Chereads / Young Daddy / Chapter 3 - Kenangan Sesaat

Chapter 3 - Kenangan Sesaat

Pagi itu, Surugui sedang berada di kebun tomat di belakang rumahnya, ia memangkas rumput liar dan sesekali memetik tomat yang telah matang untuk dijual. ''Jangan lari! Nanti jatuh!'' tegur Surugui. Ia tak melihat, tetapi langkah bocah itu dapat didengarnya.

Si bocah sedang mengejar seekor kodok besar yang berlari kian kemari. Sesekali jika berhasil ditangkapnya, kodok itu akan mengencingi wajah si bocah. Dan bocah itu akan terkejut hingga membuang si kodok. Kodok sebesar genggaman orang dewasa itu membuat si bocah penasaran sekali.

Di saat kodok itu meloncat ke dalam air, si bocah ikut bercebur. Keduanya bermain air dengan riang gembira. Air beriak saat kaki kecil bocah itu menendang permukaan sungai, Pelangi kecil tercipta saat air memercik hebat. Pemandangan itu mengingatkan Surugui akan masa kecilnya. Dulu, ia juga pernah bermain air bersama ibunya. Melihat anak kecil itu bermain dan tertawa sendirian, ia menjadi kasihan.

''Gawat, dia mulai mcoba mengambil hatiku lagi. Hai, berhentilah mengejar kodok itu, hewan kecil itu kelelahan.''

Surugui tak tahan akan kelakuan si bocah, ia pun menghampirinya. Di tepi aliran sungai, ia berjongkok lalu diangkatnya si bocah dari belakang.

''Kenapa tidak bersuara lagi? Mana suara lantang yang kau keluarkan tadi, hah? Kehabisan tenaga ya,'' katanya dengan nada meremehkan.

Begitu diletakkannya di tanah ternyata bocah itu diam karena mengisap kaki kodok. ''Hiiiiih,'' ia bergidik jijik, ''kaki kodok bukan lollipop. Jangan malah diemut!''

Bocah itu menangis ketika si kodok dilempar jauh ke sungai oleh Surugui. Kodok itu berenang cepat dan tampaknya jera jalan-jalan di dekat rumah Surugui. Surugui menggendong si bocah menuju keran air dan membasuh mulut si bocah.

Ketika sedang membasuh mulut, bocah itu menjadi penurut padanya. Mulut kecil yang berisi air sesekali menyembur ke wajah Surugui. Awalnya Surugui jengkel, bocah itu tak bisa diam, dan sekarang malah berlari mengelilinginya dengan selang air yang menyemproti tubuhnya.

Sewaktu berlari sesekali pantat bocah itu menari di atas kubangan lumpur. Ketika ditegurnya, bocah itu malah mengangkat selang air lalu diikuti teriakan yang lantang, yang tidak dimengerti olehnya. Tapi lakon bocah itu dapat ia tangkap.

''Rupanya sedang menjadi Ultramen, ya,'' ucap surugui dalam hati. ''Whoooosssss!!!'' Surugui membuat dua tangannya seperti ular dan bertingkah konyol, sesekali kakinya membentuk kuda-kuda tak jelas dan kedua tangannya menyerang kepala si bocah. Ketika disentilnya, bocah itu terbahak-bahak. Dan lagi, si bocah mengarahkan keran lalu menyemproti Surugui.

Pria 27 tahun itu langsung berlagak tertembak dan berguling-guling di kubangan lumpur, berakting dengan sangat payah sekali. Keduanya saling menularkan tawa. Baik bocah itu maupun Surugui menjadi tak berhenti tertawa. Karena terlalu senang punya teman main macam Surugui, bocah itu membuang selang air lalu memeluk Surugui. Pria dewasa itu menjadi terkejut, tawanya hilang terganti oleh senyum nan lebar.

''Begini rasanya dipeluk oleh anak kecil,'' katanya lalu tertawa sambil punggung bocah itu dielus-elusnya dengan sayang.

Besoknya, Surugui sedang sibuk membantu pegawai toko pernak-pernik yang mengangkut beberapa kardus barang dan alat untuk membungkus bingkisan dan kado. Bocah itu juga ikut bergelut, mengikuti perilaku orang dewasa yang sibuk mengangkut barang.

