Hideo mengernyitkan dahinya, sedikit tak terima ia disebut sebagai orang yang mencurigakan oleh wanita di hadapannya.
"Aku berbuat apa?" tanya Hideo.
Wanita itu tidak menjawabnya. Ia menyuruh barista untuk lebih cepat menyajikan minuman Hideo. Hideo menurut saja dan sibuk menatap gadis berkacamata itu.
"Silakan minumannya, selamat menikmati," ucap barista sembari menyodorkan ice cappucino pesanan Hideo.
"Terima kasih," ucap wanita itu sembari menyambar minuman Hideo dengan tangan kanannya. Tangan kirinya lalu menarik Hideo untuk berjalan mengikutinya.
Hideo diam-diam menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecil.
Wanita itu membawa Hideo duduk di sebuah meja yang berada di pojok ruangan cafe. Ia lalu memastikan tak ada siapa-siapa di sekitar mereka.
Wanita itu melepas kacamata dan maskernya.
"Kau pasti sudah mengikutiku sejak tadi kan? Aku tidak tahu kau reporter darimana, atau kau reporter media Jepang ya? Ah terserahlah, tapi tolong, jangan merilis artikel aneh-aneh tentangku, aku sudah setahun tidak bekerja, aku tidak ingin imageku semakin buruk di mata publik," ucap wanita itu cepat.
Hideo tertegun melihat keindahan sepasang mata yang sedang menatap dingin padanya sembari terus berceloteh dengan bahasa Jepang yang sangat lancar.
"Hello? Hey! Kau mendengarku?" tanya wanita itu dengan suara lembutnya, ia tak lupa mengetuk meja tiga kali dengan tangan kirinya untuk menyadarkan Hideo yang terlihat sedang termenung.
"Ah iya," jawab Hideo.
"Kau harus menghargai orang yang sedang menemanimu berbicara," ucap wanita itu dengan kesalnya. Tanpa sadar, ia malah meminum minuman yang sebelumnya dipesan oleh Hideo.
Hideo tertawa pelan, ia tak dapat menyembunyikan betapa gemasnya wanita yang kini duduk di depannya.
"Kau menertawaiku?" tanya wanita itu dengan melotot, kali ini Hideo agak merasa takut melihatnya. Lalu ia menyadari, wanita ini juga memiliki sisi kuat.
"Ah maaf maaf, lucu saja, kau meminum minumanku," ucap Hideo sembari menggoyangkan tangannya.
Wanita itu membelalakkan matanya, ia tersadar, lalu buru-buru menaruh kembali gelas itu di atas meja.
"Astaga! Aku terlalu buru-buru berbicara hingga tenggorokanku terasa kering dan tanpa sadar meminum minumanmu. Maaf, aku akan memesankannya lagi," ucap wanita itu. Ia hendak memasang kembali kacamatanya namun Hideo segera menahannya.
"Tidak perlu, aku sudah tidak haus, nanti saja," ujar Hideo. Wanita itu mengangguk lalu kembali menaruh kacamatanya dengan rapi di atas meja.
"Pokoknya aku hanya memperingatkanmu itu saja, jangan menulis sembarangan tentangku, lagipula kau juga tidak lancar berbahasa Cina, bagaimana kalau tulisanmu sembarang diartikan oleh orang karena kau menulis yang tidak benar. Okay? Itu saja," ucap wanita itu dalam satu tarikan napas. Pantas saja, tenggorokannya menjadi kering.
"Maaf, tapi, kau siapa?" tanya Hideo dengan wajah penasarannya. Ia semakin penasaran, siapa wanita itu.
Wanita itu mengernyitkan dahinya. Ia meneliti seluruh tubuh Hideo, namun memang tak mendapatkan sebuah name tag bahwa Hideo adalah seorang reporter. Wanita itu lalu menyadari, pakaian yang digunakan Hideo terlalu mewah dan berkelas untuk ukuran seorang reporter yang sedang bertugas.
"Tunggu, kau, benar-benar tidak mengenaliku?" tanya wanita itu. Hideo mengangkat kedua bahunya.
"Sungguh?" tanya wanita itu memastikan.
"Aku baru kali ini berkunjung ke Beijing, bahkan aku baru tiba siang tadi. Apa ada alasan khusus aku harus mengenalimu?" tanya Hideo. Walaupun perkataannya terkesan menusuk, ia tetap bertanya dengan ramah serta senyum manis yang tak lepas dari wajahnya
"Ah hahaha, tidak, tidak," ucap wanita itu disertai tawa canggungnya, ia sungguh merasa malu.
Wanita itu buru-buru memakai kembali kacamata dan maskernya lalu bangkit berdiri dan berjalan pergi.
Hideo hendak menahannya, namun karena merasa tak enak, ia mengurungkan niatnya.
Tak disangka, wanita itu malah kembali ke meja Hideo dan mengeluarkan sejumlah uang dari dalam dompetnya, ia menaruhnya di atas meja.
