarang manggilnya 'nak dokter'," Nenek terkekeh ketika mengatakannya.

"Aku senang nenek bahagia, tidak pernah terlihat sedih." Kataku.

Malam itu aku tidur bersamanya, untuk pertama kalinya. Pembaringannya besar sehingga kami bisa tidak bersentuhan tetapi justru saat ini aku ingin sentuhannya.

"Apa yang terjadi?" dia terlihat penasaran.

"Kamu biasa mandiri seperti Silvia, kenapa tiba-tiba manja seperti kucing."

"Nen… aku anak manusia…"

"Sini!" dia menarik tubuhku merapat dan aku menyembunyikan wajah di ketiaknya. Berada dalam dekapan nenek membuatku merasa aman dan mendapat kasih sayang. Sentuhan dan menempelkan kulit menjadi obat penenang paling mujarab. Aku bisa tidur nyenyak tanpa terbangun saat tengah malam dan tanpa mimpi buruk.

Paginya terbangun oleh sinar matahari yang menerobos dari jendela. Tidak panas tetapi silau. Nenek sudah lama terbangun sebab bekas tempat tidurnya dingin dan sprei dilicinkan. Dia selalu rapih. Di kamarnya, seluruh perabotan terliat bebas dari debu, kosmetik tersusun rapi, sedangkan satu lemari kaca berisi tas-tas dan topi… nenek penggemar topi, dia punya berbagai model dan warna, terletak bersebelahan dengan lemari pakaian dengan tiga pintu terlihat di satu dinding. Ada satu kursi sofa tunggal dan meja kopi, di atasnya lamp;u baca melengkung tinggi. Pasti itu sudut favoritnya. Foto pernikahan Nenek dan Kakek digantung di dinding, demikian pula foto pernikahan ibu dan ayahku, foto keluarga Nuggie bersama ayah dan ibu serta kakaknya.

Pada saat nenek dan aku menikmati makan pagi, Kenny menelepon.

"Laura, aku tidak ingin kehilangan kamu, " katanya. Matanya menatap mengaduk emosiku, membangkitkan cintaku kepadanya.

"Ken…"

"Besok aku ke tempatmu. Aku ingin kamu menyadari bahwa aku tidak akan bisa hidup tanpamu."

Kata-kata Ken terdengar oleh nenek. Dia mendekat dan berdiri di belakangku.

"Apakah kamu melamar cucuku?" tanya nenek.

"Ya, oma, saya akan menikahi Laura."

Kurasakan tangan nenek mendekap kepalaku dan mengecupnya.

"Datanglah dan jemput Laura di rumah nenek."

Aku tidak berkata sepatah katapun, tetapi kurasakan air mata yang hangat turun ke pipi.

Apakah hubungan kami ini sehat? Aku tidak bisa melepaskan cintaku kepadanya meski Kenny menyakitiku.

"I miss you." Kataku.

Setelah percakapan telepon kami akhiri aku mengatakan kepada nenek tentang masalahku dengan Kenny.

"Mungkin ini sihir, aku tidak bisa melupakan dia." Kataku.

"Berpikirlah positif." Nenek menepuk bahuku.

Sore hari itu nenek mengajakku keluar rumah. Guest what! Dia masih mengemudikan mobil sendiri.

"Kurasa kamu perlu menenangkan diri dengan bersenang-senang." Nenek mengarahkan mobil ke pantai. Di mobilnya dia sudah menyiapkan satu keranjang penuh makanan dan minuman.

Pantai ini tempat yang selalu kami datangi bila sedang berada di rumah nenek. Aku hafal lekuk-lekuk pantainya, tempat Farina, aku, Nuggie dan Mila kakaknya sering mencari cangkang kerang dan juga tempat kami mandi di salah satu cekungan yang terlindung batu karang.

Aku membantu nenek menggelar kain dan meletakkan keranjang piknik, buku, topi, tabir surya. Dia bahkan mengeluarkan bantal dari dalam mobil.

"Mari kita nikmati udara segar dan membaca. Kita turun mandi satu jam lagi." Katanya.

