"Apa maksudmu?" Desis Gibran yang merasa kesal dan memposisikan dirinya berhadapan dengan Dirga.
Dirga tersenyum sinis dan kembali menatap Gibran. "Pasokan bulan ini berkurang bukan. Beberapa kalangan bawah melakukan tindakan itu."
Gibran mengeratkan rahangnya dan tak bisa menjawab. Dia membuang tatapannya kesal.
Mereka bertiga segera menoleh ke arah pintu ketika terdengar lonceng berbunyi, beberapa pelanggan wanita datang.
"Nala, tolong urus sebentar," pinta Gibran dengan nada lembut.
Nala merasa aneh tetapi dia tetap mengangguk dan segera mengurusi pelanggan itu.
Sesekali Nala juga memperhatikan Gibran dan Dirga yang masih mengobrol serius.
"Memangnya mereka berdua saling kenal atau apa?" Gumam Nala sembari kembali ke meja kasir.
Dirga pergi begitu saja dan Gibran segera mendekat dan membantu Nala menyiapkan bubuk kopi.
"Kak? Emangnya ada apa?" Tanya Nala penasaran.
Gibran meletakan gelas dengan kasar di meja dan menatap Nala, dia mendengus dan mulai berbicara, "Nala, kenapa kamu engga bilang kalau kamu sekarang sudah termasuk keluarga Terasari."
Nala tertegun dan menunduk. "Maaf, karena aku merasa hal itu tidak perlu," jawab Nala perlahan.
"Hah ...." Gibran menghela nafasnya kasar dan berlalu begitu saja.
"Tunggu kak! Apa artinya aku dipecat? A-aku benar-benar minta maaf, sebenarnya aku takut jika kakak tau maka aku pasti akan di pecat."
Gibran berbalik dan tersenyum, dia mengulurkan tangannya untuk menepuk kepala Nala beberapa kali. "Ya aku udah jelas enggak mau kamu keluar dari cafe ini tapi kalau kamu bisa Rahasiain ini ya enggak masalah."
Mendengar hal itu langsung membuat Nala senang.
"Tetapi sebaiknya kau tetap menjaga jarak."
"Hm? Dari siapa?"
"Ah bukan siapa-siapa. Siang nanti laki-laki bernama Dirga itu akan menjemputmu, jadwal bekerjamu dipersingkat."
"E! Mana mungkin? Apa gajihku akan dipotong juga?" Nala terkejut dan segera menahan tangan Gibran untuk tetap berdiri di hadapannya.
"Iya, enggak kok tenang aja."
__________
"Dirga, memangnya kamu enggak sibuk harus ngurus aku sampe kayak gini segala?" Tanya Nala, kini dia sedang diantar Dirga pulang ke rumah.
"Saya sudah mengabdi di keluarga ini Nona, saya sungguh berhutang Budi apa tuan besar," balas Dirga yang kini memarkirkan mobilnya di rumah yang begitu besar ini.
Nala keluar dan mengikuti Dirga, walau begitu dirinya masih tidak percaya jika sudah termasuk ke dalam keluarga kaya raya ini.
"Oh ya Nona. Sebelumnya saya tidak mengajak Anda berkeliling. Apa Anda mau mengikuti saya?" Tawar Dirga yang langsung mendapatkan anggukan kuat dari Nala.
Nala terus mengedarkan matanya ke sana kemari sambil terus mendengarkan Dirga yang berbicara panjang lebar tentang isi rumah ini.
"Ini hanya kebun kecil yang tak terurus. Nyonya besar yang sebelumnya berniat ingin membangun taman bunga mawar," jelas Dirga.
Mendengar kata nyonya membuat Nala terdiam, dia kembali mengingat ucapan Rezvan tadi pagi yang mengatakan jika ibunya dihukum ke hadapan dewan, apa maksudnya itu?
Nala menggelengkan kepalanya, ini adalah urusan pribadi Tuan Binar, dia tidak pantas ikut campur.
"Oh ya Dirga. Bangunan apa itu?" Nala menunjuk ke arah bangunan yang ada jauh di sudut taman yang tak terurus.
"Ahaha, itu hanya gudang Nona."
"Hm? Serius itu cuman gudang? Tapi sayang banget, bukannya bangunannya lumayan dan terlihat seperti bangunan yang lainnya yah?"
"Nona itu cuman gudang," ulang Dirga dengan menekan. "Lagipula Tuan besar selalu mementingkan keindahan bangunan, entah itu cuman gudang atau yang lainnya."
Akhirnya Nala tidak bisa menjawab, karena dia sepemikiran dengan Dirga jika Tuan Binar adalah orang kaya serta pemilik salah satu channel TV swasta yang cukup terkenal.
"Nah, Anda sudah tau tempat apa itu bukan. Jadi sebaiknya Anda jangan ke sana."
