Salim meraih tubuh gadis itu. Dia merengkuhnya ke dalam gendongannya dan membawanya ke kamar. Behram mengikuti di belakangnya.
"Selimutnya," kata Salim dengan menunjuk pada selimut menggunakan isyarat mata.
Behram dengan segera paham akan tugasnya. Disingkapnya selimut yang memenuhi permukaan kasur; membuka tempat bagi Salim agar dapat meletakkan gadis itu. Behram membawa sebagian besar selimut ke ujung ranjang. Setelahnya pria itu kembali ke posisi formalnya. Behram berdiri di dekat kaki ranjang dengan kepalanya sedikit menunduk dan kedua tangannya yang bertaut di depan tubuhnya.
"Silakan, Yang Mulia," Behram mempersilahkan.
"Terima kasih, Behram," ucap Salim.
Salim pun meletakkan gadis itu ke atas kasur. Dia melakukannya dengan perlahan. Khawatir kalau-kalau gadis itu mendadak terbangun dan histeris kembali. Salim juga menarik selimut menutupi tubuh gadis itu.
"Apa yang akan kita lakukan terhadapnya, Yang Mulia?" Behram bertanya. "Sepertinya dia mengalami syok luar biasa."
Salim memandang gadis itu. Dia mengamati garis wajahnya. Benar kata Behram bila gadis itu terguncang. Bahkan saat matanya terpejam begitu wajahnya tetap terlihat tidak tenang. Mereka pasti sangat menakuti gadis itu tadi.
'Kasihan sekali dia', pikir Salim.
Dia hendak menarik tatapannya dari gadis itu ketika sesuatu dalam dirinya justru mendorongnya untuk bertahan. Ada rasa ingin tahu yang timbul dalam dirinya. Gadis itu membuatnya penasaran.
Salim belum pernah melihat seseorang seperti gadis itu sebelumnya. Sungguh hal yang aneh ketika dalam Kesultanan Ottoman ada berbagai macam ras manusia yang tinggal di wilayahnya. Namun selama ini Salim jarang sekali keluar dari istana. Atau bahkan dapat dibilang hampir tidak pernah.
Sebagai seseorang yang hidup dalam sistem kafes (1) dirinya harus hidup di dalam istana. Jangankan untuk keluar istana dengan mudah, seluruh gerak-geriknya -- yang terkecil pun -- diawasi. Orang asing yang pernah dilihatnya terbatas pada perwakilan dari negara lain. Spesifiknya, hanya dari negara-negara Eropa saja.
Sepasang mata hijau Salim kini bergerak menyapu keseluruhan fitur wajah gadis itu. Mata si gadis yang saat ini terpejam bentuknya bulat dan menyipit di ekornya, hidungnya kecil dan tidak tinggi, bibirnya tidak merah dan tipis seperti orang Turki maupun orang Eropa namun tampak begitu seksi.
'Seksi?', Salim terkejut mendapati dirinya menggambarkan bibir si gadis menggunakan istilah dari jaman modern tersebut. Dan lebih terkejut lagi karena dirinya berpikiran seperti itu.
Dia menutup matanya. Memutus kegilaan yang dapat muncul dalam kepalanya karena matanya itu.
"Setan," Salim tiba-tiba berkata.
Behram sedikit mengangkat wajahnya saat mendengarnya. Pria itu memperhatikan Salim. "Se-tan, Yang Mulia?" tanyanya memastikan pendengarannya barusan.
Salim mendecakkan lidahnya. Dia membuka matanya dan menoleh pada Behram. Sejenak dia berpikir. Tidak mungkin memberitahu Behram bila barusan dia sedang merujuk pada dirinya sendiri yang terkena godaan setan.
"Gadis ini memanggil kita sebagai setan," katanya kemudian. Suaranya terdengar sangat meyakinkan. Padahal dia sedang menutupi kenyataan dirinya.
"Lalu apa yang harus kita lakukan terhadapnya, Yang Mulia?" Behram bertanya. Pria itu menunggu tugas selanjutnya. Tetapi sebelumnya dia harus memastikan maksud tuannya karena dirinya agak tidak mengerti dengan kemana arah pembicaraan Salim.