Dari pagi sampai sore, Surugui terus membungkus dan menghias barang-barang, bahkan ia lupa makan, sedang bocah kecil itu tertidur sejak beberapa jam yang lalu. Inilah saatnya bekerja bebas dari gangguan anak kecil itu.

Beberapa jam yang lalu, ia kesulitan membungkus barang karena bocah itu bersikeras meminta mainan milik toko sampai-sampai membuat Surugui harus menyembunyikan mainan-mainan itu.

Matanya sesekali melirik pada si bocah yang telah tertidur di dekatnya. Berkali-kali sudah dipikirkannya bagaimana anak kecil itu bisa sampai di dalam tas ranselnya.

''Nggak mungkin dia naik sendiri ke keranjang sepeda yang lebih tinggi dari tubuhnya. Eh ... jangan-jangan sengaja dimasukkan ke sana? Lebih aneh lagi ini bocah nggak pernah mencari ibunya."

Ketika itu, seorang perempuan mengetuk pintu rumah dan memanggilnya dengan lembut. Hal itu, membuat Surugui menegakkan bahunya. Tamu yang datang adalah gadis cantik usia 24 tahun yang sudah lama ditaksirnya. Dengan semangat, ia hendak membukakan pintu. Tapi mendadak gerakannya terhenti saat bocah itu menarik celana Surugui.

''Kenapa bangun sambil menarik celanaku segala, hah! Aaa ... gawat, bocah kali ini kau harus sembunyi.'' Lantaran tak mau dianggap punya anak dari wanita lain, Surugui berusaha membujuk bocah itu untuk sembunyi tetapi, bocah itu tak menurut malah tangan si bocah berpegangan pada kotak mainan.

''Jika tak bisa bantu aku dapetin neng Julia, setidaknya biarkan aku mengunci pintu masuk ... hai bocah! J-jangan tarik ... boxerku! Jangan sentuh mainan punya orang!!!''

Karena tak mau mengalah, Surugui berjalan sambil menyeret si bocah yang tertawa dan menarik celananya. Gagal bergerak ke arah pintu, ia putuskan untuk ke kamar. Mendadak pintu depan dibuka oleh Julia.

Gadis itu terperangah ketika si bocah melepas tangannya dari celana Surugui, hingga boxer ketat itu menepuk pantat sang empu. Suara yang dihasilkan menghancurkan image Surugui. Makin tambah malu ketika gadis itu membuang muka darinya.

''E-eh, Neng Julia. Ke-kenapa kemari?'' tanyanya gugup sembari menelan malu.

''Ternyata benar ... Mas punya anak. Maaf, mengganggu waktumu,'' kata gadis itu sembari melihat pada si bocah.

Seperti disengat listrik bertekanan tinggi, Surugui mendadak kaku. ''Eh, beneran salah paham nih?'' gumam Surugui dalam hati, wajahnya kusut dan canggung bertatapan dengan gadis itu.

Julia melepas sepatu dan naik ke rumah Surugui. Ia menyerahkan rantang makanan. ''Kata ibu, Mas Suru punya kerjaan dari toko pernak-pernik, pastinya sibuk sampai belum sempat makan, kan?''

Mendadak Surugui tersipu malu. Ia menutup mulutnya lantas bergumam, ''Neng Julia perhatian sekali-''

''Wah, lucunya ... wajahnya tembam sekali, namanya siapa, Mas Suru?''

''Belum dikasih nama sih, kalau Neng Julia mau kasih nama, Mas senang sekali. Tapi, Bocah ini bukan anak Mas, Mas masih single kok.''

Mendadak hawa keberadaan manusia lenyap di sekitarnya, Surugui menengok keluar, dan senyumnya langsung melebar.

Suara gadis itu dan si bocah sedang beradu, keduanya sedang main kejar-kejaran sambil bersenda gurau.

Ia pun ikut dalam kegiatan keduanya. Tampaklah seperti keluarga bahagia, mereka bertiga main monster-monsteran.

Surugui memanfaatkan momen itu untuk lebih dekat dengan Julia. Tapi sayangnya, gadis itu terlalu polos untuk mengerti maksud Surugui. Tak lama, kegiatan kejar-kejaran itu berhenti dengan gadis manis itu melambaikan tangan pada mereka di antara sinar jingga senja.

