"Rezvan, tidak bisakah kamu membiasakan dirimu untuk keluarga baru mu ini?" Binar terus mengomeli putra remajanya itu.
Nala menununduk dan merasa tidak nyaman atas situasi saat ini. bahkan dia merasa tidak enak karena harus tinggal di tempat ini juga.
"Ayah, aku sudah melakukan apa yang ayah mau. Tidak bisakah ayah membiarkanku bebas melakukan apa yang kumau," balas Rezvan dengan nada yang tidak peduli ditambah lagi Rezvan sama sekali tidak memakan makanannya dan hanya meminum teh saja.
Binar menjadi kesal dan meletakan sendoknnya dengan kasar ke piring hingga menimbulkan suara dentingan yang cukup keras.
"Mas, tenang dulu. Lagipula apa yang dikatakan Rezvan ada benannya, mungkin dia memiliki sesuatu yang ingin dia lakukan di masa depan," sahut Kirana dengan sangat lembut, dia ingin sekali menengahi pertengkaran ini.
"Aku sudah sarapan Ayah. Aku akan berangkat ke kampus sekarang." Rezvan bangun.
"Kau akan pergi ke kampus bareng kakakmu," ujar Binar lagi yang terus bersikap tegas pada anaknnya.
"HA!" Rezvan langsung menganga terkejut, tatapanya beralih kearah Nala yang hanya diam dan makan, Nala benar-benar menunjukan sikap tidak tahuannya bahkan seperti bersikap tidak peduli.
"Aku akan berangkat besama Dirga seperti biasa! Apa yang dimaksud kakak? Semua hanya omong kosong. Ini semua yang ayah mau bukan, bahkan Ayah juga menghukum bunda di depan dewan tanpa ada rasa penyesalan dan malah menikah lagi dengan wanita tua ini." Rezvan melangkahkan kakinya pergi mengabaikan Ayahnnya yang terus memanggil-manggil namanya.
"Dasar anak itu. Dia benar-benar pembangkang seperti ibunya!" Dengus Rezvan sambil kembali duduk dan mencoba tenang.
"Mass, tenang dulu. Lagian ini mungkin umur-umurnya Rezvan memberontak, jadi jangan terlalu keras." Kirana beralih duduk di sebelah suaminya dan memberikan suaminya itu segelas air untuk tenang.
"Gila, kekanak-kanakan banget sih. Padahal taun ini dia masuk kuliah kan. Dia bukan anak SMP juga," Dengus Nala dengan nada yang begitu kecil, Nala jadi ikut-ikutan kesal dengan sikap Rezvan barusan.
Nala pergi ke kampusnya diantarkan supir, Nala masih merasa asing dengan kemewahan yang dia dapatkan. Dia hanya berusaha tetap bersikap seperti dirinya yang dulu.
"Pak, nanti enggak usah dijemput yah. Aku bakal pulang pake taksi aja," ujar Nala dengan sangat perlahan.
"Lho, kenapa Non? Biar saja jemput saja, sudah kewajiban saya jemput anggota keluarga." Balas supir tersebut yang miliki umur 50 tahunan.
Nala terdiam dan bingung karena tidak bisa menolak.
"Yaudah nanti Nala telfon pak kalau Nala mau pulang," ujar Nala.
"Yaudah, hati-hati Non." Supir itu tersenyum dan pergi.
Nala menghela nafasnya lega, bukan tanpa sebab dia ingin pulang sendiri, tetapi karena yang sebenarnya adalah Nala pergi bukan untuk kuliah tetapi dia harus melakukan kerja paruh waktu di kafe milik seniornya hari ini, Nala tau sendiri keluarga barunya yang kaya itu tidak mungkin mengizinkannya untuk bekerja.
Nala menunggu seniornya di depan gerbang kampusnya.
Beberapa saat kemudian seorang pria yang menggunakan helm dan jaket datang dengan motor ninja yang ia tunggangi.
"Tumben di depan kampus, padahal hari ini kamu enggak ada kelas kan?" Tanya seniornya itu sambil memberikan Nala helm.
"Iya, engga ada kelas sih. tapi enggak papa kok." Dengan cepat Nala naik ke belakang seniornya yang bernama gibran itu, dia dalah mahasiswa ekonomi semeseter 5.
Mereka sampai di cafe milik Gibran.
Dengan penuh semangat Nala segera memakai seragamnnya dan membantu gibran merapihkan bahkan mngelap meja.
Saluran tv kartun beralih mengulik berita yang mengumumkn hilangnnya wanita secara misterius dikotanya, Nala terdiam memandangi Tv.
"Akhir-akhir ini kejadian penculikan makin marak," ujar Gibran yang tiba-tiba berdiri dibelakang Nala dan ikut memeprhatikan tv.
"Iya kak, rata-rata korbannya juga perempuan, kadang aku juga takut naik kendaraan umum. Tapi untung aja sekarang ada-" Nala tersadar dan segera menutup mulutnya, hampir saja dia mengatakan kalau dirinya mempunyai kehidupan mewah bahkan mungkin lebih mewah daripada Gibran.
