Vero menggeleng lantas menarik Berlian ke dalam dekapannya. Dia mendekap erat seraya menghujani kecupan di pucuk kepala keponakannya penuh kasih sayang.
"Tidak, Lian."
"Sampai kapanpun aku tidak akan membiarkan semua itu terjadi! Kau adalah berlian yang akan aku jaga dengan nyawaku," tandas Vero.
"Tapi, kau melakukan hal itu pada kekasihmu, Uncle! Kau tega menjual kak Flo pada pria hidung belang! Kau benar-benar pria yang tidak memiliki hati!"
Buk! Buk!
Vero memejamkan mata saat menerima pukulan yang cukup keras di punggungnya dari Berlian. Dia membiarkan berlian meluapkan kekecewaan serta amarahnya, berharap setelah itu hatinya sedikit lega.
"Pukul aku sepuas hatimu, Lian!"
"Tapi, setelah itu aku minta kau melupakan kejadian hari ini dan bersikap seperti biasanya!" tandas Vero.
Selalu itu kalimat yang diucapkan oleh Vero ketika mereka sedang terlibat pertengkaran kecil atau bahkan pertengkaran hebat. Dia selalu meminta Berlian melupakan kejadian buruk yang dialami atau disaksikan olehnya, agar kelak tidak berdampak buruk juga pada psikisnya.
Setelah Berlian menghentikan pukulannya, tangan Vero terulur menekan gagang pintu kamar. Dia membuka seraya mengendurkan dekapannya.
"Masuk dan istirahatlah! Mbak akan mengantarkan makan malam ke kamarmu!" titah Vero.
Berlian masuk ke dalam kamar, lantas membanting pintu tepat di depan wajah Vero yang hendak berbicara lagi pada keponakannya itu.
Braaakkkk!
Vero memejamkan mata seraya melenguh berat. Dia lantas membalikkan badan, mengayunkan kakinya kembali menuruni tangga untuk melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda karena harus menjemput Berlian.
Di sebuah ruangan di dalam bangunan yang tanpa sekat dengan pencahayaan yang minim, suara musik dugem yang berasal dari speaker sangat memekakkan telinga. Ruangan kedap suara itu lebih pantas disebut club malam, ketimbang sebuah rumah.
Vero duduk diantara banyaknya wanita yang bertebaran di sekitarnya. Ada yang menunggu pelanggan, ada juga yang sedang melayani pelanggan. Pria itu tampak acuh dengan aktivitas disekitarnya, pikirannya justru tengah mengembara pada perkataan Berlian beberapa jam yang lalu.
Kalimat yang terlontar dari mulut Berlian bagaikan palu godam yang menyadarkan dirinya bila kemungkinan itu bisa saja terjadi. Bukan karena dirinya yang melemparkan Berlian pada pria hidung belang, tetapi bisa saja kemungkinan itu timbul dalam berbagai macam cara.
"Tidak! Aku pasti mampu menjaga Lian sampai nanti," gumamnya.
Pria itu menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan pikiran buruk itu. Namun tak pelak rasa takut terus menghantui dirinya akan keselamatan Berlian.
Dunia yang digelutinya saat ini sangat kejam, banyak pesaing yang ingin menumbangkan dirinya dengan berbagai macam cara, termasuk menjadikan Berlian sebagai sasaran utamanya.
Meski tidak ada hubungan darah diantara mereka, Vero menyayangi Berlian dengan tulus. Berlian bagaikan cahaya yang membawanya bangkit dari kubangan penderitaan. Sejak dirinya menemukan Berlian yang berusia 3 tahun sedang menangis diantara tumpukan sampah yang mengeluarkan bau busuk, sejak saat itulah dia berjanji akan menjadi seorang kakak, ayah, juga paman yang baik untuk Berlian.
Di umurnya yang baru menginjak 11 tahun dia harus mencari uang untuk menghidupi dirinya juga Berlian yang kala itu sudah hidup dengannya di sebuah gubuk yang terletak di area penampungan sampah.
Berawal dari mengantar serta menunggu para wanita yang mencari sesuap nasi dengan menjual diri, Vero mendapatkan upah yang tak seberapa. Kemudian meningkat menjadi perantara juga pencari pelanggan. Perlahan merangkak dan berkembang, hingga akhirnya dia mampu membuka lapak sendiri.
"Aku tahu ini salah. Bisnis yang aku jalani ini kotor dan banyak merugikan orang, tapi aku tidak memiliki pilihan lain. Semua ini aku lakukan untuk memberikan penghidupan yang layak untuk Lian," gumamnya.
Bruk!