Salim berjalan mendekati Behram. "Kau urus dia," katanya sambil menepuk bahu pelayannya itu.
Setelahnya Salim duduk di sofa yang berada di sisi kanan ruangan tersebut, yang menghadap ke arah kasur. Lengan kanannya dia rentangkan ke atas punggung sofa sedang kakinya dia silangkan. Alih-alih memperhatikan apa yang ada di depannya, Salim justru memperhatikan sofa yang sedang didudukinya saat ini sambil bersiul-siul rendah.
Di tempatnya Behram tidak bergerak. Pria itu bingung dengan apa yang harus dilakukannya. Lebih dari itu, Behram bingung dengan kejanggalan sikap Salim saat ini.
"Dengan cara apa saya harus membunuhnya, Yang Mulia?" Behram bertanya.
Dengan bibirnya yang sedikit maju -- sisa-sisa dari bersiul -- Salim segera menoleh pada Behram. Dia kaget dengan kesimpulan yang ditarik oleh Behram barusan.
"Terakhir kemari apa kau maraton film mafia lagi, Behram?" Salim menyelidik.
"Ah ya, Yang Mulia. Peaky Blinders," aku Behram. Pria itu sama sekali tak melihat tuannya. Bukan karena hormatnya tapi karena rasa tidak enak hatinya -- dunia imajinasinya baru saja diketahui oleh tuannya.
"Ada subtitle bahasa Turkinya?"
"Dubbing, Yang Mulia."
Salim mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia lalu mendecakkan lidahnya. "Aku memintamu untuk membangunkannya tadi," katanya sambil melirik ke arah kasur. "Kita harus mencari tahu siapa gadis itu, apa yang dilakukannya di sini, dan yang paling penting... di mana Yıldıray berada."
Behram semakin menundukkan kepalanya mendengar daftar terakhir yang disebut tuannya itu. Perasaannya campur aduk antara bersalah dengan malu. Kombinasi dari kedua perasaan itu akhirnya membentuk amarah.
Mengerti situasi dalam diri pelayannya, Salim lantas meninggalkan sofanya. Dia mendekati Behram demi membesarkan hati pria tua tersebut. "Bukan salahmu," ujarnya sambil menepuk bahu Behram.
"Maafkan, Yang Mulia," pinta Behram. Pria itu mencoba menahan seluruh emosinya saat mengatakannya sehingga suaranya terdengar sangat dalam.
"Tidak ada yang mau dikurung, Behram," Salim berucap. Ada ironi yang terdengar dalam suaranya saat mengatakannya. Rasanya seolah dia sedang membicarakan tentang dirinya sendiri.
Salim lantas melirik ke arah kasur, ke arah gadis yang berbaring di atasnya. Matanya menangkap sesuatu. Sebuah ide pun muncul dalam otaknya.
"Tapi karena gadis itu pasti tahu dimana Yıldıray berada, kita harus melakukan sesuatu padanya," dia berkata pada Behram. Namun manik hijaunya tak lepas dari gadis tersebut.
"Aku akan ke dapur mengambil sesuatu untuk itu," tambahnya.
Salim pun melangkah menjauh dari tempat tersebut. Dia menghitung dalam hati. Menunggu, lebih tepatnya.
'Satu... Dua... Tiga...'
Suara itu pun terdengar.
Salim tersenyum tipis.
***
Kesadaran kembali kepadanya. Dengan matanya yang masih terpejam, Arsia menggerakkan jemarinya.
Dia baru saja akan membuka matanya ketika didengarnya orang sedang bercakap-cakap. Yang satu suaranya masih muda dan terdengar berkharisma. Yang satu lagi suaranya seperti orang tua yang membosankan.
'Keduanya lelaki', batinnya.
Dengan membuka sedikit kelopaknya dia mengintip. Didapatinya dua orang pria di sana. Mereka sosok yang sama dengan yang dilihatnya tadi sebelum pingsan. Bukan. Yang membuatnya pingsan, lebih tepatnya.
