1 tahun kemudian.
Lirna tampak lincah meracik kopi di kedai kopi miliknya. Walaupun usaha kedai kopinya sudah viral, tetapi dia memfokuskan dirinya menjadi barista. Lirna ingin semua konsumen merasakan sensasi kelezatan racikan kopinya, bahkan Lirna tak ambil pusing saat konsumen mengira dia bukanlah pemilik kedai. Sementara Dito, putra semata wayangnya dia titipkan pada sang ibu – Melia – bersama baby sitternya. Setahun sudah Lirna berhasil menata hatinya dan berhasil merintis usaha kedai kopi seorang diri. Dia tak memikirkan laki-laki dan cinta, hanya Dito dan keluarga yang Lirna pikirkan.
"Lirna, konsumen datang melonjak pesat," seru Erna, pekerja di kedai kopi Lirna sekaligus sahabat Lirna.
"Baik, suruh mereka tunggu ya. Aku selesaikan racikannya dulu," sahut Lirna ramah.
"Tapi semuanya cowok dan maunya kamu yang melayani."
"What?"
Lirna berdecak kesal karena permintaan konsumen laki-laki selalu seperti itu, ingin dia yang melayani mengantarkan pesanan. Padahal ada 10 pekerja Lirna yang siap melayani para konsumen, hal itu karena wajah cantik dan penampilan trendy Lirna membuat Kedai Kopi selalu ramai dikunjungi. Tak ayal mayoritas konsumen adalah laki-laki, tetapi bukan tanpa alasan Kedai Kopi Lirna viral. Racikan kopi Lirna sangat lezat dan unik sehingga cita rasa kopinya memiliki ciri khas tersendiri.
"Baiklah, ini semua demi konsumen."
Lirna menyudahi racikan kopinya dan melangkah menghampiri segerombolan laki-laki di meja nomor 8. Dengan sikap ramah tamah, Lirna meletakkan pesanan kopi dengan hati-hati. Namun seorang pemuda – Arnold - dengan gaya trendy malah menyenggol tangan Lirna yang hendak meletakkan kopi di tempatnya. Sontak gelas kopi di tangan Lirna terjatuh ke pangkuan Arnold, dan Arnold merintih kepanasan.
"Hey, panas! Bagaimana sih kamu! Beraninya kamu melakukan kecerobohan padaku," tukas Arnold lantang.
"Maafkan saya Mas, saya nggak bermaksud ceroboh. Tangan Mas sendiri menyenggol tangan saya," ucap Lirna membela diri.
Arnold tak terima disalahkan Lirna, dia menggebrak meja dan membuat semua pengunjung memperhatikan ke arahnya. Arnold memang tak suka disalahkan, dia adalah pengelola perusahaan kontraktor ternama. Walaupun menjadi pengusaha muda, tetapi gaya hidupnya yang boros dan menyukai tongkrongan membuatnya tidak dewasa. Bagi Arnold, semua orang salah walaupun sebenarnya dia yang salah. Ketidakdewasaan Arnold bahkan membuat kedua orang tuanya murka, apalagi Arnold sering merugikan perusahaan karena mengambil keputusan tidak tepat. Namun, itulah Arnold. Tak ada yang bisa menentang Arnold sehingga kebebasan selalu didapatkan, belum lagi ketampanannya menjadi magnet kaum wanita sehingga dia seperti artis yang dikenal wanita di berbagai penjuru.
"Hey, pelayan tak tahu malu! Panggil pemilik Kedai ini sekarang. Kalau mempekerjakan pelayan tuh jangan liat cantiknya doang, liat attitudenya," ucap Arnold memandang Lirna geram.
Lirna mengepalkan kedua tangannya, dia tak mengenal Arnold dan segerombolannya karena mereka konsumen baru di kedainya. Namun, Arnold berani mengacaukan ketenangan Kedainya. Lirna semakin terkejut saat Arnold menendang kursi di hadapannya, tindakan Arnold sontak membuat Erna dan teman-temannya menghampiri Arnold. Salah satu pekerja merapikan kursi itu, namun Erna malah menghadapi Arnold.
"Pak, maaf. Tolong jangan bikin keributan di Kedai ini, tolong bersikap ramah sedikit Pak."
