Saat sedang serius belajar, Naura tidak melihat kalau handphone-nya menyala dan menunjukkan ada sebuah panggilan masuk. Naura melihat siapa orang yang menghubunginya sekarang.
Om William? Ngapain Om William telepon aku?
"Bu," ucap Naura sambil mengangkat jari tangannya.
"Iya Naura, ada apa?" tanya Guru yang semula sedang menjelaskan.
"Saya izin keluar sebentar Bu, mau angkat telepon."
Guru itu menganggukkan kepalanya. "Oh iya, silakan."
Setelah mendapatkan izin dari Guru yang mengajar, Naura bangkit dari tempat duduknya dan memilih untuk menerima panggilan tersebut sebelum berakhir.
"Hallo Om, ada apa?" tanya Naura menggunakan nada bicara yang penuh dengan kesopanan.
"Naura, kamu sekarang izin untuk pulang ya."
Kening Naura dengan seketika mengernyit kebingungan. "Izin Om? Memangnya ada acara apa? Kenapa Naura harus pulang?" tanya Naura yang ingin tahu kejelasannya terlebih dahulu.
"Nanti kamu akan tahu sendiri, kalau Om kasih tahu alasannya, takut nanti kamu panik."
Mendengar hal ini malah membuat Naura kebingungan akan alasan di balik William yang memintanya untuk izin sekarang.
"Tapi Om, kenapa dulu? Naura malah jadi bingung sekarang."
"Surat izin kamu sudah diurus, nanti bilang sama Guru yang sedang mengajar kalau surat izin kamu sudah ada di BK."
"Naura harus ke Rumah Sakit mana sekarang?" tanya Naura yang sudah merasa percuma kalau dia terus-terusan menanyakan alasan kenapa dirinya harus izin di waktu sekarang.
"Rumah Sakit Kemuning."
"Ya sudah Om, Naura mau izin sekarang. Naura akan segera ke sana," ucap Naura.
"Iya."
Setelah itu sambungan terputus. Naura kembali ke Kelas dan meminta izin dengan mengatakan kalau surat izinnya sudah ada di BK, meski dia tidak tahu apakah itu semua benar atau tidak.
Naura lebih tidak percaya kalau apa yang sudah William ucapkan itu adalah sebuah kebohongan, karena dia tahu bagaimana sosok William.
*****
Saat keluar dari kelas, Naura begitu terdiam melihat sosok laki-laki bertubuh tinggi yang sekarang tengah melangkahkan kaki ke arah di mana dirinya berada, Naura kenal siapa laki-laki tersebut.
"Lho, kamu ngapain keluar dari kelas? Bawa tas lagi, bukankah sekarang kamu harusnya di Kelas ya? Kenapa kamu keluar? Mau bolos ya atau kamu mau ba—
"Pulang," potong Galang.
Kening Naura mengernyit mendengar satu kata yang baru saja Galang ucapkan. "Pulang, kok pulang sih? Harusnya kamu kan belajar sekarang? Kenapa kamu malah mau pu—
"Nganter lo." Dengan singkat Galang menjawab.
"Memangnya aku mau ke mana?" Naura malah bertanya dengan menggunakan nada bicara yang begitu polos.
Naura seolah lupa kalau sekarang dia akan pergi ke Rumah Sakit sesuai dengan apa yang sudah William sampaikan.
"Lo disuruh ke Rumah Sakit kan sama Bokap gue?" tanya Galang sambil memperhatikan gadis yang pendeknya di bawahanya dengan tatapan yang serius.
Sontak Naura menganggukkan kepalanya. "Iya, aku mau ke sana. Kamu mau ikut?" tanya Naura dengan begitu enteng.
Pertanyaan Naura malah terdengar seperti sebuah ajakan, padahal tujuan akhirnya adalah menuju ke sebuah Rumah Sakit.
"Gue bukan mau ikut sama lo, tapi Bokap nyuruh gue untuk mengantar lo ke Rumah Sakit." Galang menjelaskan hal itu menggunakan nada bicara yang begitu datar.
"Oh, jadi kamu mau nemenin aku?" Naura dengan begitu polosnya malah menganggap kalau Galang akan menemaninya.
Galang menggelengkan kepalanya, dia sudah pusing bagaimana berbicara dengan Naura. "Terserah apa kata lo." Galang langsung melangkahkan kaki.