"Aku tidak ingin mengutang pada orang yang tidak kukenal, ini untuk minumanmu yang sudah kuminum tadi, permisi," ucap wanita itu. Ia membungkukkan sedikit kepalanya sebagai rasa menghargai, lalu segera berjalan dengan cepat meninggalkan Hideo.
"Hey! Tunggu!" seru Hideo sembari bangkit berdiri. Namun wanita itu semakin mempercepat langkahnya.
Hideo mengejarnya keluar cafe dengan niat mengembalikan uang yang diberikan wanita itu. Namun sayangnya, wanita itu sudah terlanjur menaiki taksi dan pergi.
"Huh? Ya sudahlah. Tapi, siapa dia? Misterius sekali," batin Hideo sembari menuntun kepergian taksi wanita itu dengan senyum mengembang di wajahnya.
***
Masih di hari yang sama, dan hari sudah menyambut malam. Lorina dengan tergesa-gesa turun dari taksi yang membawanya menuju salah satu butik mewah di kota Beijing. Xiaoya sendiri sudah memerhatikannya melalui jendela kaca di dalam butik, memerhatikan Lorina yang berlarian kecil memasuki butik.
"Kenapa kau naik taksi? Bukannya mau berjalan kaki? Sudah susah-susah aku meleraimu untuk berjalan kaki, ternyata kau malah naik taksi," tanya Xiaoya pada Lorina yang baru saja masuk ke dalam butik.
"Awalnya aku memang berjalan kaki. Butik ini terlalu dekat dari rumah," ucap Lorina.
"Dekat apanya? Butuh waktu tiga puluh menit untuk berjalan! Kalau aku, aku tidak akan mau. Terus kenapa akhirnya kau malah naik taksi?" tanya Xiaoya.
"Hahaha, aku mau berjalan kaki karena sudah lama tidak menghirup udara segar. Kau sendiri yang bilang aku sudah terlalu lama berdiam diri di dalam rumah. Taksi? Hmm, panjang ceritanya. Seorang pria Jepang yang terpaksa membuatku menaiki taksi, " ungkap Lorina sembari melepas kacamata dan maskernya dan memasukkannya ke dalam tas.
Rupanya Lorina Wang wanita yang sejak tadi berinteraksi dengan Hideo Sato.
"Pria Jepang? Kau pergi berkencan tanpa sepengetahuanku?!" seru Xiaoya dengan mata membelalak.
"Bukan begitu! Ah sudahlah, kau tidak akan paham. Mana gaun yang akan kupakai besok?" tanya Lorina.
Kedatangannya ke butik malam hari ini, tidak lain adalah untuk memilih gaun yang akan digunakannya menghadiri acara peresmian kerjasama yang akan digelar oleh agensinya dan salah satu penerbit Jepang, ya, penerbit tempat Hideo bernaung.
"Tidak, tunggu dulu Lorina, aku bertanya dengan serius, aku sama sekali tidak ada masalah jika kau berhubungan lagi dengan seorang pria! Maksudku, semuanya sudah berlalu enam tahun lalu. Kau bisa memulai hubungan baru yang jauh lebih sehat sekarang," ucap Xiaoya dengan penuh kehati-hatian.
Raut wajah Lorina berubah seketika menjadi sendu, tampaknya memang ada sesuatu yang terjadi enam tahun lalu seperti yang dikatakan Lorina.
"Aku bukan pergi berkencan, hanya bertemu orang tak dikenal di jalan dan ada sedikit kesalahpahaman, sungguh," balas Lorina.
Xiaoya tiba-tiba merasa bersalah karena sudah membuat Lorina kembali mengingat potongan memori yang sudah lama ingin dikuburnya dalam-dalam. Ia membalikkan kepalanya dan memukul mulutnya berkali-kali untuk menunjukkan rasa bersalahnya.
"Hei, kau tak perlu merasa tidak enak. Mana gaunku? Bukannya kau menyuruhku kemari untuk itu?" tanya Lorina dengan begitu semangatnya. Ia peka saat melihat perubahan ekspresi Xiaoya yang merasa bersalah, dan Lorina tidak ingin sahabatnya merasa demikian.
"Tunggu sebentar, aku akan menyuruh karyawan butik membawakannya untukmu!" seru Xiaoya sembari bergerak cepat untuk membawakan gaun yang akan dicoba Lorina.
Sembari menunggu Xiaoya, Lorina duduk termenung mengingat kejadian memalukan yang baru saja dialaminya bersama seorang pria Jepang yang tidak bukan adalah Hideo. Lorina kembali merasa panas saat mengingatnya, ia bahkan berharap tidak akan bertemu pria itu lagi.
"Tapi, dia tampan juga, kenapa aku malah berpikiran bahwa dia seorang wartawan sih? Apa mungkin seorang model? Astaga Lorina! Kau berpikir apa sih, jangan macam-macam," batin Lorina dalam hatinya. Ia memukul pelan kepalanya, berharap seluruh pikiran aneh yang merasuki isi otaknya segera pergi jauh-jauh.
Bersambung.