Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Bulan Itu Cantik Ya

Rei_Hannan
--
chs / week
--
NOT RATINGS
3k
Views
Synopsis
Kisah keseharian seorang anak bernama Nina dengan keabnormalan beban kehidupan. Dengan cobaan dan rintangan yang begitu banyak sehingga mampu membuat semangat hidupnya goyah. Namun tidak. Sungguh tidak akan membuat dirinya menyerah. Selalu bangkit dan bangkit. Tersenyum! Itulah yang membuat dirinya istimewa. Kisah kehidupannya lantas mengubah diriku. Cerita ini kupersembahkan untuk mereka, para orang tua yang sedang mendidik anak-anaknya. Agar selalu menjaga dan membimbing mereka, hingga bisa bertahan dalam kejamnya dunia.
VIEW MORE

Chapter 1 - Namamu Siapa?

Hari ini sangat melelahkan. Cuacanya pun juga tidak mendukung. Terik matahari menerpa pelupuk mata. Melewati sela-sela ketiak di balik baju-baju terawang. Padahal sedang musim hujan. Bisa-bisa nya tidak ada awan yang membentang. Bahkan hanya untuk sekejap? Akhhh. Aneh sekali. Aneh!

Bagaimana tidak? Seharian penuh, kami disuruh untuk mewawancarai setiap orang yang berada di alun-alun kota. Tua, muda, laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak. Hei? Ini hari Minggu, bisa kau bayangkan berapa banyak ragam manusia yang ada disana? Sungguh gila. Belum lagi tatapan orang-orang sinis yang bahkan enggan menatap wajah kami. Tak jarang, kami ditolak mentah-mentah secara kasar. Ampunnn. Kami hanya meminta pendapat, bukan pungli mengatasnamakan bakti sosial. Jika bukan orang tua, bisa saja ku pukul wajahnya.

"Mungkin, 1 cup es krim coklat bisa membantu," batinku menyela~

Menit demi menit berlalu. Hari kian sore. Orang-orang pun mulai beranjak meninggalkan kerumunan padat di alun-alun kota. Ada yang membereskan dagangannya. Ada yang mengemasi barang-barang pikniknya. Semuanya terlihat begitu sibuk. Bergegas pergi meninggalkan sampah-sampah plastik yang berserakan. Seakan-akan buta dan tidak peduli, terhuyung-huyung meninggalkan alun-alun. Tak lama kemudian, beberapa orang berseragam putih datang. Mereka dengan sigap memungut satu demi satu sampah. Bergerak dengan cepat sebelum senja menggapai. Nampaknya telah terbiasa bagi mereka untuk bekerja. Membersihkan sisa sisa dosa para warga. Demi mendapatkan selembar uang 10 ribuan atau sekotak nasi dengan air mineral untuk berbagi dengan orang rumah.

Aku juga harus bergegas. Dahaga yang kutahan, demi sebuah es krim yang kudambakan. Terkekeh pelan. Berharap ada satu dua toko yang masih buka. Semilir angin menemani perjalanan pulang ku. Desing kendaraan bermesin pun menjadi senyap sedari tadi. Hampir sejauh mataku memandang, kelap kelip lampu bersinar. Seakan melambai dan menyuarakan panggilan. Toko tua berdinding kayu berlapiskan cat putih terlihat di penghujung jalan. Langkah ku semakin cepat...

"Bu, es krim nya yah, satu. Eh, dua deh", ucapku.

Ibu paruh baya itu mengiyakan. Tangannya dengan sigap memasukkan es krim-es krim itu kedalam kantong plastik hitam. Kulit nya yang berkeriput mengingatkan ku pada sosok nenek dirumah. Sesekali aku terpana menatap hiasan untaian kerang yang mengelilingi ruangan. Lukisan-lukisan abstrak menggantung di dinding. Meninggalkan suasana pedesaan yang masih kental. Dinding bercat merah muda yang hampir memudar dikarenakan usia , diharap dapat memikat para anak muda yang berlalu lalang untuk sekedar mampir melepas penat.

Aku kembali berjalan setelah mendapatkan es krim yang ku inginkan. Menyusuri jalanan beraspal yang sepi untuk kembali pulang. Mega-mega senja yang menggantung di ufuk barat. Menggurat-gurai dan saling berkesinambungan. Lampu-lampu jalanan bergantian menyala. Tak ada orang sama sekali, seakan menyisakan diriku dalam selembar karpet merah menjuntai. Berjalan cantik bak model. Tengah asyik sekali, membayangkan es krim ini akan mengguyur habis dahaga ku, terlihat di bahu jalan, di sebuah ayunan. Seorang anak kecil yang sedang berayun pelan dengan sesegukan menangis. Suara derik baut baut berkarat yang terpaut pada ayunan tua dengan cat pelangi yang hampir pudar, sayup sayup terdengar.

