"Maafkan aku, Daud. Aku enggak bisa. Aku tidak bisa menikah denganmu, sementara Andini batinnya terluka. Walaubagaimanapun, dia begitu berarti buatku. Dia sudah kuanggap sebagai saudara sendiri."
Daud mengusap bawah hidungnya. Menimbang apa yang dikatakan Mayang. Sorot mata wanita itu begitu terluka. Tentu karena sikap Daud yang terang-terangan menolak Andini. Wanita biasa yang begitu terobsesi dengannya. Beda dengan Mayang, yang menganggap Andini saudara dekat. Bahkan, Mayang menempatkan Andini sebagai skala prioritas tertinggi.
"Jika kamu tidak mau memilih Andini, maka sebaiknya jauhi aku juga. Lebih baik kamu menghilang selamanya dari kehidupanku dan juga Andini. Itu lebih baik." Mayang melanjutkan.
Mata besar Daud melebar. Seperti ingin protes dengan apa yang dikatakan Mayang. Namun, ditahannya karena melihat sorot mata Mayang yang penuh akan kesungguhan. Bagaimana wanita itu lebih mengedepankan sahabatnya dibandingkan diri sendiri. Ternyata nilai persahabatan mereka begitu dalam. Tulus. Tidak ada salah satu yang terluka. Dan Daud harus dipaksa untuk menghargai persahabatan mereka.
"Ok, kalau itu yang kamu inginkan. Lagipula, memang aku yang salah. Aku salah karena telah mengajak nikah orang yang membohongi perasaannya sendiri."
Daud langsung meraih handuk di dekat toilet kamar mandi. Menutup cepat daerah selangkangannya. Sementara Mayang tak mampu berucap apa-apa. Dia hanya melihat Daud sebentar. Lalu diam menunduk.
Mayang membanting punggungnya yang tegang ke dinding kamar mandi. Terasa dingin dan membekukan kulit.
Daud keluar dari kamar mandi. Meninggalkan Mayang dengan cepat, seolah telah muak dengan sikap Mayang.
Mayang diam di sana. Menatap bathub dengan pandangan kosong. Dia tidak bernyali untuk bertemu dengan Daud.
Pria itu benar. Mayang memang telah menipu perasaannya sendiri. Mayang yang sok mengutamakan perasaan orang lain. Membentuk dinding besar antara Mayang dan juga Daud.
Padahal kalau Mayang mau, Mayang bisa meruntuhkan dinding itu. Menyatukan perasaannya sendiri dengan Daud. Menikah. Hidup bahagia.
Namun, TIDAK BISA SESEDERHANA ITU!
Apakah Mayang tega membiarkan Andini meratap, sedangkan Andini adalah orang yang maju paling depan kalau Mayang ada masalah. Orang yang selalu didekat Mayang di saat Mayang terpuruk gila gara-gara kematian bayi di rumah sakit, ditinggalkan keluaganya, dinistakan Marwan. Semua itu yang membuat Mayang tidak bisa lupa. Betapa besarnya peran Andini di dalam kehidupannya.
Walaupun pada akhirnya, dia terpaksa untuk membunuh perasaannya sendiri. Membunuh perasaan yang mulai tumbuh membesar ketika berada di Bali ini. Momen kebersamaan dengan Daud, membuat Mayang semakin mengenal pria itu.
Mayang memutuskan walaupun dilematis.
Sekarang apa yang harus dia lakukan?
Terbang kembali pulang jelas tidak mungkin. Mayang harus menyelesaikan semuanya. Semua perasaan yang ada.
Supaya semuanya jelas. Kalau memang Daud sudah mentok tidak bisa mendekati Andini, maka pria itu harus rela jika menjauh dari Mayang. Keputusan final yang tidak bisa diganggu gugat. Daud harus menerima hal itu.
Mayang memberanikan diri keluar. Daud tidak ada di dalam kamar. Handuk yang dipakainya jatuh ke lantai.
Mayang duduk di tepi ranjang. Sekarang Mayang tahu Daud di mana. Pria itu sedang merokok di ruang tamu. Bau rokoknya tercium.
