Gagak Lodra yang mulai mengagumi pemuda yang bernama Wirojoyo itu bertanya: "Darimana siro belajar semua itu?" kata Gagak Lodra. Dari nada bicaranya terlihat ia begitu mengagumi Wirojoyo.
"Pamanda, Prabhu Wijayawarma sendiri yang mengajarkan kepada hamba, bersama para bangsawan lainnya." kata Wirojoyo dengan sikap selalu menghaturkan sembah ketika ia berbicara.
Sebagai sosok yang berasal dari kalangan penduduk biasa, yaitu rakyat jelata yang bisa disebut orang kebanyakan, maka pengetahuan Gagak Lodra tentang raja-raja dan para ningrat dari kerajaan lain sangatlah terbatas. Karena itu ketika mendengar cerita tentang raja-raja dan kiprah kepahlawanan mereka, tentu sangat menyenangkan hatinya.
Iapun sempat berpikir, bahwa inilah saatnya untuk mensejajarkan dirinya dengan para raja besar itu.
Sebagai rahayat biasa, selama ini ia harus tunduk dibawah kekuasaan raja Panuda, apalagi saat ia dinyatakan sebagai perusuh yang mengacau kerajaan, maka dirinya dan kelompoknya akhirnya menjadi buronan kerajaan.
Setelah nasib raja Panuda tidak diketahui lagi, maka inilah kesempatan emas baginya untuk lepas dari kekuasaan rajanya yang justru memusuhinya.
"Ternyata dugaan kita selama ini benar, Kakang." bisik Maheso Joyo yang berdiri di samping Gagak Lodra.
"Dia bukan orang sembarangan, dan ternyata pangeran dari Wengker." imbuhnya dengan pandangan mata berbinar. Seperti halnya Gagak Lodra, Maheso Joyo yang awalnya rahayat biasa yang akhirnya menjadi penjahat jalanan karena faktor kemiskinan, merasa begitu bangga bisa dekat dengan seorang keluarga bangsawan. Apalagi bangsawan itu saat ini tunduk dibawahnya, dan sempat pula menyembahnya sebagai seorang "Patih".
"Hmm, kita akan bangun kerajaan baru adi, ha..ha..ha.." Gagak Lodra tertawa senang. Angan-angannya melambung tinggi dan berharap apa yang direncanakan Wirojoyo bisa segera terwujud.
"Sendiko, Kakang."
"Dan engkau yang akan menjadi patihnya, ha..ha..ha.." kedua pentolan gerombolan itu tertawa terbahak-bahak terbawa oleh khayalannya yang melambung begitu tinggi. Saat itu keduanya berpendapat lebih baik berpikir untuk masa depan yang mereka yakini jauh lebih baik, daripada mengadakan pertandingan maut yang tidak menghasilkan apa-apa.
"Sekarang apa yang hendak kamu lakukan wahai ksatria muda?" kata Gagak Lodra.
"Ampun Gusti, ijinkanlah hamba menjelaskan kepada rahayat Giri Lawangan mengenai rencana besar ini, karena selama ini mereka di bawah kekuasaan Kahuripan, sehingga mereka tidak mengetahui rencana besar ini. Hamba yakin, para petani dan pemuda disini bisa diandalkan untuk menjadi prajurit paduka." kata Wirojoyo.
Atas persetujuan Gagak Lodra, Wirojoyo memberitahukan rencananya tersebut kepada para tawanan yang sebagian masih tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi.
Dengan dikawal oleh Kolomenggolo dan Kolorupo, Wirojoyo mendatangi para petani di dalam kerangkeng dan mengutarakan maksudnya.
"Wahai Kisanak! Aku Wirojoyo Nararyo, putera Rha Lingga, adik ketiga Prabu Wijayawarma dari Kerajaan Wengker, dengarkanlah!" seru Wirojoyo dengan suara lantang didampingi Kolomenggolo dan Kolorupo.
"Mulai hari ini, kisanak semuanya akan ingsun latih menjadi prajurit yang akan menjaga wilayah kita dari serbuan musuh, di bawah lindungan Paduka Sinuwun Gusti Gagak Lodra." kata Wirojoyo tidak lupa memberi sanjungan kepada pemimpin gerombolan itu.