"Ada apa dengannya, kenapa dia menangis? mana Ayah Ibunya?", batinku liar bertanya-tanya. Ah sudahlah, mungkin dia tersesat. Aku berjalan menghampiri nya.

"Namamu siapa?" ucapku memulai pembicaraan.

Hening. Dia hanya diam. Sambil sesekali segukan dan menyeka air mata yang mengalir dari matanya, membasahi baju putih berenda yang Ia kenakan. Ia hanya menunduk kaku.

"Tak apa, cerita aja sama Kakak. Kamu kenapa? Tersesat?" kutanya sekali lagi dia.

Hening. Masih hening. Dia hanya diam membisu. Meninggalkan suara ayunan yang bersahut sahutan dengan suara adzan yang mendayu-dayu.

"Nama Kakak Rizki. Nama adek nya siapa?" kutanya dia dengan suara yang lebih pelan

"....Ni-Nina," jawab nya gemetar

"Nina, kamu kenapa? Ada yang luka?" kutanya lagi dia dengan suara yang pelan.

"A-Akuu...." sebelum Nina sempat menjawab, terdengar suara teriakan yang menyela.

"NINA!!! SINI KAMU, DARI TADI DICARIIN!"

Teriak seorang perempuan paruh baya. Dia terlihat terengah-engah. Tangannya mengepal seperti siap untuk menghantam siapa saja di depannya. Matanya melotot, membesar seakan marah terhadap sesuatu. Ia berlari ke arah Nina dan menariknya, lantas membawanya pulang, sambil menggumam serapahan tak senonoh.

Aku terdiam menyaksikan Nina. Air matanya masih menetes. Masih membasahi baju putih berenda itu. Matanya yang memerah dan sembab. Tangannya menggapai-gapai udara. Jari-jemarinya yang mungil, seakan ingin meraihku.

"I.... Iki....," ringkih nya pelan.

Ia berjalan tertatih-tatih. Terseok-seok! Aku masih saja terdiam. Dirinya menghilang dibalik dinding tembok besar bersama perempuan itu. Lenyap bak matahari senja. Tenggelam ditelan gelap. Kelam ditinggal malam. Menyisakan jangkrik-jangkrik yang bersahutan. Atau Kelelawar yang beterbangan keluar dari persembunyian, mencari makan! Surau-surau yang gemerlapan, dengan bayang-bayang punggung tua-muda sedang bersujud. Berdoa kepada Tuhannya. Jalan raya yang mulai senggang, sepi dari pengendara. Hanya ada beberapa mobil yang berlalu-lalang. Pulang dari kantor bertingkat, kembali menuju anak istri. Disambut oleh sapaan hangat, kemudian bersantai di rumah. Beberapa langsung terlelap dalam dunianya masing-masing. Penanda bahwa tubuh telah usai bekerja. . Kecuali mereka yang lembur. Memaksa tubuh hingga saat nya letih atau kantuk menyerang. Demi mendapat nafkah yang didambakan.

~//~

Malam telah usai. Gelap tak lagi kelam. Suara derik jangkrik telah berganti menjadi lengkingan kokok ayam. Mega-mega jingga membentang di ufuk timur. Bukan, bukan senja yang sedang menanti, melainkan mentari fajar yang sedang menampakkan batang hidungnya. Menjadi tanda bagi para pekerja untuk melanjutkan kegiatan rupiahnya. Ada yang bergegas untuk pergi kekantor. Ada yang membuka toko dagangannya. Bahkan mungkin hanya sebagai alarm bagi para pengangguran. Namun, tidak bagi seorang lelaki berumur dua puluh tahunan ini. Tampak eloknya tak terhiraukan entah sekencang apapun kokok kikik ayam tetangga.

"Kriiiiiinggggg....."

Dering panjang alarm jam beker seyogyanya telah membuatnya bangun dari tidurnya. Mungkin? Rambut yang masih kusut. Lingkaran hitam yang mengelilingi mata. Menguap sesekali. Menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.

"APA!? PUKUL DELAPAN!??" teriaknya..

Berulang kali la mengucek kedua matanya. Mengecek jam beker lalu beralih ke HP. Bak orang kesetanan, la berlari ke kamar mandi. Menyentuh air ala kadarnya. Membasahi sepetak dua wajahnya. Lalu bergegas berganti baju seragam putih, berdasi biru gelap, dengan jas hitam, lengkap dengan celana jeans hitam panjang, juga sepatu hitam putih. Ia pun menutup pintu rumah dan bergegas menuju jalan raya yang penuh dengan kendaraan. Berlalu lalang menerobos angin timur yang berhembus. Melewati palang lalu lintas yang saban hari bertugas mendisiplinkan pengendara.

Setengah berlari, Ia tertatih-tatih sampai ke depan Kampus. Beruntungnya, la sudah terbiasa terlambat. Bukan sekali dua kali hal ini terjadi. Ocehan Dosen tak lain dan tak bukan menjadi sarapan pembuka hari itu. Namun,...

Gubrak!!!