Mayang berusaha mengendalikan diri. Harus tenang. Jangan gugup. Mayang mendatangi Daud untuk membicarakan semuanya.
Mayang ingin semuanya berakhir, tapi ingin tetap berhubungan baik dengan Daud.
Tidak ada yang memiliki Daud. Lebih baik pria itu memilih wanita lain di luar dua sahabat itu. Jauh lebih baik begitu.
Daud terlihat duduk di sofa depan. Pintu dibuka lebar, sehingga angin pantai bisa masuk. Menepuk-nepuk kulit kami.
Daud sudah berpakaian lengkap. Memakai baju dan celana jeans pendeknya.
Mayang duduk di salah satu sofa terdekat. Mengatur nafas sebentar sebelum mengatakannya.
"Daud, sekali kutegaskan bahwa aku tidak punya perasaan apa-apa dengan kamu. Itulah alasanku menolak untuk menikah denganmu. Jadi yang kamu bilang bahwa aku membohongi perasaanku sendiri itu salah." Mayang menandaskan. Butuh perjuangan sekali untuk mengatakan hal ini.
"Dan aku tidak sembarangan untuk mendekatkanmu dengan Andini. Karena sahabatku itu jauh lebih mencintai kamu dibandingkan dengan aku. Asal kamu tahu saja, Andini tidak seburuk yang kamu kira. Nafsu berlebihan menurutku wajar, tapi lepas dari itu semua. Andini mempunyai perasaan tulus dan rela berkorban. Sekali dia mencintai seseorang, Maka dia tidak akan segan mengorbankan apapun."
"Tapi, aku tidak bisa memaksakan kamu. Semuanya kembali kepadamu. Yang jelas aku juga menolak kalau berhubungan asmara denganmu, karena aku sama sekali tidak memiliki rasa denganmu. Tolong hargai keputusanku ini, Daud. Tapi, meski begitu aku minta kita tetap berhubungan baik ya, kamu jangan membenciku."
Daud menoleh sesaat. Lantas, membuang pandangannya. Dia diam. Mengusap bawah hidungnya lagi. Rokok di tangannya masih tetap menyala. Pria itu tidak tahu betapa gemuruhnya hati Mayang sekarang. Atau mungkin hati pria itu juga bergemuruh.
Yang lebih menyakinkan dari itu adalah Mayang yang tidak menangis. Tidak ada mata yang sembab. Mata yang merah. Mayang memang udah meneguhkan hati. Sudah bertekad dari awal.
Daud tetap diam. Tidak mengucapkan sepatah katapun. Mayang kembali menghela nafas panjang. Ini adalah momen bahagia Daud. Pria itu baru saja berusia tiga puluh tahun. Dan sebuah tragedy langsung terjadi. Terjebak di antara dua wanita.
"Setelah kamu menolak menikah denganku, Menolak niat suciku untuk mempersuntingmu, dengan gampangnya kamu bilang ingin tetap menjalani hubungan baik denganku?"
Mayang terpaku karena pada akhirnya Daud mau mengeluarkan kata-kata. Walau terdengar nyelekit dan menikam. Pria itu secara gamblang ingin melamarnya dengan kesungguhan hati, Terus ditolak mentah-mentah. Pasti sakit sekali. Dan Bodohnya Mayang malah meminta hubungan mereka baik-baik saja. Mana kepekaan hati Mayang.
Pria itu bangkit dari tempatnya. Menghunus tatapan tajam sesaat, baru kemudian melangkah lebar meninggalkan Mayang. Mayang sampai terhentak karena suara pintu depan yang dibanting. Pertanda kemarahan Daud yang sudah diubun-ubun.
Disaat itulah, airmata Mayang berhamburan. Segala pedih yang tertahan tercurah sudah. Di sini, bukan soal perasaan Andini yang perlu diperhatikan. Daud juga. Pria itu juga tidak kalah sakitnya. Semuanya karena Mayang.
Mayang menjatuhkan diri di atas ranjang dengan air mata yang bersimbah. Menangis sejadi-jadinya memecah kesunyian ruang kamar itu.