Satu hari lagi waktu menyenangkan telah mereka lewati.

Tak terasa satu pekan telah berlalu, kadang-kadang para polisi meneleponnya untuk memastikan keadaan si bocah. Setelah bersama berhari-hari, Surugui menjadi tak begitu canggung lagi dengan kelakuan bocah itu.

Pagi ini, ia kedatangan pegawai toko pernak pernik yang mengambil puluhan kado dan bingkisan. Surugui selalu tersenyum tiap kali jerih payahnya menghasilkan uang. Ia menghitungnya dengan hati-hati. Karena dapat bonus dari pegawai, ia berencana membelikan bocah itu satu pack sosis. Padahal makanan seperti itu tidak baik diberikan pada anak-anak, ia belum tahu hal tersebut.

''Monster datang menyerang Bumi! Grrrtr!!!'' Surugui mengajak si bocah bermain. Ia menyerang si bocah dengan jari-jarinya yang menggelitiki tubuh kecil itu.

''Huaaaaakkk!!'' Si bocah mengarahkan gulungan kertas kado dan seketika itu pula Surugui menghempaskan dirinya seolah-olah dikalahkan.

Bocah itu ikut berbaring di sampingnya. Surugui tertawa melihat si bocah yang kelelahan. Selagi tertawa, matanya beralih melihat bercak-bercak kotor baju si bocah, tampak usang sekali. Sedangkan, si bocah menoleh padanya lalu memeluknya seperti bantal guling. ''PA PA.''

''Eh ..., Papa?'' Surugui amat tersanjung, ia menjadi makin sayang pada bocah itu.

Keesokan harinya …

Siang itu, melalui telepon pak Sudirman mengajak Surugui untuk menyebar brosur lagi dan kali ini wilayah yang mereka tuju jauh sekali sehingga bayarannya lebih besar dari pekerjaan biasanya. Karena takut meninggalkan si bocah sendirian, Surugui meminta seorang bibi penjual kue untuk mengasuh si bocah sementara dirinya sedang kerja. Di tinggalkannya uang secukupnya untuk si bibi makan dan bocah itu.

Menjelang sore, Surugui masih memiliki banyak brosur untuk dibagikan, keringatnya menetes karena berjemur di bawah terik matahari, tiba-tiba Smartphonenya berbunyi. Polisi mengabarkan bahwa keluarga yang kehilangan telah menjemput si bocah dari rumahnya. Bukan main terkejutnya, brosur yang masih tersisa 100 lembar diserahkannya segera pada pak Sudirman. Tanpa berucap apa pun ia mengayuh sepedanya seperti orang kesetanan.

Napasnya pendek dan kakinya penggal. Dalam waktu 20 menit saja, ia sampai di halaman rumah dan langsung berlari ke rumah memanggil bocah itu. Si bibi yang terlihat sedih lantas memberitahukan padanya bahwa mobil orang tua bocah itu baru saja berangkat.

Surugui amat terpukul, kesedihan menginjak-injak perasaannya. Dengan kaki telanjang, ia berjalan lesu di halaman. Sinar jingga di ujung jalan menampilkan siluet mobil yang telah pergi. Masih dapat dilihatnya bocah itu menengoknya dari jendela belakang.

Jatuhlah kantung kresek dari tangannya, memperlihatkan selembar baju baru dan satu pack sosis sedangkan, permen lollipop berhamburan di sekitar kakinya. Si bibi memahami kesedihan Surugui. Pria itu meneteskan air mata. Surugui masih tak percaya perpisahan dengan bocah itu cepat sekali. Sekarang, rumahnya kembali sunyi bagai kuburan. Kekesalan dan kegembiraan yang terasa beberapa hari lalu hanya menjadi kenangan yang akan dirindukannya. Hatinya menjadi sesak karena hidup sebatang kara lagi.

''Padahal dia sudah kuberi nama … Fabio.'' Surugui bergumam dengan suara lirih. ''Nama bocah itu, Fabio.''

''Sudah semestinya bocah itu bersama orang tuanya, Nak Suru,'' si bibi berusaha mengingatkan Surugui.

Surugui mengusap air matanya lantas berkata ragu, ''Apa benar, wanita itu ibunya? Lantas … mengapa memasukkan bocah itu di ranselku?''