Dengan sengaja ia menyanjung Gagak Lodra seolah ia seorang raja. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kepercayaan dari para gerombolan itu sehingga kelak ia bisa menjalankan rencana rahasianya dengan lancar.
Para tawanan yang kebanyakan petani yang lugu itu hanya mengangguk-anggukkan kepala meski mereka tidak tahu apa maksud Wirojoyo yang sebenarnya. Namun ada sebagian kecil yang dengan amat gusar bergumam menyiratkan ketidak senangannya atas sikap Wirojoyo. Pemuda yang selama ini mereka kenal sebagai anak sulung mangku adat Mangkuloyo, ternyata berubah memihak dan tunduk kepada gerombolan perusuh yang memporak-porandakan kehidupan mereka.Desa mereka yang selama ini aman dan tenteram, mendadak kacau balau, hancur berantakan akibat kedatangan mereka. Kehidupan mereka yang tenang dan damai mendadak berubah penuh kecemasan dan ketakutan yang membawa derita memilukan.
Tak kalah herannya adalah Arumboko dan Lewo. Mereka merasa heran ketika melihat sikap sahabatnya yang tiba-tiba berubah itu. Namun karena yang berdiri disamping Wirojoyo ada dua orang pengawal yang berwajah bengis dengan pedang terhunus, maka keduanya hanya bisa diam.
"Ingat pesan Wiro tadi. Apa pun yang dia katakan, kita iyakan saja." bisik Lewo mengingatkan Arumboko agar tidak bersikap berlebihan.
Langkah awal untuk memperoleh kepercayaan yang lebih besar lagi di mata kawanan gerombolan itu, ialah melaksanakan niatnya untuk melatih para petani menjadi prajurit. Wirojoyo mencoba menirukan Aryosetho ketika melatih teman-temannya dulu. Untuk itu ia mulai dengan menunjuk salah seorang petani yang bertubuh sedang untuk berdiri.
"Sebutkan nama siro!" kata Wirojoyo dengan suara keras dan lantang, layaknya seorang hulubalang prajurit kerajaan. Wajahnya tampak serius sebagaimana sikap seorang pelatih.
"Ingsun Jabulo!" sahut petani tersebut dengan suara gemetar. Terlihat ia ketakutan karena mengira akan dijadikan petarung seperti teman-temannya terdahulu.
"Jangan takut. Coba berdiri tegak! Kencangkan otot-otot dan tarik nafas dengan teratur." kata Wirojoyo dengan suara keras. Ia menirukan cara Aryosetho ketika melatih dulu.
"Sekarang pasang kuda-kuda!" Wirojoyo memberi contoh. Dengan menggunakan kakinya Wirojoyo memperbaiki posisi kuda-kuda petani tersebut.
"Rentang kaki jangan terlalu lebar. Ya, begitu!"
Begitu Jabulo memasang kuda-kuda sesuai petunjuk, tiba-tiba Wirojoyo mendorongnya dengan keras sehingga Jabulo sempoyongan dan terjengkang.
"Berarti kuda-kuda siro kurang kuat! Jika kuda-kuda siro kuat, seharusnya siro tetap berdiri tegak ketika mendapat serangan!" kata Wirojoyo menirukan Aryosetho saat melatih dirinya dulu. Kemudian kembali ia memberi contoh bagaimana memasang kuda-kuda yang benar.
Setelah memperbaiki kuda-kuda Jabulo, kembali ia mendorongnya. Kali ini dorongan itu sengaja ia lakukan tidak terlalu kuat, sehingga Jabulo tetap berdiri tegak.
"Bagus. Itulah sikap kua-kuda yang benar. Pertahankan kuda-kuda siro agar lebih kokoh." teriak Wirojoyo persis seperti seorang pelatih sungguhan.
"Sekarang, siro berdiri!" Wirojoyo menunjuk seorang petani yang lain lagi. Petani itupun awalnya tampak ketakutan, karena mengira akan diadu melawan Jabulo yang masih berdiri.
"Tidak usah takut! Hayo berdiri!" teriak Wirojoyo.
"Sebut nama siro!" kata Wirojoyo.
"Ingsun Musro!" jawab petani itu dengan lutut gemetar. Mendadak keringat dingin keluar dari wajahnya.
