"Kau ditahan dengan asal usul yang tidak jelas. Kami menduga kau adalah mata-mata dari para bandit." Kata prajurit di samping Sang Kaisar.
Karra menatap tidak terima, "bagaimana bisa aku dituduh tanpa bukti yang jelas Jenderal?"
Jenderal Gith pengawal setia Kaisar, menatap horor. "Bagaimana bisa kau tau nama ku?"
Karra merutuk dalam hati. Menyesal bibirnya keceplosan seperti ini, menambah bukti kuat bahwa dirinya mata-mata para musuh kerajaan.
Sial sial sial!
Jenderal Gith sedikit menunduk untuk mendengar bisikan Sang Kaisar lalu mengangguk, setelah Karra di borgol dan digiring ke dalam tahanan kerajaan.
Ternyata yang dikira menjadi tempat aman, malah jadi tahanan.
Karra mendesis ketika prajurit dengan kasar mendorongnya masuk kedalam tahanan. Dengan muka ditekuk, Karra tidur di atas beton berbentuk persegi panjang. Karra jadi lupa kapan terakhir kali Ia makan sebelum berakhir menjadi tahanan seperti ini karena perutnya terlilit kesakitan, Karra meringis sakit menduga lambungnya kumat disaat-saat seperti ini, kesialan Karra datang bertubi-tubi. Hanya berpasrah bahwa dia hari ini meninggal di gelapnya ruang tahanan Karra hanya bisa memeluk dirinya dengan erat.
**
"Tahanan bangun!" Guncangan jeruji besi dari prajurit penjaga tahanan mengganggu indera pendengaran.
Gadis itu bangun dengan kepala yang berdenyut hebat. Akibat semalam, menahan lapar dan haus ditambah berperang dengan perutnya yang terlilit sakit, gadis itu mengatur pandangannya saat prajurit itu menyodorkan nampan berisi makanan.
Prajurit itu menatap sinis menaruh nampan di sebelah gadis itu, "makanlah! Kau terlihat pucat."
Gadis itu ingin menolak makanan itu karena perutnya bergejolak aneh serasa ingin muntah sekarang ini hanya saja gadis itu terlalu lemah untuk bergerak. Prajurit itu masih setia menatapnya, gadis itu berbalik menatap prajurit itu.
"Semalam aku hampir mati perutku seakan ditikam, bibirku menggigil hebat dan tanganku bergemataran. Kau tau?" Gadis itu menatap sendu, "kalau saja semalam aku mati mungkin hari ini tidak perlu aku menghadap di pengadilan."
Prajurit itu sedikit kasihan, "hm.. makanlah, setelah itu kau harus ke pengadilan. Berbicaralah selagi kau benar, dan diamlah ketika kau salah. Hukumanmu akan bertambah apabila kau memberontak."
Setelah prajurit itu pergi, Karra menatap lesu kearah nampan lalu mulai menaruh pada pahanya dan menghabisi makanan dengan pelan melawan rasa mual dalam perutnya.
"Apakah para tahanan selalu di berikan makanan enak seperti ini?" Monolognya setelah menyelesaikan makanannya.
"Tidak. Mungkin makanan yang kau makan akan menjadi makanan terakhirmu."
Karra menatap Jenderal Gith yang membuka gembok kunci. "Cepatlah, kau harus menghadap ke pengadilan." Katanya lalu menyuruh Karra untuk keluar.
Karra berjalan keluar sambil menghela nafas pasrah terhadap hukuman apa yang akan di beri oleh kerajaan, sekuat apapun Karra mengelak bahwa bukan mata-mata para musuh kerajaan tetap saja Karra di tuduh. Melewati lapangan luas bertuliskan 'Loied' Karra sedikit terantuk akibat dorongan prajurit yang menggiringnya.
Siang itu dengan kaki kosong tanpa alas dan lokasi dari ruang tahanan ke pengadilan yang jauh membuat Karra peluh. Pintu terbuka ketika Karra memasuki ruangan besar dan di tatapi orang-orang. Tatapan sinis, kata-kata sindiran mulai terdengar dan decakan kesal yang jelas-jelas di lontarkan pada Karra. Gadis itu terlalu lemah untuk menanggapi, sedikit melirik seorang pria berperawakan dokter Karra memanggil pria itu dan berbisik sambil memperlihatkan luka di perut, "apa aku bisa minta alkohol? luka ku belum mengering aku takut terinfeksi."
Dokter itu sedikit terkejut lalu menyuruh prajurit melepas borgol gadis itu agar dokter bisa mengobatinya dengan baik. Karra menolak dokter kerajaan mengobatinya, dengan meminta kapas, alkohol serta plester luka Karra mengobati perutnya sendiri.
Setelah menutupi luka di perutnya yang tidak terlalu lebar, Karra melanjutkan persidangan di ruangan besar itu. Masih dengan kata-kata sarkas yang di lontarkan prajurit kerajaan Karra tidak mau ambil pusing menanggapi perkataan mereka.
"Kaisar memasuki ruangan!"
