Ibu mengatakan aku ke kampung halaman nenek, mengapa dia berbohong? Apakah salah bila berterus terang mengatakan aku menemui Kenny? Tetapi aku jadi tergugah untuk berlibur ke tempat nenek. Bisa jadi ibu sengaja membuatku untuk ingat menengok nenek, karena kami memang sudah lama tidak mengunjunginya. Rumah nenek dekat dengan pantai, rasanya cocok sekali untuk saat ini. Tanpa membongka kopor besar aku mengepak barang di kopor kecil dan bersemangat untuk melakukan perjalanan ini.
Aku naik taksi ke stasiun kereta dan membeli tiket serta bekal makanan lalu duduk di kursi peron menunggu kereta listrik yang akan membawaku ke kota pantai tempat ibu dilahirkan.
Setengah jam kemudian kereta datang dan aku sudah menghabiskan roti lapis serta susu hangat. Kursiku berada di sisi yang terkena matahari sepanjang perjalanan sehingga aku sengaja tidak melepas sunglass untuk menghindari silau ketika memandang keluar.
Banyak kursi yang kosong sebab sekarang hari kerja sehingga aku duduk sendiri, tanpa penumpang lain di sebelahku. Sekitar empat tahun aku tidak naik kereta listrik sebab tahun lalu ibu dan aku naik mobil untuk mengunjungi nenek.
Perjalanan ke kota Banyubening dengan kereta akan berlangsung sekitar enam jam lalu aku harus berganti naik kendaraan umum dengan jarak tempuh 22 km.
Pemandangan di luar memperlihatkan petak sawah, sederet rumah-rumah , ladang juga hutan jati dan suara roda besi yang bergerak cepat memberi irama yang dapat kuikuti di dalam hati.
Aku mengenang kembali hubunganku dengan Kenny mulai saat pertama kali bertemu, diperkenalkan oleh Fiona, adik perempuannya. Kami cepat menjadi akrab dan dalam beberapa bulan aku jatuh cinta kepadanya. Aku tidak memiliki saudara laki-laki sehingga ketika berada di rumah mereka, interaksiku dengan Kenny memberikan perasaan aman, terlindungi, disayangi dan kurasa aku menjadi tergantung kepadanya. Aku kagum kepadanya.
"Hati-hati, mungkin itu sekedar cinta sesaat karena kalian berada di tempat yang sama terus menerus," Farina pernah mengingatkan. Cinta kami tumbuh apalagi lingkungan sekitar mendukungnya dan aku mengabaikan peringatan dari adikku.
Aku tersenyum ketika mengingat kebodohanku terpancing oleh Eric dengan mengatakan bahwa aku jatuh cinta kepada Kenny karena dia mewarisi tanah ladang yang luas dan telah membelikanku rumah di atas bukit. Kesannya benar-benar aku ini sosok perempuan matre.
Tapi, sebenarnya apa yang membuatku jatuh cinta? Sikap Kenny yang dewasa, peduli dan terkesan memujaku… itu yang membuatku merasa punya nilai lebih. Namun semuanya runtuh ketika Kenny menikah dengan Marina. Aku menyadari bahwa diriku tidak sehebat yang kukira. Sorot mata tajam Kenny terbayang. Beberapa bulan ini cintaku bertunas kembali setelah Kenny melamarku untuk yang kedua kalinya. Nuggie terang-terangan menunjukkan sikap tidak setuju.
"Apa hebatnya laki-laki itu? Orang kampung, duda dan pernah mengecewakanmu. Kalau kamu tidak menerima lamaranku aku bisa paham, tetapi pilihlah laki-laki yang lebih hebat dariku. Kamu menyakiti hatiku dengan pilihan kembali kepada Kenny." Kata Nuggie saat itu. Nuggie bahkan lebih setuju bila aku memilih dr. Hardy, tetapi sayangnya aku sama sekali tidak tertarik kepada laki-laki itu, bahkan aku merasa pasti tidak ada kecocokan dengannya. Dia baik, tampan, punya karir yang bagus tetapi aku tidak akan pernah menyukainya.
