Mayang selesai mandi ketika dia berhadapan dengan Daud yang sedang menyandarkan tubuh besarnya di dinding teras. Dia tampak mendongak sambil memejamkan mata. Asap rokok mengepul dari mulutnya. Terlihat kacau sekali pria ini. Entah apa yang dia pikirkan.
Mayang lewat begitu saja. Dia sempat mencuri pandang ke Daud yang hanya menggunakan boxer. Memang udara perkampungan pinggiran kota itu cukup panas. Kalau boleh jujur, Mayang pun tidur juga tidak menggunakan dalaman saking panasnya. Kipas yang sudah rangsek tidak cukup untuk mengusir hawanya.
Baru saja, Mayang melepas handuk di dalam kamarnya. Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk.
"Daud?" Mayang menebak.
"Benar, Bu. Boleh bicara sebentar."
Mayang tercenung sesaat. Kira-kira apa yang akan dibicarakan berondong gagah itu di saat sedang gundah seperti itu. Apa mungkin untuk menghilangkan masalahnya, Daud hendak mengajaknya bercinta?
"Bicara apa? Ini sudah malam?"
Terdengar Daud mendecak. Nada suaranya frustasi. Mayang menjadi takut.
Mayang segera mengganti pakaian dengan yang tertutup. Meskipun, sebenernya itu tidak bisa menutupi kemolekan tubuhnya.
"Ada apa Daud?" Mayang membuka sedikit pintunya.
Daud memandang sendu ke arah Mayang. Matanya yang besar itu tidak lagi menyala penuh nafsu.
"Saya mau curhat, Bu."
Mayang melongo. Nyaris tawa terlempar dari mulutnya. Seorang begajulan seperti Daud ternyata bisa galau juga?
Mayang berdehem. Mengendalikan diri supaya tidak tertawa. Tidak ingin membuat perasaan Daud bertambah kacau.
"Boleh, tapi, kamu harus pakai baju."
Daud menunduk. Melihat perawakannya sendiri. Dia tidak sadar apa kalau Mayang sedari tadi menahan nafas karena melihat tonjolan yang mencuat itu. Tidur saja segitu. Gimana kalau….
"Baik, Bu. Tunggu sebentar."
Pria itu melangkah dengan langkah gesit menuju kamarnya. Tidak berapa lama, dia sudah berganti dengan kaos putus lengan dan celana pendek. Terlihat casual di mata Mayang, sekalipun harus menunjukan pundak kokoh dengan lengan besar berotot menjuntai. Ih, bisa-bisanya Mayang berkhayal menyandarkan kepala di sana.
"Ayo duduk, Bu."
Mayang yang sedari tadi menunggu di ambang pintu menurut. Dia hendak duduk tapi diurungkannya saat Daud mulai menyalakan rokoknya lagi.
"No smoking!"
Daud menyimpan lagi batang rokok itu di kotaknya. Begitupun juga dengan lighter yang disingkirkan jauh-jauh di samping.
Mayang belum juga mau duduk. Daud yang faham agak sedikit menggeser tubuh besarnya. Sekarang mereka duduk dengan jarak setengah meter.
"Mau curhat apa? Saya sudah mengantuk."
Mayang berkata tanpa menoleh ke Daud. Sejujurnya, dia serasa mau melompat kegirangan bisa duduk berdua dengan Daud. Betapa tidak! Pria yang dia intip. Tubuh sempurna. Alat vital yang menggoda. Belum lagi cairan-cairan yang dikeluarkan di balik pintu kamar mandi tadi, masih terngiang-ngiang di benak Mayang. Panas dingin dia dibuatnya.
"Hubungan saya dan Riyanti tidak direstui."
"Hah?" Mayang refleks menoleh ke Daud. Bagaimana Mayang tidak terkejut. Sudah diajak tidur bareng, tapi enggak direstui.
"Ehem, kok bisa?" Mayang menurunkan nada bicaranya. Bersikap biasa. Well, dia tidak boleh terlihat heboh dengan apapun yang dikatakan oleh Daud. Mayang harus memposisikan sebagai kakak yang lebih dewasa atau ibu. Mayang bersikap seperti itu supaya Daud merasa ada jarak dan bisa lebih menghormatinya.
Walaupun sebenernya dia sangat menyukai berita ini. Baguslah kalau Daud tidak jadi dengan wanita murahan itu. Wanita yang tidak bisa menjaga harga dirinya sendiri. Udah gitu bar-bar lagi. Cih!