Wirojoyo menyuruh Musro agar memasang kuda-kuda seperti yang tengah dilakukan Jabulo. Dengan gerakan kikuk Musro mencoba meniru Jabulo.
Wirojoyo tidak lupa memeriksa otot-otot para calon prajurit itu dengan memberikan pijitan ringan.
"Bagus! Siro punya kemampuan untuk menjadi prajurit!" puji Wirojoyo. Setelah itu masih ada beberapa orang lagi yang menjalani "test" ala Wirojoyo.
Semua tindakan Wirojoyo tidak lepas dari pengamatan Kolomenggolo dan Kolorupo serta beberapa pengawal lainnya yang berada di luar kerangkeng. Mereka tampak kagum dan percaya bahwa Wirojoyo adalah pangeran dari Wengker. Terbukti bahwa ia mempunyai keahlian untuk melatih para prajurit.
Wirojoyo melakukan aksinya dengan sengaja mengulur waktu hingga menjelang sore, sehingga hari itu tidak ada lagi duel maut antar sesama rahayat.
Ketika para pengawal itu telah pergi, beberapa orang petani menghampiri Wirojoyo dan mempertanyakan perubahan sikapnya yang mendadak itu.
"Raden, buat apa kami harus mengabdikan diri kepada gerombolan perampok yang telah membunuh saudara kami!?" protes seorang petani paruh baya dengan suara lirih agar tidak didengar oleh anak buah Gagak Lodra diluar kerangkeng.
Sebagian petani yang lain mendukung petani tersebut menentang rencana Wirojoyo.
"Ya, buat apa!?" kata beberapa petani lain dengan nada tidak senang.
Bukan hanya para petani, Arumbokopun menyatakan protesnya, sementara Lewo hanya diam membisu.
"Apa yang engkau lakukan?" kata Arumboko dengan mimik tidak senang.
Wirojoyo berdiri tegak dengan sikap jumawa. Ditatapnya mereka yang berdiri di depannya dengan tatapan tajam.
"Siapa yang tidak setuju dengan ingsun, besok silahkan bertanding lagi sampai ada salah satu dari kalian yang mati!" kata Wirojoyo menatap tajam wajah mereka bergantian. Witojoyo berdiri gagah menunggu jawaban mereka. Tetapi tidak seorangpun yang menjawab.
"Kisanak, berpikirlah secara jernih. Pakailah akal kalian. Apakah kalian mau diadu sesama kalian sampai kalian mati semua? Apakah kalian mau saling bunuh sesama kalian ?" Wirojoyo memandangi para pemrotes satu persatu. Sepertinya sikap mereka masih belum ada perubahan.
"Sekarang silahkan memilih, apakah kalian mau tetap seperti kemarin dengan saling bunuh sesama kalian!? Jikalau kalian ingin seperti itu, besok akan ingsun katakan kepada Gagak Lodra dan silahkan kalian saling bunuh sesama kalian." tidak seorangpun yang berani menjawab tantangan Wirojoyo yang kembali menatapnya dengan tatapan mata tajam.
"Bagi yang setuju dan ikut ingsun, duduk di belakang ingsun. Bagi yang ingin terus bertarung saling membunuh sesama teman, silahkan tetap tinggal di tempat. Besok akan ingsun usulkan agar kalian bertarung sampai ada yang mati!"
Sesaat tidak ada seorangpun yang bergeming. Namun tiba-tiba ada beberapa orang yang segera beringsut pindah duduk di belakang Wirojoyo.
"Baik, yang masih duduk di depan ingsun, berarti besok siap mati untuk membunuh teman dan saudaranya sendiri," kata Wirojoyo bernada mengancam.
Riba-tiba semua yang tersisa segera bergegser memilih duduk di belakang Wirojoyo, sehingga akhirnya tidak seorangpun yang duduk di depan Wirojoyo.
"Kisanak, apa yang ingsun lakukan berdasarkan wangsit dari Sang Guru, Ki Ageng Loh Gawe. Sang Guru ingin Giri Lawangan menjadi seperti dulu lagi saat Sang Guru masih hidup."
Senjata yang paling ampuh untuk meluluhkan hati para petani adalah menyebut nama Sang Guru yang sangat dihormati penduduk. Akhirnya Wirojoyo mendapat kepercayaan penuh dari para penduduk.