Lirna melepaskan pelukannya, dia menggandeng sang mama menuju sofa ruang keluarga. Duduk memandang wajah sang mama yang meneduhkan membuat Lirna melupakan perselisihannya dengan Arnold.
"Aku emang udah nggak gadis lagi Ma, tapi aku kesal dengan sikap Arnold yang sombong itu. Seenaknya dia hina aku dan Kedai tanpa melihat jerih payahku merintis Kedai Kopi itu."
"Kalian pertama bertemu?" tanya Bu Melia menerka-nerka.
"Lebih tepatnya pertemuan kedua Ma, tapi Aku harap nggak ada pertemuan lagi."
"Sayang, Kamu masih muda dan butuh sosok pendamping yang bisa menjaga dan membahagiakanmu dan Dito. Sudah saatnya kamu menghapus luka di hati dan mencari pendamping hidup," ucap Bu Melia membujuk Lirna, berharap sang putri menemukan tambatan hatinya."
Lirna berubah murung karena sang mama membahas cinta, sejujurnya hati kecilnya memang merindukan sosok laki-laki yang menjadi penyemangat hidupnya. Namun, luka di hatinya terlalu dalam dan takut luka terulang kembali.
"Percaya sama Mama sayang, luka hati kamu adalah cara Allah menunjukkan kebenaran sifat Reyhan bukanlah jodoh terbaik untukmu. Mama yakin, Allah telah mempersiapkan jodoh yang akan memberikan kebahagiaan dan ketenangan untukmu."
"Tapi siapa Ma?"
"Mama nggak tahu sayang, tapi hatimu akan menuntunmu menemukan jodoh itu. Yang terpenting buka hati agar jodohmu bisa menemukanmu."
"Aduh Ma, udahlah nggak usah bahas jodoh. Aku takut Ma," ucap Lirna pasrah.
Bu Melia hanya mengulum senyum dengan tanggapan sang putri, dia tahu sebenarnya Lirna sudah siap membuka hati. Namun ketakutan masih menyelimuti dan mengurungkan niatnya, Bu Melia berjanji akan membantu Lirna bangkit, dia tak akan membiarkan putri semata wayangnya hidup menyendiri sampai tua.
"Sayang, kamu kenal Mbok Inem kan?" tanya Bu Melia lembut.
"Kenapa malah bahas Mbok Inem Ma? Beliau kan tetangga kita yang tinggalnya sendirian."
"Kenapa beliau sendirian?" tanya Bu Melia lagi.
"Eum.. karena beliau tidak menikah Ma."
"Nah kamu tahu kan, Mbok Inem hidup sebatang kara dan menikmati masa tuanya sendirian. Beliau tidak memiliki suami untuk berbagai keluh dan bahagia, tidak memiliki anak juga. Apa kamu ingin sendirian di masa tuamu?"
"Tapi aku ragu Ma, zaman modern ini sulit mencari laki-laki yang hatinya baik Ma."
"Tapi, sepertinya laki-laki yang Kamu bicarakan menarik dibicarakan."
DEG!
Lirna membelalakkan mata mendengar ucapan sang mama, mengapa sang ibu malah membahas Arnold si laki-laki sombong dan tak memiliki hati. Apa tak ada laki-laki lain yang lebih baik darinya?
"Selama ini Kamu nggak pernah bercerita tentang laki-laki. Tapi pemuda tadi berhasil membuatmu marah, kesal dan curhat ke Mama," ucap Bu Melia mengulum senyum.
"Ya, karena dia sombong Ma. Beraninya dia menghina aku, pastinya aku nggak terima dan marah dong," sahut Lirna kesal.
"Percayalah Nak! Ini saatnya Kamu membuka diri, bangkit demi Dito agar kelak dia bahagia dan memiliki kasih sayang lengkap dari orang tuanya. Tanamkan kebaikan dan kebahagiaan pada diri Dito, jangan biarkan dia mengetahui Mamanya tidak memiliki pasangan dan menderita," nasehat Bu Melia seraya memegang bahu Lirna.
"Aku akan pikirkan nasihat Mama. Kalau gitu, aku ke kamar dulu ya Ma."
Lirna memegang tangan sang mama, kemudian berjalan menuju kamarnya. Lirna melangkah menghampiri Dito yang tertidur pulas, ia duduk di sisi ranjang dan mencium kening sang putra. Lirna memikirkan ucapan sang mama dan membenarkannya, Dito memang membutuhkan sosok ayah. Sosok ayah sambung yang bisa menyayangi dan menjaga Dito tumbuh sehat dan besar.
"Apa Mama harus melanggar janji Mama untuk menutup hati Nak? Apa Mama bisa menjalin hubungan dengan laki-laki dan siap dengan segala resiko, disakiti atau menyakiti?" ucap Lirna memandang wajah menggemaskan sang putra.
Lirna merebahkan tubuhnya di samping Dito, memejamkan matanya untuk terlelap. Namun, bayangan wajah Arnold memenuhi pikirannya, sontak Lirna terbangun dan merasa jijik melihat wajah Arnold melintas di pikirannya.
"Kenapa wajah dia ada pikiranku sih? Ini nggak bisa dibiarin," kesal Lirna.