"Beda keyakinan, Bu."
Mayang speechless. Kalau sudah menyangkut keyakinan susah.
Namun, Mayang berusaha mencari kalimat terbaik. Apalagi saat melihat wajah Daud yang kalut.
"Kalau menurutmu sendiri bagaimana, Apa masih ingin memperjuangkan?"
Mayang terkejut saat wajah Daud menoleh ke arahnya. Tatapannya nanar dengan air mata menggenang.
Duh Gusti, sebrengsek-brengseknya pria, ternyata mereka punya sisi lembut juga. Terlebih kalau sudah menyangkut soal hati. Kalau dilihat dari tatapan matanya. Daud jelas tidak main-main dengan wanita itu. Meskipun sudah banyak wanita yang dia ajak main-main. Namun, untuk yang satu ini sepertinya Daud sangat serius.
"Saya mau memperjuangkannya, Bu. Sudah main hati aku sama dia. Saya ingin dia menjadi istri saya selamanya."
Mayang terharu mendengarnya. Jujur. Penuh tanggung jawab. Dan tidak dibuat-buat. Gentleman sejati. Siapapun wanita pasti akan meleleh kalau diperjuangkan seperti itu oleh cowoknya. Tapi, entah kenapa Mayang tidak rela kalau wanita itu adalah Riyanti. Wanita itu perangainya terlalu buruk. Urakan. Mayang curiga sebenernya Riyanti tidak bawa hatinya kepada Daud. Tujuan wanita itu hanya untuk bersenang-senang saja.
Mayang bisa membaca. Sebagai sesama wanita. Apalagi dia lebih dewasa. Riyanti itu adalah tipikal wanita yang mau-an kepada semua pria, alias mau sana mau sini. Gampangan. Tidak menutup kemungkinan kalau wanita itu bisa berselingkuh tanpa Daud tahu. Memang murahan.
Berbeda dengan Daud yang sepertinya benar-benar sungguh-sungguh ingin memperistri Mayang. Dia sudah meninggalkan kebiasaan lamanya demi fokus kepada Riyanti.
Namun kembali lagi, ini soal prinsip. Tidak bisa dipaksakan, apalagi kalau membina rumah tangga.
"Kalau menurut saya, coba bicarakan berdua. Walaubagaimanapun, kalian yang akan menjalani. Kalau memang sudah sama-sama mantap pasti ada jalan." Mayang berusaha sebijak mungkin. Walaupun batinnya bertolak belakang. Menolak keras bersatunya Daud dan wanita ular itu.
"Do'akan supaya ada jalan ya, Bu." Daud berkata. Mayang merasa dianggap ibu oleh Daud. Duh, apa dia sudah setua itu. Dia masih cantik Lho, masak dipanggil itu terus.
'Lha kan emang setiap hari dipanggil Ibu. Biasanya tidak protes. Sekarang kok protes?'
Mayang menjadi bimbang akan dirinya sendiri. Di sisi lain, dia ingin menjaga diri. Menjaga hatinya yang masih rapuh gara-gara lelaki, tapi dia tidak bisa munafik kalau dia menyimpan ketertarikan dengan Daud. Bukan hanya soal fisik semata, melainkan sudah menjurus ke perasaaan.
Ingin sekali, Mayang bilang. Jangan sama Riyanti, sama aku aja. Namun, yang lebih besar dari itu adalah Andini yang sepertinya cinta mati sama Daud. Apa iya Mayang harus mengalah demi sahabatnya itu?
"Makasih ya, Bu. Sudah mendengarkan curhatan saya."
"Iya. Semoga cepat ada jalan keluarnya ya." Mayang membalas singkat. Dia menjadi salah tingkah karena melihat Daud senyum. Menampilkan deretan giginya yang rapi, khas senyum iklan pasta gigi.
"Kalau begitu, saya permisi tidur dulu." Mayang berpamitan karena tidak kuat ditatap Daud lama-lama.
"Tunggu sebentar, Bu."
Mayang hendak bangkit dari tempat duduk mengurungkannya.
"Ada apa lagi?"
"Boleh tanya sesuatu enggak, Bu? Tapi, please ibu jangan marah ya?"
Jantung Mayang langsung berdentam. Ih, mau ngomong apa sih pakai izin segala. Mayang gemas. Pikirannnya sudah kemana-mana.
"Ngomong aja sih." Mayang membalas santai.
"Perasaan ibu sama saya bagaimana?"