"Wah, sepertinya berita Kedai yang viral ini salah. Setelah saya menjadi tamu disini, kenyataannya hanyalah Kedai yang acak-acakan, tak mencerminkan Kedai kopi yang sudah viral," ungkap Arnold miris.
"Cukup! Kalau Anda tidak nyaman berkunjung ke kedai ini, silahkan cari Kedai lain. Saya nggak mau kenyamanan pengunjung disini terganggu karena sikap urakan Anda." Emosi Lirna naik ke ubun-ubun, sikap Arnold tak bisa ditoleransi lagi.
"Beraninya Kamu menghardik saya. Saya bisa pecat Kamu saat ini juga setelah Saya bertemu pemilik Kedai ini," ancam Arnold membabi-buta.
"Anda nggak berhak bertemu pemilik Kedai ini, itu nggak penting. Sekarang pilihan ada ditangan Anda, ingin minum kopi atau silahkan menuju pintu keluar," suara Lirna mengeras.
"Kamu... Saya nggak...."
"Baiklah, saya rasa nggak guna saya berdiri disini meladeni sikap Anda yang aneh. " Secepat kilat Lirna memotong perkataan Arnold, lalu pergi dari meja Arnold dan kawannya.
Arnold mengepalkan kedua tangannya seraya menoleh menatap punggung Lirna. Dia tak memungkiri kecantikan dan keanggunan Lirna dengan rambut panjangnya yang di curly, namun sifatnya jauh dari kata sempurna sebagai wanita. Selama ini tak ada wanita yang berani membentak dan mengacuhkannya, namun Lirna melakukan itu. Arnold menyunggingkan senyuman mengerikan seolah memiliki rencana untuk Lirna.
Lirna kembali ke ruangannya untuk menetralkan pikirannya, dia mengumpulkan kesabarannya karena pertemuannya dengan Arnold membuat kesabarannya habis. Dia tak menyangka bertemu dengan sosok yang sifatnya hampir mirip dengan Reyhan, menyebalkan dan merasa berkuasa.
"Ya Tuhan, setahun ini aku bahagia. Aku harap laki-laki itu tidak mengusik ketenanganku, kenapa dia hampir mirip Reyhan. Sungguh memuakkan."
Lirna menatap Erna yang menghampirinya dan memegang bahu Lirna. Lirna tahu Erna ikut sedih dengan perlakuan Arnold karena Erna mengetahui keterpurukannya selama ini, apalagi Erna menjadi tempat curhatan Lirna di berbagai aspek.
"Kamu sabar ya, nggak usah sangkut pautkan cowok itu dengan Reyhan si iblis," seru Erna menenangkan Lirna.
"Iya, aku nggak mikirin itu kok. Sikap konsumen kan beda, dilihat dari gelagatnya aja dia orang kaya. So, wajar bersikap berkuasa gitu."
"Ta-tapi mereka belum pergi. Mereka meminta pelayanan pemilik Kedai dan berbagai menu gratis sebagai sikap perlawanan kamu," seru Erna hati-hati.
Mata Lirna membulat mendengar ucapan Erna, ternyata Arnold dan kawannya belum pergi. Padahal Lirna sudah lega karena mengira Arnold sudah pergi. Namun, Lirna pasrah karena memberikan pelayanan untuk konsumen adalah tanggung jawabnya. Apapun sikap dan perilaku konsumen harus ditangani agar Kedai kopinya semakin sukses.
"Baiklah, aku akan melayani mereka sepenuh hati," pasrah Lirna mengulum senyum.
"Semangat ya," ucap Erna seraya mengangkat tangannya sebagai kode penyemangat untuk Lirna.
Senyuman Lirna menyungging, dia kembali meracik kopi. Kemudian menyiapkan daftar menu pelengkap dan menghampiri meja Arnold dan kawan-kawannya.
"Silahkan dinikmati, maafin saya atas kejadian tak mengenakkan tadi ya," seru Lirna menyungingkan senyum terpaksa.
"No problem. Pada akhirnya Anda kembali lagi setelah melenggang pergi, padahal saya mencarinya pemilik Kedai ini," seru Arnold dengan nada mengejek.
Lirna menggigit bibir bawahnya kejam, dia tak tahu harus menjawab apa. Sejujurnya dia malas berinteraksi dengan Arnold, bagi Lirna itu hanya membuang waktu saja.
