Hideo berjalan dengan tangan kosong, hanya membawa diri yang sedang memakai jaket kulit hitam berdalam baju kaos putih, serta celana hitam panjang dan sneaker putih yang melengkapi penampilannya. Tangan kosongnya ia masukkan ke dalam saku baju sembari terus berjalan mengikuti wanita yang sejak tadi sudah menarik perhatiannya.
Setelah menolong nenek tua menyeberang jalan, wanita itu berjalan kaki menuju sebuah jalanan kecil. Lagi-lagi ia berhenti, saat melihat seorang anak kecil tengah menangis di tepi jalan tersebut.
"Hei adik kecil, kenapa kau duduk sendirian di sini?" tanya wanita itu. Hideo yang berjalan di belakang wanita itu ikut berhenti dan berpura-pura sibuk dengan handphone-nya, nyatanya, ia ikut menyimak percakapan wanita itu dengan anak kecil yang ditemuinya. Padahal, ia tidak mengerti apa yang dibicarakan mereka, namun ia bisa mengerti beberapa kata dalam bahasa cina yang wanita itu ucapkan, hanya beberapa.
"Hiks, aku takut pulang ke rumah, huaaa," balas anak kecil itu sembari menangis keras. Wanita itu menenangkannya dengan ikut duduk di sampingnya dan menariknya dalam pelukan.
"Sudah sudah, kau jangan menangis lagi, kenapa kau takut pulang? Ah! Kau takut masuk ke dalam karena gelap ya? Ayo ikut kakak, kakak akan berjalan denganmu sampai rumah," ajak wanita itu dengan senyum riangnya sembari menunjuk jalanan masuk yang memang cukup gelap.
"Bukan, aku merusakkan kotak pensilku, aku tahu Ibu pasti akan memarahiku, Ibu juga sudah tidak memiliki uang lagi untuk membelikanku tempat pensil baru," ucap anak kecil itu dengan sesekali terisak.
Hideo penasaran dengan tanggapan selanjutnya dari wanita itu, ia meliriknya dan memerhatikan gerak gerik wanita itu. Sebagai penulis, Hideo dengan pekanya bisa menangkap apa yang sedang terjadi hanya dari gambaran-gambaran kejadian serta sedikit percakapan yang ia tahu.
Wanita itu tampak diam, meskipun mengenakan kacamata hitam, Hideo bisa menangkap bahwa wanita itu tengah berpikir keras.
"Hmm, bagaimanapun, kau harus jujur dengan Ibumu, tidak boleh membohongi orang tua, setuju?" tanya wanita itu.
"Tapi kotak pensilnya?" tanya balik anak kecil itu. Ia benar-benar khawatir akan barangnya yang rusak, dan Ibunya yang akan murka.
"Begini saja!" seru wanita itu sembari menjetikkan jarinya. Hideo memiringkan kepalanya, sembari berusaha menebak, apa yang akan dilakukan wanita itu.
Wanita itu membuka tasnya, mengeluarkan sebuah pouch kain yang Hideo tahu bahwa itu berasal dari salah satu brand terkenal, yang sudah pasti cukup mahal. Wanita itu mengeluarkan semua peralatan make up-nya, lalu memasukkannya ke dalam tas. Ia lalu memberikan pouch kain itu pada anak kecil di sebelahnya.
"Pouch kain ini juga bisa dijadikan tempat pensil, kakak akan memberikannya untukmu. Dengan begini, kau bisa jujur pada Ibumu, jika dia marah, bilang saja bahwa kau tidak akan meminta kotak pensil baru," ucap wanita itu dengan senyum mengembang pada wajahnya. Tanpa sadar, Hideo ikut tersenyum.
Anak kecil itu mengambil pouch kain itu dari tangan wanita itu.
"Terima kasih kakak cantik! Aku tidak takut lagi untuk pulang, sekali lagi terima kasih, bye!" seru anak kecil itu, ia lalu berlari masuk ke dalam jalanan gelap sambil sesekali berbalik melambaikan tangan pada wanita itu. Wanita itu membalas lambaian tangannya.
"Sama-sama! Hati-hati!" seru wanita itu. Hideo tak bisa menyembunyikan senyum di wajahnya. Pertunjukan menarik, menurutnya.
Setelah kejadian itu, wanita itu kembali berjalan kaki, melewati toko demi toko yang menjual barang, bahkan makanan ataupun minuman yang beragam setiap tokonya.
Wanita itu berhenti lagi, ketika ia melihat seorang Bapak tua penjual bunga plastik, yang masih sibuk menawarkan pejalan kaki. Tidak ada yang membeli bunganya, padahal hari sudah mulai memasuki malam.
Hideo ikut berhenti.
Wanita itu mendekati Bapak tua itu.
"Pak, aku mau membeli semua bunganya, wah bunganya cantik sekali," ucap wanita itu dengan memberikan pujian yang tampak begitu tulus.