Terdengar pintu ganda terbuka dan Sang Kaisar memasuki ruangan dengan atmosfer yang mendadak berat. Suasana hening mendominasi ruangan itu. Semua prajurit membungkuk hormat.
"Kami telah melihat Kaisar!"
"Hm. Bangunlah."
Karra menatap Sang Kaisar yang sudah duduk dengan tangan menumpu kepalanya dan tatapan malas, jika tidak sedang di borgol mungkin Karra sudah berlari menaiki 10 anak tangga itu dan meminta Sang Kaisar melepaskannya. Itu mustahil jika Sang Kaisar melepaskannya.
"Mulai sidangnya."
Pria dengan perut buncitnya membuka lembaran kertas berisi dan mulai membaca.
"Menurut kitab hukum Their pasal 23 tentang tahanan yang asal usulnya tidak jelas dinyatakan sebagai mata-mata musuh kerajaan dengan sanksi hukum 20 kali cambukan, 10 kali cambukan dan di gantung, atau di gantung mati dalam keadaan sayatan."
Karra meneguk salivanya kasar, hukuman yang diberikan kerajaan mutlak dan tidak bisa di ganggu gugat. Karra mendesis kesakitan lantaran prajurit di sampingnya menekan pundaknya agar kepalanya menyentuh lantai.
"Sudah ku bilang dari awal, aku orang kota. Kenapa tidak ada yang percaya?!" Gumamnya.
Karena suasana terlalu hening, ucapan Karra yang menurutnya kecil terdengar, sedikit menaikkan pandangan tepat menatap Jenderal Gith yang berdiri di anak tangga yang juga menatapnya sinis.
"Kalau kau memang dari kota, mengapa kau tau nama Sang Kaisar dan juga saya!" Gertak Jenderal Gith.
Karra menutup matanya sambil mengumpat dalam hati. Menyesal dengan apa yang terjadi. Mulai menyerah dengan hukuman yang akan diberikan nanti Karra pasrah.
Derap kaki mendekatinya, Karra hanya melihat ujung sepatu dan seujung pedang yang menyentuh langit sambil mendesis sakit. Luka nya belum sepenuhnya pulih.
"Kau amnesia."
"Sepertinya begitu. Aku bahkan tidak bisa mengingat jelas bagaimana aku bisa berada disini." Karra mengangkat pandangan, menatap Sang Kaisar dengan penuh getar. Seakan terhipnotis oleh wajah Sang Kaisar beberapa detik sebelum suara Sang Kaisar membuat Karra sadar.
"20 kali cambukan." Suara berat itu memutuskan hukuman untuk Karra dan mulai berjalan meninggalkan ruangan.
"TIDAK!"
Suara itu membuat rungu Kaisar berdengung. Berbalik, berjalan menuju gadis itu dan mengeluarkan pedang.
"Kau tau. Sedetik saja kepalamu bisa terlepas dari tubuhmu." Sahut Jenderal Gith yang sudah berada di samping Kaisar ikut menodongkan pedang.
Karra meneguk salivanya kasar, membayangkan kepalanya ditebas dalam hitungan detik membuatnya merinding. Dengan kepercayaan yang sangat sedikit, Karra mencoba mengatakan sesuatu. "Bolehkah aku memberitahu sesuatu? Sepertinya ini sudah menjadi rahasia umum."
Karra memperhatikan ruangan pengadilan serba cokelat itu dengan corak-corak indah terpampang di dinding sebelum menatap kembali Sang Kaisar. "Kau sebenarnya penyuka kopi dari wilayah Bhusta bukan dari wilayah Agash dan menikmatinya pada waktu hujan."
Fakta pertama yang di lontarkan gadis itu sedikit Kaisar mengernyit samar. Mulai waspada dengan gadis kecil itu yang menatapnya. "Lalu?"
Seakan mendapat cahaya, Karra melanjutkan membuka fakta tentang Kaisar. "Kau satu-satunya keturunan kerajaan yang paling berbeda yaitu matamu. Kau keturunan Albino, dimana matamu bergaris silver di waktu malam, bukan berwarna putih."
Para prajurit yang melihat itu jadi berbisik. Jenderal Gith menatap heran, "Jelas-jelas berwarna putih. Kau jangan mengada-ada."
Karra tersenyum miring, menatap kembali Sang Kaisar. "Bahkan Jenderal-mu saja tidak mengetahui itu."
Kaisar menatap malas membuat Karra tidak yakin rencananya satu ini akan berhasil atau tidak. "Dan juga..." Karra melirik bahu Sang Kaisar.
"Berhenti."
Jackpot! Serunya dalam hati.
Sang Kaisar mengangkat wajah gadis itu dengan mata menelisik. Sedangkan gadis itu mengerjap kaku karena berdekatan, bahkan nafasnya pun seakan tercekat.
"Siapa kau."
Dengan pikiran yang berkecamuk, Karra bahkan tidak yakin jika memberitahu namanya. Satu nama meluncur tanpa ijin dari bibirnya.
"Eugene.."
Terlihat riak mata Sang Kaisar berbeda, Karra merasa hidupnya sudah aman.
"Namaku Eugene.."
**
Tbc