'Mereka bukan setan?', pikirnya tersadar. Dia terkejut. Dan ketakutan, tentu saja. Namun dia berusaha untuk mengontrol dirinya.
'Lalu siapa mereka?', dia bertanya-tanya sambil tetap mengamati keduanya.
Salah satu dari pria itu -- yang muda dan tampan -- menoleh ke arahnya. Buru-buru Arsia menutup matanya. Tentu saja dia tidak ingin mereka tahu kalau dirinya sudah sadar. Arsia harus mencari tahu tentang apa yang akan dilakukan kedua pria tersebut. Dia menguping pembicaraan mereka.
"Kita harus mencari tahu siapa gadis itu, apa yang dilakukannya di sini, dan yang paling penting... di mana Yıldıray berada," kata si pria muda.
Sesuatu dalam diri Arsia terpantik saat mendengar pria tersebut menyebut nama Yıldıray. Itu adalah nama pemilik rumah yang disewanya kini.
'Apa yang dia maksud Yıldıray yang sama?', Arsia menebak-nebak.
Arsia kemudian mendengar suara langkah. Entah siapa yang bergerak diantara kedua pria tersebut. Namun dari suara yang terdengar setelahnya, Arsia tahu bila yang barusan bergerak adalah si pria muda.
Pria itu berkata lagi kepada rekannya. Suaranya lebih jelas terdengar di telinga Arsia kini. Tidak seperti sebelumnya saat pria itu berbicara sambil duduk di sofa.
Si pria muda, "Bukan salahmu."
Si pria tua, "Maafkan, Yang Mulia."
'Yang Mulia?'
Arsia hampir tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
'Apa mereka sedang bermain raja-rajaan?'
Susah payah Arsia menahan dirinya untuk tak tergelak. Rasa takut yang tadi menyelimutinya mendadak menguap begitu saja hanya karena mendengar sebutan Yang Mulia yang disematkan oleh si pria tua.
'Baiklah, dia memang tampan. Tapi kalau setiap lelaki good looking dipanggil dengan Yang Mulia, apa jadinya dunia?', Arsia sibuk mengomentari dalam hati.
Tetapi humornya segera lenyap ketika Arsia mendengar pria muda itu kembali berbicara. Arsia menjadi waspada. Tubuhnya menegang.
"Tapi karena gadis itu pasti tahu dimana Yıldıray berada, kita harus melakukan sesuatu padanya," kata pria itu.
'Melakukan sesuatu padanya dia bilang? Padaku maksudnya? Apa yang akan dia lakukan?!', Arsia panik seketika. Dalam pikirannya, kedua pria itu pasti akan membunuhnya karena dia berinteraksi dengan Yıldıray.
'Mereka akan menghabisiku karena Yıldıray!', Arsia meratapi dirinya sekaligus merasa begitu tolol karena tidak menyadari kejanggalan itu sebelumnya. Pantas saja Yıldıray memaksanya untuk segera pindah. Sekarang Arsia menyesal karena terlalu polos mempercayai pria tersebut.
Arsia semakin cemas tatkala dia mendengar si Yang Mulia itu berkata akan mengambil sesuatu di dapur. Dalam bayangannya pria itu akan mengambil pisau untuk menyembelih dirinya. Ini membuatnya semakin kalut memikirkan apa yang harus dilakukannya.
'Ayo berpikirlah, Arsia! Pria itu semakin menjauh!'
Tak tahan lagi, Arsia membuka matanya. Dalam sekali gerakan dia melempar punggungnya dari posisi berbaring ke posisi duduk.
"Aku tidak tahu dimana Yıldıray berada!" serunya.
Iya. Akhirnya Arsia memilih untuk menyerah.
Si Yang Mulia memutar tubuhnya. Pria itu lurus menatap dirinya kini dengan senyum kemenangan.
'Sial!'
---
(1) Sistem yang diterapkan oleh Sultan Ahmet I dimana para pangeran harus tinggal di dalam istana dan diawasi seluruh gerak-geriknya.