Gubrak!!!
Seorang gadis sebaya menabraknya hingga terjatuh. Buku-buku tebal bertuliskan kamus Bahasa Inggris-Indonesia yang dibawanya berceceran di mana-mana.
"Aduh, maaf ya, aku ga liat" ucapnya.
"Engga papa, aku maaf juga. Aku bantuin beresin ya" jawabku.
Gadis itu mengangguk pelan. Membereskan buku-buku yang berserakan dengan sigap.
"Aku duluan ya Kak," ucapnya.
Lantas Ia meninggalkanku di belakang. Berjalan memasuki kampus. Anggun. Itulah kata yang aku pikirkan pertama kali. Dia berjalan bak model. Dengan rambut ikal berwarna coklat terurai dan bola mata coklat kehitaman. Hidung mancung dan bibir tipis dengan sentuhan lipstik ringan berwarna merah muda.
"Dina , rupanya,".
Gumamku, setelah melihat papan nama di bajunya bertuliskan 'Dina Kirana'. Aku tersenyum. Sumringah. Lalu terkekeh pelan dan menganggukkan kepala. Kemudian berjalan memasuki gedung kampus.
~ Kalau jodoh, maka pasti akan bertemu lagi. Bagaimanapun jauhnya semesta memisahkan, kalau memang takdir telah berkata menyatu, maka suatu saat akan bersatu. Tak perlu dipungkiri, itu hanya keyakinanku. Jika kamu tidak setuju dengan itu, tak masalah. Aku juga takkan memaksa. Tinggal masalah apakah kita sebagai pribadi, mampu atau tidak untuk berpegang teguh di dalam berpendirian.~
~//~
Sebuah mobil chevrolet berwarna kuning terlihat kosong. Meninggalkan kursi penumpang yang sedikit berdebu. Masih saja terlihat berkilau terpampang sinar lampu jalanan. Ditinggal pemiliknya. Terparkir di depan sebuah rumah mewah bertingkat dua bercat putih dan berlantai marmer. Dengan kolam renang dan taman mini mengelilinginya. Lengkap dengan gerbang beton bercat putih dengan ornamen kepala singa, dihiasi dengan lampu-lampu yang terang di setiap sudutnya. Jam menunjukkan pukul 19.45. Hari sudah begitu gelapnya. Tidak ada lampu-lampu jalanan yang biasanya gemerlapan, apalagi matahari sebagai sumber pencahayaan. Hanya berbekal remang-remang cahaya rembulan. Namun rumah itu nampak sangat berkilauan di antara kelamnya malam. Di setiap sudut rumah terlihat dengan sangat jelas. Aku takjub ketika membayangkan betapa rajinnya para pembantu yang harus bekerja setiap hari membersihkan rumah sebesar itu. Bangun tidur untuk menyapu, lalu menyapu lagi sebelum tidur. Dilihat darimanapun, memang rumah itu terlihat sangat indah dan megah. Sungguh beruntung bisa tinggal di dalam rumah yang seperti itu. Namun, sayangnya tidak. Tidak dengan keadaan di dalam rumahnya. Kenyataan yang ada tak semanis kata yang diucapkan orang. Seperti yang terlihat pada sebuah keluarga yang tengah menyantap hidangan makanan malam. Seorang Ibu, Ayah, Kakak, dan anak kecil.
"NINA! CEPAT LU MAKAN AJA ITU MAKANAN.",
"HEI, LU DENGER GA OMONGAN GUA"
"DASAR NI ANAK."
Bentak perempuan itu kepada Nina.
"Plakkk" .... Sebuah pukulan mendarat di pipi Nina. Memerah. Kulitnya berubah menjadi merah. Meninggalkan bekas merah lima jari diwajah nya yang putih kuning seperti langsat. Nina tertunduk kaku. Dia hanya diam seribu bahasa. Memegangi pipinya yang membengkak. Bergegas membawa piring ke dapur lalu pergi ke kamarnya.
Semua anggota keluarga terdiam. Saling menoleh, kemudian melanjutkan menghabiskan makanan dari piring masing-masing. Entahlah. Seakan tak peduli dengan apa yang baru saja terjadi. Seolah-olah itu adalah hal umum dan lazim yang biasanya terjadi di rumah-rumah biasanya.
Nina hanya tersenyum, air matanya menetes pelan. Membasahi baju berenda putih yang ia kenakan. Duduk dilantai marmer yang dingin. Ia menundukkan kepala. Tangannya meraba-raba kakinya. Kemudian melingkarkan tangannya di depan kaki, sambil merapatkan kaki ke dada. Cahaya bulan menembus tipis jendela. Ia menoleh, ke arah jendela. Memandang bulan yang sedang bersinar. Ia bergumam...
"Seperti hari biasanya. Hari ini juga."