"Nggak usah bingung gitu dong, Saya tahu Anda pemilik Kedai ini kok. Jangan Anda kira Saya bego ya nggak tahu siapa pemilik Kedai Kopi CoffyDit ini ya," ungkap Arnold dan membuat Lirna melongo.
Lirna menelan ludah gusar, ternyata Arnold mengetahui dialah pemilik Kedai. Namun, mengapa sikap Arnold tak mencerminkan sebuah penghormatan terhadap pemilik Kedai. Seharusnya Arnold bersikap ramah dan menjaga ketenangan kedai.
"Saya cuma ngetes Anda sebenarnya, baru kali ini Saya melihat pemilik Kedai dan barista adalah orang yang sama. Saya penasaran dan ternyata jiwa bisnis kamu patut diperhitungkan ya," ucap Arnold berwibawa.
"Saya nggak butuh tes dari Anda. Ini bukan lelucon, Anda pikir Saya akan berterima kasih karena mendapat konsumen loyal dan sok bijak seperti Anda?!" Lirna muak dengan ucapan Arnold, dia tak mempan mendapat sanjungan Arnold.
"Anda realistis juga ya. Baiklah, ini saya bayar semua pesanan saya."
Arnold mengeluarkan selembaran uang ratusan ribu sebanyak 20 dan meletakkan di meja. Kemudian, Arnold mengangkat kepala sebagai kode pada teman-temannya untuk pergi tanpa mencicipi semua menu di atas meja.
"Hey, mau kemana kalian? Habiskan pesanannya dulu baru pergi," ucap Lirna tegas.
"Nggak usah ambil pusing deh! Saya sudah membayar semua pesanan di meja, bahkan lebih. So, jangan halangi Saya pergi," keukeuh Arnold sok berkuasa.
"Bukan gitu. Saya paling nggak suka konsumen yang menyia-nyiakan makanan, Anda memesan semua jenis kopi dan menu pendamping di Kedai ini. So, habiskan pesanan sebelum pergi."
"Aduh, drama banget sih hidup Anda. Zaman sudah modern, Saya nggak butuh semua makanan ini. Kamu simpan aja buatmu."
Lirna tak terima Arnold merendahkan makanan seperti itu. Selain tak baik menyia-nyiakan makanan, Lirna tak mau nama baik Kedai kopinya dipertanyakan karena ada konsumen yang membayar lebih tanpa mencicipi pesanan.
"Udah guys, nggak usah dengerin wanita ini. Ayo kita pergi," ajak Arnold dan melenggang pergi.
"Tunggu."
Lirna sengaja menghadang Arnold sebelum mencapai pintu keluar. Dia menunggingkan senyuman manis dan menorehkan lubang indah di kedua pipinya. Kemudian, Lirna mengangkat tangannya ke arah Erna. Erna yang mengetahui kode panggilan dari Lirna segera menghampiri Lirna.
"Ada apa Lirna?" tanya Erna lembut.
"Bungkus semua pesanan Mas ini dengan rapi. Bungkus satu per satu ya," perintah Lirna mengulum senyum.
"Baik." Erna segera pergi membungkus pesanan Arnold.
Sementara Arnold dan kawan-kawannya heran dengan tindakan Lirna. Sebenarnya apa yang Lirna rencanakan dengan melarang Arnold pergi dan meminta pelayan membungkus pesanan Arnold.
"Ibu pemilik Kedai, Saya dan teman-teman mau pulang tanpa membawa semua pesanan itu. Untuk apa? Semua menu udah dingin dan nggak enak," ucap Arnold penuh penekanan.
"Nggak usah GR! Mana mungkin saya meminta Anda membawa pulang pesanan. Sudah pasti dibuang," sahut Lirna penuh kemenangan.
"Maksudnya?"
"Ini semua pesanannya udah dibungkus," seru Erna seraya menyerahkan beberapa kantong kresek besar pada Lirna.
"Baik, makasih Erna.
"Iya."
Arnold mengernyitkan kening dengan sikap Lirna, sebenarnya apa yang direncanakan gadis itu. Namun, perasaan Arnold tidak enak karena khawatir Lirna menyuruhnya melakukan hal aneh.
"Ikut Saya," seru Lirna berjalan santai ke pintu keluar kedai kopinya.
"Sialan." Arnold malah mengumpat, dia dan kawan-kawannya terpaksa mengikuti langkah Lirna.