Ekspresi Bapak tua yang tadinya sudah kelelahan berubah seratus delapan puluh derajat, ia kini tampak begitu sumrigah akibat wanita yang ingin memborong semua jualannya.
"Serius? Kau mau membeli semuanya? Semuanya tanpa tersisa satupun?" tanya Bapak tua itu memastikan. Wanita itu meyakinkan dengan mengangguk begitu antusiasnya.
"Tapi aku tidak bisa membawa semuanya, maaf, tapi jika tidak merepotkan, tolong bagi pertangkai untuk orang-orang yang lewat fi sini, aku akan mengambil satu saja karena sangat cantik," ujar wanita itu sembari mengambil setangkai bunga merah. Ia lalu memberikan sejumlah uang pada Bapak tua itu.
"Tidak merepotkan! Tentu saja tidak! Aku akan membagikannya, terima kasih banyak!" seru Bapak tua kegirangan. Ia menerima uang itu dan mengucap syukur.
"Terima kasih," ungkap wanita itu lalu berjalan pergi.
"Eh tunggu! Kembalianmu!" seru Bapak tua memanggil wanita itu.
"Simpan saja Pak! Jangan pulang terlalu malam!" seru wanita itu sembari terus berjalan dengan riang dengan membawa setangkai bunganya.
Hideo kembali tersenyum melihat betapa baiknya wanita yang diikutinya itu.
Hingga saat Hideo ingin kembali mengikutinya, ia melihat Bapak tua tersebut membagikan bunga-bunga jualannya pada pejalan kaki yang melewatinya. Hideo bergegas menghampiri Bapak tua itu sembari menunggu antrian orang-orang yang sudah berkerumun meminta bunga.
Setelah mendapatkan setangkai bunga, Hideo ingin kembali mengikuti wanita itu, sayangnya, ia kehilangan jejak wanita itu begitu saja. Hideo menghembuskan napas kesalnya, ia seperti kehilangan tontonan menariknya.
***
Akhirnya Hideo memilih untuk memasuki salah satu cafe yang tak jauh dari penjual bunga itu, ia tiba-tiba merasa haus. Hideo merasa beruntung, sebab ia membawa dompetnya dan sudah menukar beberapa mata uang Cina.
Hideo berjalan memasuki cafe, ia langsung menuju kasir untu memesan minumannya.
"One ice cappucino with less sugar please? Ah just add two until three ice cubes," ucap Hideo dengan sopan. Karyawan cafe itu terdiam melihatnya, jelas saja, ia tidak tahu bahasa Inggris.
Hideo langsung peka.
"Ah, orang ini tidak mengerti maksudku," gumam Hideo dengan bahasa Jepangnya.
"Tolong ice cappucinonya satu, gulanya jangan banyak dan es batunya cukup dua atau tiga saja ya," ucap seorang wanita berkacamata hitam dan memakai masker hitam yang tiba-tiba muncul di sebelah Hideo. Ia memesan minuman Hideo demgan tepat menggunakan bahasa Cina.
Hideo terdiam melihatnya.
"Bayar, aku sudah memesankan minumanmu," ucap wanita itu dengan halus menggunakan bahasa Jepang.
"Ah iya," ucap Hideo gugup. Ia lalu membayar pesanannya. Mereka berdua bergeser untuk memberikan tempat orang berikutnya yang sudah mengantri untuk memesan.
Hideo merasa mendapatkan jackpot, wanita yang diikutinya sejak tadi dan menghilang, tiba-tiba muncul di sebelahnya, bahkan dengan lancarnya menggunakan bahasa Jepang. Bedanya, kali ini wanita itu sudah melengkapi penampilannya dengan tambahan sebuah masker.
"Terima kasih," ucap Hideo, ia tidak ragu untuk berbicara dengan bahasa Jepang, sekalian menguji seberapa handal wanita itu menguasai bahasa negaranya.
"Sama-sama," balas wanita itu datar. Ia terlihat cuek, namun tak juga pergi meninggalkan Hideo.
"Ah! Aku akan memesan minuman juga untukmu, maaf aku terlambat menawarkanmu," ungkap Hideo.
"Tidak perlu, aku tidak sembarang menerima minuman dari orang yang tak dikenal," ungkap wanita itu sembari menggelangkan kepalanya. Kali ini ia terdengar cukup dingin.
Hideo semakin yakin, bahwa wanita ini benar-benar menguasai bahasa Jepang, ia berbicara dengan begitu lancar bahkan dengan aksen yang tepat.
"Hey, bukan aku yang membuatkan minumnya. Maksudku, kau juga tidak merasa aman dengan minuman yang berasal dari coffee shop?" sindir Hideo.
Ia berhasil mengerjai wanita itu, terlihat wanita itu sedikit kebingungan untuk membalasnya.
"Bukan begitu. Itu karena kau mencurigakan!" tutur wanita itu.
Bersambung