~//~
Hari ini adalah hari baru. Hari di mana banyak sekali hal yang akan terjadi. Sebuah momen yang aku tunggu-tunggu pada hari ini. Matahari terbit? Yap, tepat sekali. Aku bangun pukul 03.40 demi menyaksikan matahari terbit. Mega jingga berkilauan dari ufuk Timur. Perbincangan para ayam di pagi hari. Suara dari surau-surau yang mendayu-dayu. Lampu-lampu jalan yang mulai meredup. Riuh ricuh Ibu-ibu yang bangun pagi untuk membangunkan anaknya atau menyiapkan sarapan. Jalanan raya yang sembap diraba embun pagi. Itulah suasana sunrise yang kubayangkan. Namun, pagi ini tidak. Tidak terlihat semestinya. Gelap masih saja berkutat. Nampak malam betah untuk tinggal. Mendung yang terlalu tebal menghalau sinar fajar. Gemuruh dan petir sesekali terdengar. Bersamaan dengan kilat yang menyilaukan mata. Lalu turun hujan lebat kemudian. Membasahi jalan raya yang telah basah lebih dahulu oleh embun. Membanjiri sawah-sawah. Mengguyur atap-atap rumah warga yang masih terlelap. Hawa dingin berhembus menembus raga. Menciptakan suasana yang tak bisa dijelaskan oleh kata. Semua itu, membuat suatu perasaan yang sangat aneh. Perasaan yang mengingatkanku pada seseorang. Di mana dia sekarang? Apakah dia baik-baik saja? Kuharap begitu.
Pukul 08.25. Hari sudah cukup terang seharusnya. Namun, ternyata tidak. Hujan nampak terus saja menjejalkan air matanya. Seperti tak mengindahkan sinar matahari yang terus saja hendak menggapai bumi. Tapi, tak menyurutkan niat ku untuk pergi. Hari ini temanku memintaku untuk datang kerumahnya. Seorang teman yang telah lama kurindukan batang hidungnya. Teman masa kecil yang tak pernah kembali berbagi kabar. Tak pernah lagi terdengar. Sudah lama sekali aku tak pernah bertemu dengannya sejak 7 tahun lalu. Penggalan demi penggalan memori datang kedalam kepalaku. Memapangkan peristiwa-peristiwa yang dulu aku lakukan bersamanya. Kenangan demi kenangan yang muncul ketika kami bersama. Namun entah bagaimana caranya, tempo hari Ia menghubungiku dan mengajakku datang kerumahnya. Aku pun mengiyakan. Dan hari ini, dengan ditemani abang ojek online. Lengkap dengan mantel, kami berdua berangkat menembus derasnya terpaan air hujan.
Sesampainya Aku di depan sebuah rumah bercat kuning dengan sebuah sepeda motor tua bertuliskan Harley Davidson terparkir di depannya. Dinding tembok yang mengelilingi rumahnya dihiasi dedaunan pohon benalu yang menjadi satu dengan hutan di sekitar. Jarak rumah antar tetangga sangat jauh. Meninggalkan suasana sepi di balik rimbunnya pepohonan. Aku terheran, bagaimana Ia bisa tinggal di tempat yang terpencil seperti ini mengingat dia adalah anak seorang pengusaha kaya.
'Tok tok tok'
"Assalamu'alaikum"
.... Hening
"Assalamu'alaikum"
.... Masih tak ada jawaban
"Assalamu'alaikum, permisi"
Kuulangi untuk yang ketiga kalinya. Namun masih tak ada jawaban dari pemilik rumah. Entah tak ada yang mendengar suaraku di karenakan suara derasnya air hujan yang masih mengguyur, atau memang rumah ini kosong. Mungkin saja aku salah alamat. Namun, sesaat sebelum aku memutuskan untuk pulang, ....
"Wa'alaikumsalam warohmatullah"
Suara seorang perempuan berhijab menjawab dari dalam rumah. Ia kemudian membuka pintu dan menyuruhku masuk.
"Silahkan masuk, mas. Anggap aja rumah sendiri. Temannya mas Randi ya?," Dia bertanya.
"Iya mba. Aku temannya Randi".
"Aduh, jangan panggil mba. Panggil aja Yanti. Walau begini, umur saya sama dengan mas Randi loh, hihi. Oh ya, mari duduk dulu, sambil menunggu Mas Randi, saya buatin teh ya," Ia menawarkan.
"Gausa aja Yan, ngerepotin nanti"
"Yo ndak papa toh mas, kan mas Randi yang ngundang masnya kemari. Tunggu bentar ya Mas," ucap Yanti meyakinkan.
"Iya, Yan" jawabku.
Beberapa waktu kemudian,
"Ki? Maaf ya lama nunggu, abis mandi soalnya," Ucap seorang lelaki berambut coklat bernama Randi.
"Eh Ran, engga lama, kok. Nyantai aja".
"Gua ga nyangka loh, lu bakal mau dateng kemari,apalagi hujan begini," timpal Randi.
"Ya gimana ya, dulu kan lu sering bantuin gua, sering direpotin ama gua, ya itung-itung balas jasa persahabatan aja lah."
Gua dan Randi terkekek pelan
"Ini, silahkan diminum tehnya," ucap seorang gadis
bernama Yanti, istri Randi.
"Lu udah punya istri, ga bilang-bilang, Ran,"
"Ahahaha, maaf Ki, gimana ya, waktu itu ada sedikit masalah, jadi gabisa ngabarin lu," ucapnya.
"Yaudah, sekarang lu mau bahas apa?," aku memulai pembicaraan.
Sorot mata Randi berubah serius. Ia memandang lurus kedepan. Memikirkan sesuatu dalam angan-angan. Ia merapatkan kedua tangannya. Memejamkan matanya cukup lama.