"Iya iya. Aku ngerti kok." Nala mengangguk sedikit kesal karena Dirga memperlakukannya seperti anak kecil.
Di malam hari Nala makan di meja makan sendirian, ibunya dan Tuan Binar selalu sibuk dan terkadang mereka berdua tidak pulang ke rumah. Untung saja kedua pelayan itu tinggal di rumah besar ini jadi Nala tidak akan merasa kesepian.
"Nona, apa anda ingin nambah?" Tawar pelayan yang memiliki rambut se-bahu, dia bernama Lia dan dari wajahnnya dia terlihat seumuran dengan Nala.
"Iya, boleh. Makanan rumah di sini sangat enak, aku jadi kangen sama masakan buatan nenek," balas Nala sambil kembali menyuap makanan ke dalam mulut.
"Ya, terimaksih. Sangat menyenangkan sekali bisa menyajikan makanan untuk keluarga Terasari."
"Hm? Emangnnya Rezvan enggak pernah makan di rumah?" Tanya Nala penasaran. Dia juga merasa ganjal karena walaupun dia tinggal bersama saudara tirinya itu, Nala jarang sekali melihat Rezvan. Seakan-akan Rezvan pulang di tengah malam dan pergi sebelum matahari keluar.
"A, Ya ..., ada beberapa alasan yang sebaiknya tidak perlu dibahas Nona." Lia menjadi diam dan berusaha menghindar.
Nala hanya mengangguk-angguk saja dan lebih memilih fokus untuk makan.
"Saudara? Aku enggak pernah memikirkan hal itu," gumam Nala. Dia masih penasaran dengan keluarga ini terutama dengan Rezvan yang sangat menghindari dirinya.
"Dirga! Dirga!" Terdengar suara teriakan keras yang langsung membuat Nala bangun dan melangkahkan kakikanya menuju tempat teriakan tersebut.
Nala terdiam melihat Rezvan yang ternyata telah pulang dan ada di ruang tamu, dia terlihat begitu emosi dengan nafas yang mendesis dari giginya.
"Dirga? Dia bukannya keluar buat nyusul kamu?" Ujar Nala memberitau.
Rezvan langsung mentap Nala.
"Gah! Seharusnnya aku tidak bertemu dengan mu sekarang!" Rezvan berseru dan menerjang Nala, mendorongnnya ke bawah. Untung saja Nala langsung jatuh di atas sofa.
Nafas Rezvan begitu berat, dia menunduk dalam posisi merangkak diatas Nala.
"Tunggu, apa yang kau lakukan? Rezvan!" Teriak Nala yang ketakutan dengan sikap Rezvan yang begitu aneh.
"Diam!" Teriak Rezvan yang langsung membuat Nala diam seribu bahasa dan memucat. Rezvan mengangkat kepalanya dan semakin merendahkan tubuhnnya.
Nala tetap diam dan tubuhnnya bergtar setiap kali ia merasakan hembusan nafas berat dari Rezvan di lehernya.
"Ini semua adalah salah mu," bisik Rezvan, dia mulai membuka mulutnya dengan taring tajam yang perlahan tumbuh di sela gigiya.
"Nona!" Teriak Lia dan segera menusukkan sesuatu ke leher Rezvan.
Rezvan langsung pinsan dan jatuh diatas Nala.
Nala masih diam dan takut atas apa yang terjadi.
"Nona, nona!" Lia berusaha mengangkat Rezvan dari Nala. Nala tidak mendengar karena dirinya msih shok.
Dirga yang baru datang pun terkejut dan segera membantu Lia memindahkan Rezvan.
"Nona, apa Anda mendengarkanku?" Tanya Lia yang kini memapah Nala yang masih shok.
Dirga sibuk mengurusi Rezvan yang masih pngsan dengan memberikannya beberapa suntikan di lengan Rezvan.
Dirga segera bangun untuk memeriksa Nala yang masih duduk dengan tatapan kosong.
"Apa Tuan muda menggigitnya?" Tanya Dirga dengan nada bergetar.
"A-aku tidak tau." Lia menggeleng kuat.
"Nona, Nona Nala. Apakah Anda mendengarkanku? Nona?" Dirga terus berusaha menyadarkan Nala yang terus melamun.
Beberapa saat kemudain Dirga dn Lia makin terkejut bukan main ketika Nala tiba-tiba saja memuntahkan darah dari mulutnya, tidak sampai di sana, dia langsung pingsan dan untung saja Dirga langusng menangkapnnya.
Dirga berniat menggendong Nala namun dia berhenti sesaat etika melihat ada gigitan kecil di belakang leher Nala, gigitan itu terlihat dari sela-sela rambut Nala.
"Tuan Dirga, apa ini maksudnnya?" Lia menutup mulutnnya terkejut dan merasa merinding.
"Tidak mungkin. Tuan Revan telah menandai Nona Nala." Ujar Dirga degan tatapan tak percaya.
_________
Bersambung ....