"Ada?" Gibran penasaran.
"Bu-bukan apa-apa kok hehe," jawab Nala dengan tcpeat. Dia takut jika Gibran mengetahui dirinya menjadi orang kaya maka Gibran tidak mau memperkerjakannya lagi.
"Katankan yang tadi, lagipula aku melihat kamu sedikit berbeda hari ini." Gibran terus memaksa Nala bahkan mendekatkan dirinya hingga berdiri dan memojokkan Nala ke meja.
"Enggak kok kak, kan aku udah bilang kalau aku enggak ada apa-apa," sanggah Nala lagi, wajahnnya sedikit merah karena Gibran terus memandanginya lekat-lekat dan penuh keseriusan.
*cling~
Mereka berdua terkejut ketika bel yang terpasang di atas pintu berbunyi yang menandakan ada orang yang masuk ke dalam cafe ini.
"Iya, selamat datang!" Ini adalah kesempatan Nala untuk menjauh dari Gibran.
Senyuman Nala luntur ketika tau siapa yang masuk ke dalam cafe ini, bukan pelanggan biasa tetapi orang yang sangat Nala kenali. "Dirga?"
"Maaf Tuan. Cafe kami masih belum buka, anda bisakembali di jam 10," ujar Gibran dengan tenang.
Dirga tersenyum dan melepaskan topinya, dia bergaya seperti anak muda seumuran Gibran bukan dengan jas khas pelayan di rumah utama. "Sekarang jam sebilan tiga puluh. Tidak bisakah aku menunggu di dalam."
"YA, mungkin ini khusus untuk Anda. Silahkan duduk tuan." Gibran langsung mengarahkan Dirga untuk duduk di meja yang sudah dilap.
"Tidak, kenapa Dirga bisa kemari. Seumur-umur aku kerja di sini juga ga pernah liat Dirga datang kemari," keluh Nala di dalam hatinya. Dia terus mencoba menghindari pandangan Dirga yang sesekali meliriknnya.
"Ada masalah apa Nala? Kamu keliatan enggak tenang," ujar GIbran yang hendak memberikan copi kepada Dirga.
"Eh Kak. Biar aku aja yang anterin ini," pinta Nala dan Gibran tidak bisa menolak.
"Oke."
Nala melangkahkan kakinya mendekati Dirga, bagaimanapun juga Nala sadar jika dia tidak bisa menghindar.
"Silahkan kopinya."
"Nona Nala duduklah sebentar," ujar Dirga yang langsung membuat Nala terperanjat. Nala segera meletakan telunjuknya di depan mulut, menyuruh Dirga supaya diam.
"Kamu sengaja datang kemari?" Tanya Nala dengan berbisik, dia takut jika Gibran mengetahuinnya.
"Ya, saya melihat Anda di kampus dan mengikuti Anda kemari." Dirga menyeruput kopinya. Dia kembali menatap Nala dan berbiacra, "Anda sudah termasuk ke dalam keluarga kalong merat. Apakah tuan besar kurang memberikan Anda uang hingga Anda melakukan hal ini?"
"Agh... sudah kuduga." Nala menepuk jidatnya.
"Nona. Apa Anda tau bagaimana konsekuensinya jika Anda melakukan ini. Harga diri Tuan Binar apalagi Harga diri ibu Anda sebagai pabrik figur akan tercoreng."
"Iya Dirga Iya! Tolong, hentikan ini. Aku mengerti semuanya. Tapi...." Nala tidak bisa melanjutkan ucapannya dan hanya menunduk sambil memandangi tangannya yang terkepal.
"Saya sudah bilang bahwa saya akan mulai mengurus Anda juga. Jadi jika Anda tidak punya kelas maka sebaiknya Anda tetap di rumah. Saya akan merekomendasikan tuan besar untuk memberi Anda kelas tambahan seperti kelas bahasa untuk persiapan Anda S2 di luar negri."
Nala tetap tidak bisa menjawab dan terus diam. Dia benar-benar dilema sekarang, dia tidak bisa meninggalkan pekerjaan yang diberikan seniornya yang selalu menolongnya.
"Maaf Tuan. Tetapi asisten saya harus bekerja karena cafe telah buka." Gibran datang sambil menyentuh bahu Nala.
Nala berniat bangun tetapi Dirga lebih cepat, Dirga menatap Gibran dan tersenyum sinis. "Nona Nala akan berhenti bekerja mulai sekarang."
"Apa?" Nala menganga karena terkejut.
"Tidak bisa. Nala terikat kontrak bisnis, dia tidak bisa keluar sekarang apalagi atas keinginan orang lain," balas Gibran tidak mau kalah.
Nala bingung dengan dua pria yang saling bertukar pandang menakutkan.
"He-hey, kumohon tenang dulu. Itu benar, aku tidak bisa keluar begitu saja," sahut Nala karena tak enak dengan Gibran.
"Penculikan wanita sudah marak terjadi. Apakah kau salah satunya?" Tanya Dirga yang langsung membuat Gibran tersentak.
______________
bersambung....