Lirna baru teringat dia belum mandi, dia segera mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Lirna berharap bayangan Arnold tak menghantuinya lagi karena membuatnya malas
Keesokan harinya, Lirna memacu motornya dengan kecepatan rata-rata menerobos jalanan yang macet. Lirna menghela nafas lega karena sampai di rumah Pak Handoko tepat waktu, pukul 08.00 WIB untuk mengantarkan pesanan kopi. Lirna memencet bel di sisi pintu, tak berselang lama seorang laki-laki setengah baya membuka pintu seraya mengulum senyum pada Lirna.
"Selamat datang Lirna, Saya sudah tak sabar menikmati racikan kopi Kamu," seru Pak Handoko ramah.
"Pak Handoko terlalu memuji, Bapak terlalu menghormati Saya. Seharusnya asisten rumah tangga yang membuka pintu, Saya nggak mau Bu Wanda salah paham." Lirna merasa perlakuan Pak Handoko sudah berlebihan karena selalu menyambut kedatangan Lirna seorang diri. Padahal, Pak Handoko adalah pengusaha hebat yang menjadi pelanggan prioritas di kedai Lirna. Setiap pagi, Lirna menyempatkan mengantarkan 2 pesanan kopi untuk Pak Handoko dan sang istri.
"Istri Saya mengetahuinya kok. Mari masuk." Pak Handoko berkata lembut, lalu beranjak masuk diikuti Lirna.
Lirna melemparkan senyum pada Bu Wanda, istri Pak Handoko yang duduk di sofa ruang tamu. Lirna mencium punggung tangan Bu Wanda dan meletakkan pesanan kopi di meja, setelah itu duduk di sofa.
"Terima kasih ya sudah mengantarkan pesanan kopinya," ucap Bu Wanda seraya mengulum senyum.
"Dengan senang hati Bu. Saya nggak akan bosan mengantarkan pesanan Pak Handoko dan Bu Wanda."
"Saya salut sama Kamu. Walaupun Kamu masih muda dan cantik, Kamu cekatan mengelola bisnis kopi sendiri. Bahkan Kamu sigap meracik kopi untuk memuaskan pelanggan tanpa rasa malu." Pak Handoko duduk di samping Bu Wanda, dia kagum dengan kepribadian Lirna yang pantang mengeluh.
"Tidak Pak, Saya dibantu orang tercinta Saya. Khususnya orang tua dan anak Saya, Saya rela melakukan apapun untuk kebahagiaan mereka," ucap Lirna merendah.
"Saya salut. Saya yakin, kelak Kamu menjadi wanita hebat dan sukses," doa Pak Handoko tulus.
Lirna mengulum senyum, dia tak menyangka orang terpandang seperti Pak Handoko dan Bu Wanda akan memuji hidup Lirna. Mereka tidak menggunakan kekayaan untuk kekuatannya, namun mereka menggunakan sikap ramah tamah sebagai interaksi hubungan dengan sesama. Khususnya Bu Wanda. Di saat seorang istri orang terpandang berlomba-lomba memamerkan kekuasaan suaminya dan pandai belanja, Bu Wanda justru tampil kalem dengan riasan make-up soft untuk jabatannya sebagai dokter anak.
"Saya beruntung bisa mengenal Bu Wanda dan Pak Handoko. Jiwa pebisnis Bapak dan Ibu memberikan semangat dan motivasi Saya untuk maju."
"Iya Lirna, makanya Kamu jangan sungkan main kesini ya. Pintu rumah ini selalu terbuka untuk Kamu."
Lirna mengangguk, dia tak sengaja mengedarkan pandangannya. Saat itulah matanya menangkap sosok Arnold yang tampil trendy berjalan ke arahnya, Lirna berusaha meyakinkan dirinya bahwa apa yang dilihat salah. Sayangnya Arnold memang ada, bahkan Arnold balik memandangnya geram seraya membuka kaca mata hitamnya.
"Hei, belum puas Anda membuat Saya menderita? Bisa-bisanya Anda mencari informasi tempat tinggal Saya," ketus Arnold memandang Lirna.
"Arnold, jaga bicara Kamu. Bersikaplah sopan, dia tamu Mami sama Papi," ucap Pak Handoko tugas, geram dengan sikap Arnold yang kasar pada Lirna.
Arnold menoleh memandang wajah orang tuanya, dia mengernyitkan kening. Arnold tak percaya Lirna adalah tamu orang tuanya, dia pun melihat pesanan kopi yang tergeletak di meja.
"Saya tahu, Anda berusaha merayu orang tua Saya agar mereka mempromosikan kopi Anda bukan! Saya nggak akan biarin itu terjadi." Ucapan Arnold semakin aneh dan membuat Bu Wanda geram.
"Arnold, Lirna adalah pemilik Kedai kopi langganan Mami. Mami minta, jaga sikap Kamu jika tak ingin keluar dari sini." Bu Wanda memandang Arnold geram, dia tak percaya putranya bisa merendahkan orang lain seperti itu.
Pembelaan Bu Wanda dan Pak Handoko untuk Lirna membuat Arnold naik pitam. Dia memandang Lirna tajam seolah elang yang ingin mematuk mangsanya, sementara Lirna berusaha mengalihkan pandangan karena tatapan Arnold begitu menohok. Membuat dada Lirna terasa sakit.
"Aku izin bicara dengan tamu Mami." Arnold malah berkata lirih, dia meraih lengan Lirna dan membawa keluar rumah dan membuat orang tua Arnold heran.