Rasa sakit di dada muncul kembali ketika membayangkan perselingkuhan yang dilakukan oleh Kenny. Banyak orang bisa mengambil keputusan dengan cepat apabila menghadapi situasi seperti yang kualami, tetapi bagiku persoalannya menjadi rumit, aku memikirkan mama, memikiran juga Richard dan Adriana dan… masih mencintai Kenny. Apakah ini kutukan bagiku? Apa yang harus kulakukan? Aku merinding mengingat jalan pikiranku kemarin saat berniat untuk membalas dendam.
"Jangan mengambil pikiran ketika kamu sedang labil, kesal dan sedih." Eric memberikan nasehatnya. Laki-laki yang dulu sinis dan merendahkanku, ternyata sekarang bersikap baik dan menempatkan diri sebagai seorang kakak.
Aku memotret diri, selfie dan mengirimnya kepada Eric. "Naik kereta menuju rumah nenek." Tulisku. Eric belum membacanya, ini tengah malam di tempatnya, mungkin dia sedang tidak tugas jaga di rumah sakit.
Kubuka pesan Kenny yang sedari tadi masih kuabaikan. Voice note. Kebiasaan Kenny, dia malas mengetik lama.
"Selamat pagi manisku, apakah kamu merasakan gelombang cinta yang kukirim melalui sinar matahari? Kamu selalu ada di dalam pikiranku."
Aku memejamkan mata. Kemesraan ini, siapa yang menduga bahwa dengan cinta yang diperlihatkan seperti ini Kenny bisa mengencani perempuan-perempuan lain?
Apakah ini penyakit dan aku harus membantu menyembuhkannya?
"Terima kasih Ken, aku dalam perjalanan ke rumah nenek di kota Banyubening." Aku membalasnya juga dengan pesan suara.
Kucari nomor kontak Adriana dan mengiriminya pesan untuk mengabarkan bahwa aku baik-baik saja.
Kereta berhenti di stasiun tujuan. Aku keluar dari kereta dengan hati gembira. Matahari mulai condong mendekati garis cakrawala, menyiramkan warna senja yang romantis ke dinding-dinding gedung tua. Bangunan di sekitar stasiun memang gedung tua yang mungkin sudah berumur lima-enam abad.
Aku singgah ke toko roti dan juga membeli makanan siap santap supaya tidak merepotkan nenek karena aku datang dengan tiba-tiba.
Pintu pagar rumahnya belum berubah, pagar besi bercat hitam dan merah. Aku membukanya dan membuat lonceng kecil di pintu itu bergoyang mengeluarkan suara. Nenek pasti tahu ada seseorang yang membuka pintu pagarnya yang tidak pernah dikunci.
Dia berdiri di depan pintu kayu yang berukir bunga matahari dan mengawasiku berjalan mendekat.
"Anak kecil?" serunya. Nenek selalu menyebutku seperti itu meskipun sekarang aku adalah perempuan dewasa.
"Nen…"
Kami berpelukan, aku mencium kedua pipinya dan menyadari bau harum tubuhnya yang khas, aroma rempah wangi yang diramunya sendiri, mengentalkan rasa rindu kepadanya.
"Mana Sil?" tanya nenek sambil menangkup wajahku dengan kedua telapak tangannya. Mata kami bertatapan.
"Masih di Belanda. Minggu depan pulang. Aku rindu Nenek juga sepi di rumah. Senang melihat nenek sehat."
"Ayo masuk."
Kami berjalan beriringan melewati pintu jati bermotif bunga matahari. Meskipun aku menyayanginya dan mengetahui dengan pasti bahwa perempuan berusia 70-an awal ini juga menyayangiku, tetapi nenek memiliki tatakrama yang dijalaninya dengan disiplin tinggi. Sejak kecil ibu telah melatih aku dan Farina untuk bersikap sopan dan bertatakrama seperti aturan nenek, apabila kami bersamanya.
"Rumah ini terasa semakin klasik dan penuh nostalgia." Kataku saat berada di dalam.
"Kuno maksudmu?"
"Berkelas."
"Mengapa tidak berkabar? Kamarmu belum siap." Katanya sambil menunjuk sofa, mengisyaratkan aku untuk duduk di situ.