Melihat Galang yang melangkahkan kaki begitu saja membuat Naura kaget dan ikut melangkahkan kakinya. "Ih ... tunggu!" teriak Naura sambil mempercepat langkah kakinya.
*****
Rumah Sakit Kemuning.
10:04
Naura hanya mengukuti ke mana tunangannya melangkahkan kaki, karena memang dia tidak tahu ke mana tujuannya sekarang.
Sampai di Rumah Sakit, Naura tidak menanyakan ke mana dia harus melangkah, karena Galang sudah melarangnya dan mengatakan kalau dia tahu ke mana tujuannya.
Saat melangkahkan kaki menuju ke IGD, Naura sempat terdiam dan kebingungan. Naura sempat bertanya pada Galang, tapi tidak mendapatkan hasil apa pun.
"Om, ada apa ya?" tanya Naura setelah dirinya menyalami tangan William serta Istrinya.
"Kamu tenangin diri kamu terlebih dahulu ya," ucap William yang terlihat begitu mencoba untuk mengatur Naura.
Naura menarik napasnya dengan santai dan kemudian kembali menatap William. "Om lagi ngapain di sini, kenapa Om menyuruh aku untuk izin?" tanya Naura.
"Mending kamu yang menjelaskan," ucap William pada Melati.
"Sayang," panggil Melati.
"Iya Tante, ada apa?" tanya Naura dengan suara yang terdengar begitu lembut.
Melati menarik napasnya dengan begitu dalam, dia merasa tidak tega kalau harus menjelaskan apa yang sudah terjadi, tapi tidak mungkin kalau dia harus menyembunyikannya.
"Ayah kamu katanya kecelakaan, tapi kamu jangan panik. Sekarang Dokter dengan perawat sedang menangani Ayah kamu."
Menggunakan nada bicara yang begitu lembut, Melati menyampaikan hal ini. Menyampaikan alasan yang membuat mereka ada di sini dan juga alasan kenapa Naura disuruh untuk izin.
Tubuh Naura melemas saat mendengar pernyataan tersebut, dia kembali teringat akan masa lalunya. Bulir air mata jatuh dengan sendirinya.
"Kamu jangan nangis dulu Sayang, tenang. Ayah kamu lagi ditangani sama Dokter," ucap Melati sambil mengusap air mata yang sekarang membasahi pipi mulus Naura.
"Tante, Ayah Naura gak papa kan Tan? Naura gak akan kembali kehilangan kan Tan?" Dada Naura mulai terasa sakit.
Bayangan masa lalunya kembali muncul. Naura takut kalau dirinya akan kembali merasakan yang namanya kehilangan, Naura tidak ingin kalau hal itu sampai terjadi.
"Kamu doakan saja Ayah kamu ya, berharap kalau semuanya akan baik-baik saja."
Di sini Melati tahu apa alasan yang membuat Naura langsung melemas seperti ini dan ini juga alasan kenapa memberi tahu semua ini secara baik-baik dan begitu memikirkan perasaan Naura.
Sebelumnya Naura sudah pernah merasakan yang namanya kehilangan, waktu itu dirinya kehilangan Bundanya dan sekarang Naura takut kalau dia akan kehilangan Ayahnya.
William yang melihat wajah Naura menjadi kasihan, terlebih dirinya mengetahui bagaimana keadaan Ayahnya Naura sekarang.
Keadaan Ayahnya Naura jauh dari kata baik, bahkan sebenarnya kejadian kecelakaan itu sudah terjadi sejak 2 jam yang lalu di mana kecelakaan itu saat Dimas atau Ayahnya Naura hendak pergi ke Kantor.
Ya Tuhan, Naura tidak ingin kehilangan Ayah. Cukup Bunda yang Kau ambil.
Tangisan Naura tidak berhenti juga, padahal dirinya sama sekali tidak tahu bagaimana keadaan Ayahnya sekarang, tapi hatinya sudah begitu rapuh sekarang.
Memang pengalaman pahit akan terus membayangi dirinya, terlebih kalau hal yang sama kembali terjadi, karena waktu itu juga Bundanya meninggal karena kecelakaan.
Naura sudah ditinggal oleh Ibunya sejak dia baru masuk pendidikan menengah. Di saat dirinya butuh sosok wanita yang mengajarkan kedewasaan, dirinya malah harus belajar tentang keikhlasan.