Aku berbaring di sebelahnya. Rasanya tidak percaya nenekku berumur 72 tahun. Dia masih kuat dan lincah.

"Nenek sering bepergian ya?" aku teringat dia punya klub para perempuan traveler. Setahun dua kali mereka bepergian bersama, satu di dalam negeri dan satu keluar negeri.

"Melihat hal-hal baru dan bersama teman-teman yang kita sayangi adalah hiburan yang sehat." Katanya.

"Nenek juga punya banyak hobi, merajut, gardening, bikin kue, menjahit, melukis… apa lagi?"

Dia tertawa.

"Kamu sering dengar, dulu nenek bekerja kantoran, lalu setelah melahirkan ibumu, nenek memilih tinggal di rumah dan mengurus keluarga. Tidak ada yang memaksa, itu pilihan nenek sendiri."

Matanya menerawang pada awan yang berarak di atas laut, wajahnya menunjukkan kebahagiaannya.

"Ketika anak-anak mulai besar, maka pekerjaan nenek berkurang sehingga nenek harus mencari kesibukan untuk membuang rasa bosan."

Situasinya hampir mirip dengan Gwen. Kakek juga giola kerja sehingga nenek harus mengisi waktu sendiri pada saat kakek tidak ada di dekatnya atau sedang tidak bisa diganggu.

Tetapi mengapa Gwen menjadi frustrasi dan depresi.

"Kalau kakek sibuk apakah nenek merasa kesepian dan tidak diperhatikan?"

Nenek menengok kepadaku.

"Kakekmu memberi perhatian dengan caranya sendiri. Kadang dia menyuruh sopir pulang hanya untuk mengirim selembar surat menceritakan kesibukannya, atau mengirimi kue untuk nenek dan ibumu tantemu…" lagi, matanya melihat ke kejauhan.

"Beruntunglah nenek." Kataku. Hariku sedih membayangkan masa kecil Eric dan keadaan ibunya.

"Nek… sebentar lagi ibu mungkin menikahi laki-laki Belanda itu."

"Itu pilihannya."

"Betul. Dia punya anak laki-laki, dokter. Semula dia nyinyir dan menyindir kami, tetapi belakangan aku tahu dia baik."

Kubuka ponselku untuk mencari foto Eric, Jan dan ibu dan kuperlihatkan kepadanya.

Nenek memasang kacamata dan melihat deretan foto tersebut.

"Mereka tampak bahagia."

"Siapa nama dokter itu, matanya jujur dan wajahnya memperlihatkan kebaikan hatinya."

"Begitu kan? Aku tidak salah menyebut dia baik. Namanya Eric… "

Tetapi aku teringat ajakan Eric untuk memisahkan ibu dan Jan.

"Mengapa kamu tiba-tiba jadi murung?"

Aku menggelengkan kepala.

"Tidak ada… um aku kangen ibu."

Bila kuceritakan penyebabnya aku khawatir nenek akan membenci Eric. Dia terlalu baik untuk dibenci. Dia terlalu baik.

Seperti ada kontak batin, telepon Eric masuk.

"Hi Eric."

"Kemana saja, dua hari tidak bisa kuhubungi?" Eric memprotes.

"Aku sedang berlibur di pantai yang hangat, bersama nenekku."

Aku mendekati nenek yang sedang bersiap membaca buku.

"Nenek, ini Eric, sebentar lagi jadi kakak sulung…" kataku.

"Hello…kukira lebih baik jadi suami Laura." Kata nenek tiba-tiba.

"Nen…"

Terdengar Eric tertawa terbahak seakan mengejek kata-kata nenek.

"Abaikan dia." Kututup telepon.

"Aku akan menikahi Kenny!" kataku kepada Nenek, seakan ingin menegaskan bahwa hanya Kenny laki-laki yang ada di hatiku.

"Siapa pun yang kamu pilih, lakukan dengan segenap hatimu."

Nenek kembali berbaring dan menekuni buku yang dibacanya.

***