Vero tersentak ketika tubuh seseorang tersungkur di depan kakinya yang spontan terangkat. Matanya terbelalak ketika mendapati siapa yang tergeletak tak sadarkan diri dengan keadaan mengenaskan di depan kakinya.
"Flo," gumamnya.
"Dia tidak bisa memuaskan bos kami, jadi dengan terpaksa kami memberikannya pelajaran padanya."
Vero mengerutkan kening seraya mengangkat pandangannya. Sesaat kemudian dia melenguh berat seraya mengangguk lemah.
"Ya, maafkan dia. Aku bisa mencarikan bunga lain yang lebih segar."
"Bos kami yang akan memilihnya langsung. Beliau akan datang besok malam!"
Vero kembali mengangguk. "Ya," jawabnya.
Setelah kepergian dua pria itu, Vero memberikan kode pada anak buahnya untuk membawa Flo ke tempat tinggalnya.
"Jangan sampai semua ini ketahuan oleh Lian, mengerti?"
"Baik, Bos!"
Vero mengibaskan tangannya agar anak buahnya itu segera membawa wanita yang menjadi kekasihnya pergi dari hadapannya. Dia beranjak dari duduknya, menarik secara asal salah satu wanita yang berada di sekitarnya.
"Temani aku malam ini! Aku akan membayar dua kali lipat dari bayaran mu!"
Sedangkan di sisi lain, Berlian baru saja menyelesaikan makan malamnya hendak menyimpan piring kotor ke dapur. Namun segera dia menutup kembali pintu, memberikan sedikit celah untuknya mengintip ketika mendengar suara derap langkah kaki yang menaiki tangga.
"Aku bisa sendiri. Lepaskan aku!"
Terdengar suara Flo membentak pria berbadan kekar yang menjadi salah satu bodyguard Vero.
Bruk!
"Sialan! Pria brengsek itu sudah menjual ku pada pria yang tidak memiliki belas kasihan! Dia memperlakukanku seperti binatang, setelah puas membuang ku seperti sampah! Brengsek kau, Vero!"
Terdengar suara Flo yang meracau, mengumpat serta mencaci maki Vero.
"Kau bilang mencintaiku, ini yang kau bilang cinta? Cinta apa? Cinta palsu! Busuk kau, Vero!"
Plaaakkk!
Akhhhh!
Terdengar suara tamparan keras yang disusul dengan jeritan yang melengking membuat lutut Berlian lemas tak bertenaga.
"Berhenti meracau! Bagaimana bila perkataanmu terdengar oleh nona Berlian? Tamatlah riwayatmu di tangan bos Vero!"
Berlian menyandarkan tubuhnya di dinding dengan cairan bening yang mengalir deras membasahi pipinya ketika sudah tidak terdengar lagi suara di luar. Bukan tidak terima bila pamannya mendapatkan cacian bahkan makian dari Flo, tetapi dia bisa merasakan bagaimana hancurnya perasaan Flo.
Dijual oleh kekasih yang selama ini dicintai bukanlah suatu kenyataan pahit yang mudah diterima juga termaafkan.
Bagaimana bila semua itu menimpa dirinya?
Apa dia akan kuat menghadapi kenyataan bila suatu hari nanti Vero gelap mata hingga menjualnya?
Tidak! Berlian yakin bila pamannya tidak akan tega menukarnya dengan uang.
Selama belasan tahun mereka hidup bersama sudah menjadi bukti bila Vero tidak akan sekejam itu.
"Ya, aku hanya perlu percaya pada uncle. Hanya dia keluarga juga orang yang aku percaya di dunia ini," gumam Berlian meyakinkan dirinya sendiri.
Setelah lebih tenang, Berlian kembali pada tujuan awalnya untuk meletakkan piring kotor ke dapur. Setelah mencuci piring bekas makannya, Berlian hendak kembali ke dalam kamar dengan membawa secangkir coklat panas.
Saat melewati ruang tengah, dia menoleh ke arah pintu yang terbuka menampakkan Vero yang masuk bersama seorang wanita.
Lutut Berlian terasa lemas ketika keyakinan dalam dirinya untuk mempercayai Vero, justru malah diruntuhkan oleh pria itu sendiri dengan tingkah lakunya.
"Lian, kau belum tidur?" tanya Vero. Senyuman teduh dia berikan pada Berlian sembari menjauhkan tangannya dari pinggang ramping wanita yang datang bersamanya.
Berlian hanya menanggapi pertanyaan Vero dengan tatapan dingin. Kentara sekali bila dirinya tidak menyukai tindakan Vero saat ini.
"Aku tidak peduli apa yang kau lakukan di luar, Uncle! Tapi, tolong jangan mengotori tempat tinggal kita dengan kelakuan busuk mu!" desisnya penuh peringatan.