"Aku baru terpikir tadi pagi… Laura rindu nenek dan ingin tidur bersama nenek, bolehkah?" aku akan melanggar aturannya. Nenek tidak pernah tidur bersama orang lain kecuali suaminya. Ibu dan saudara-saudaranya sejak bayi sudah tidur terpisah di kamar sebelah.
Nenek melihatku dari balik kacamatanya yang juga klasik.
"Tidur bersama nenek, boleh?" aku bersikeras.
"Asal kamu tidak banyak bergerak." Bibirnya yang mulai keriput bergerak cepat membentuk senyuman.
"Terima kasih… Farina pasti cemburu." Kataku dengan berjingkrak.
"Kalau begitu jangan memberitahunya."
"Tidak mungkin… ini kemenanganku." Aku menelepon Farina, panggilan dengan video.
"Na… aku akan tidur di kamar nenek, satu pembaringan! Dia setuju." Kataku kekanak-kanakan.
"Kamu di rumah nenek? Kenapa tidak bilang? Kukira masih di Amsterdam."
"Kali ini Nenek jadi milikku." Aku menyeringai kepadanya.
"Jangan terlalu gembira. Bapaknya Ryan sedang cuti, kami bisa sewaktu-waktu menyusulmu."
"Kenapa tidak? Ayuk, kita ke pantai nanti." Nenek terlihat gembira mendengarnya. Dia pasti senang mendapat kejutan.
"Nen jangan repot, aku sudah membeli makanan untuk makan malam dan besok-besok biarkan aku yang bekerja di dapur, dibantu Bu Mimi?" tanyaku tentang perempuan yang setia menemani nenek.
"Kamu atur." Kata Nenek.
Sambil makan malam aku ceritakan perjalanan kami di Belanda dan keberhasilan pameran buku.
"Nen, apakah… um… apakah wajar bila…bila…" aku ragu-ragu untuk melanjutkan kata-kataku.
"Telinga nenek sudah kurang dengar, apa yang kamu katakan ?"
"Ibu baru umur 52 tahun… bisa dibilang masih muda," kataku.
"Ya… nenek 24 tahun lebih tua darinya, masih kuat." Kata Nenek sambil mengepalkan tangan.
"Kalau ibu jatuh cinta lagi bagaimana?"
Nenek menatapku dengan kacamata bacanya yang diturunkan sampai ke ujung hidung.
"Nenek tidak salah dengar?"
Aku menggelengkan kepala.
"Ada seorang pria berusia sepuluh tahun lebih tua dari ibu. Sepertinya mereka saling menyukai."
Nenek tertawa memperlihatkan giginya yang masih tampak rapih dan kuat. Sejak kecil nenek merawat gigi, rambut dan tubuhnya. Kulitnya masih bersih dan tentu saja sudah berkeriput namun terlihat sehat. Rambutnya masih tebal meskipun sudah memutih.
"Belum tentu jatuh cinta. Orang sudah tua biasanya saling menyukai dan mencari teman untuk berbicara. Sebaiknya kamu memikirkan dirimu, carilah jodoh."
Mata nenek mengawasiku. Dia belum tahu saat aku kembali berhubungan dengan Ken. Nenek hanya tahu aku pernah patah hati dan tidak pernah berkencan dengan laki-laki lain sejak itu.
"Kalau tidak menikah bagaimana Nen?"
" Kamu akan mendapatkan hidup yang luar biasa bila ada suami dan anak-anak, pikirkan itu."
"Tidak ada laki-laki yang kutemukan… yang bisa membahagiakanku, semua tidak bisa dipercaya." Mataku terasa basah.
"Anak kecil… lupakan dia, itu sudah lama terjadi, kamu pasti bisa menemukan jodohmu."
Nenek melambai memintaku mendekat. Aku jatuh ke dalam pangkuannya dan menumpahkan rasa sedih yang sudah tersimpan di dada beberapa waktu ini.
"Aku mencintainya Nen… meskipun dia sudah berbuat curang… aku mencintainya…" kataku di antara tangisan.
***